Terlambat Sadar

1013 Words
"Cit ... udah pulang kamu, Nak?" Bu Widya–sang mama–menyambut kedatangan putri semata wayangnya dengan hangat di teras rumah tempat ia memang terbiasa menghabiskan sore sambil merawat berbagai tanaman bunga kesayangan. Citra yang baru datang dan belum yakin sembab di wajahnya sudah sama sekali hilang, tampak sedikit gelagapan. Ia sama sekali tak terbiasa menyembunyikan sesuatu dari mamanya. Biasanya pasti dia akan segera curhat soal apa pun yang terjadi hari itu. Akan tetapi, tidak kali ini. Ia tak akan mungkin bercerita pada mamanya kalau Rendra yang selama ini sudah digadang-gadang akan segera datang melamar, justru baru saja mengungkap bahwa ternyata dia sama sekali tak punya rasa apa pun terhadap Citra. "Eh, anu, Ma, maaf agak telat. Tadi nemenin Hesty dulu ke cafe, ada urusan dikit," jawabnya, mencoba sebiasa mungkin. Namun, mungkin ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat sang mama mengernyitkan wajahnya. "Ada apa, Cit?" tanya sang mama curiga. Tuhh, kan, bener, ia paling tidak bisa berbohong di hadapan mamanya, pikir Citra membatin. "Kamu nggak apa-apa, kan? Kok kayak abis nangis?" lanjut sang mama curiga, setelah menanti Citra menjawab tanya tetapi tak jua berbicara. "Nggak, kok, Ma. Ngapain Citra nangis, wkwkwk. Itu tadi Hesty cerita sedih soal pacarnya. Jadinya Citra agak baper dan ikutan sedih, deh." Oke, kebohongan kedua hari ini, hitung Citra dalam hati. "Hmm ... memangnya kenapa dengan pacar Hesty? Siapa namanya, Gio, ya?" Citra kembali kelabakan harus menjawab apa, ia lalu buru-buru pamit ke dalam agar tak semakin banyak kebohongan yang tercipta. "Iya, Ma. Si Gio bikin ulah. Eh, bentar ya, Ma. Citra kebelet pipis, nih!" Dengan langkah seribu, Citra meninggalkan sang mama yang akhirnya menerima jawaban putrinya tanpa curiga sedikit pun. Sesampai di kamarnya yang ditata secantik mungkin oleh sang mama, Citra mengempaskan dirinya di kasur spring bed berbedcover warna cream dengan motif shabby bunga sakura. Ya, selama ini mamanya lah yang menata kamar Citra menurut seleranya. Citra sendiri tak pernah ambil pusing mau diapain saja sebab menurutnya yang penting rapi, itu saja sudah oke. Kembali ia meratapi nasib impiannya selama ini. Bagaimana mungkin dalam sekejap saja semua yang diangan-angankannya tentang menikah dengan Rendra musnah begitu saja. Apalagi alasannya adalah sesuatu yang sangat di luar nalarnya sebagai wanita–Rendra tak menaruh hati sama sekali terhadapnya! Bulir bening kembali lolos dari pertahanan pelupuknya. Andai waktu bisa terulang, ia ingin membentengi hatinya dari segala rasa yang telah dengan totalitas ia curahkan kepada Rendra. Entah bagaimana ia memutuskan secara sepihak bahwa Rendra lah yang patut mendapatkan segala perhatiannya. Bahkan, beberapa pria yang mendekatinya di tempat kerja pun di beberapa kali kesempatan keluar bersama Hesty telah diabaikannya sama sekali dengan maksud setia hanya kepada satu nama. Satu nama yang ternyata baru mengungkap bahwa dia hanya menganggap Citra sebatas teman saja. Apa ada yang lebih sakit dari itu? Rasanya tidak, pikir Citra terhempas dalam di kubangan rasa kecewa dan sakit hatinya. Namun, rasanya ia tak tahu harus menyalahkan siapa. Sebab Ibaz tadi bilang kalau itu semua bukan salah si pria. Para wanita saja yang terlalu membesar-besarkan semuanya. Perhatian kecil saja sudah dikiranya ungkapan cinta. Hanya berbuat baik sedikit saja telah diasumsikan sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang. Cih, seketika Citra membenci dirinya sendiri sekarang. "Citra ... itu Hesty telfon. Katanya ponsel kamu mati." Bu Widya meneriaki dari luar pintu kamar yang terkunci. "Oh, baik, Ma. Bilang aja sekarang udah Citra nyalain. Kepencet tombol off tadi!" jawab Citra sambil berusaha membuat suaranya terdengar biasa saja. Terdengar langkah Bu Widya berbalik kembali. Mungkin ia ke pesawat telepon yang berada di meja sebelah sofa ruang tengah untuk menyampaikan pesan Citra kepada Hesty. Citra pun bangkit dari ranjang dan berjalan menuju meja belajar yang kini telah berganti fungsi menjadi rak buku berbagai novel yang ia koleksi. Niat hati hendak mengambil ponsel dari dalam tas kerja yang diletakkannya di atas meja itu, matanya malah gagal fokus memandangi beberapa novel hadiah dari Rendra saat ulang tahunnya yang terakhir. Nah, apa salah bila ia jadi berpikiran ada rasa lain dari Rendra khusus untuknya? Apakah semua pria memang sama saja, sering memberi kado ultah spesial kepada teman wanitanya tanpa bermaksud itu ungkapan cinta? Citra betul-betul masih tak paham dengan semua fakta aneh yang baru saja terpampang nyata di depannya. Pernyataan Rendra sendiri, juga petuah-petuah dari Ibaz yang mendukung kenyataan pahit itu. "Sialan!" umpatnya marah. Berbagai perasaan campur aduk kini. Kesal, marah, kecewa dan terlebih patah hati menyeruak bersamaan dalam diri. Saat ia sadar kembali, dibukanya tas dan meraih ponsel dari dalam. Menyala, hanya nada deringnya yang entah bagaimana tersetel off. Ia tak ingat telah memencetnya. Banyak sekali daftar missed calls dari nomor Hesty, ia membatin. Segera diteleponnya kembali Hesty. "Iya, Hes. Ada apa?" "Kamu! Ke mana aja sih, kok gak angkat teleponku? Aku cemas, nih!" Omelan Hesty terdengar di telinganya. "Soryyy ... Nada seringnya off jadi aku gak dengar ada panggilan." "Kamu nggak papa, kan?" tanya Hesty di seberang, mencoba meneliti suara sahabatnya yang masih terdengar sedikit parau pasca menangis sesorean tadi. "Nggak apa, kok. Tenang aja. Patah hati tidak akan membuatku nekat bunuh diri atau kabur dari rumah atau apa pun yang sedang kau pikirkan sekarang," jawab Citra seenaknya. "Kamu ish! Aku kira kamu masih di cafe atau belum mau pulang atau kenapa-kenapa, tahu nggak! Yang dicemasin malah kayak gitu!" Omelan Hesty berlanjut. Citra terkekeh mendengarnya. Sikap Hesty yang over protektif memang sering kali panik tak berkesudahan demi memikirkan dirinya. Sementara Citra yang cuek malah sebaliknya, sering abai terhadap apa pun dan membuat sahabatnya itu geleng-geleng kepala. Kalau bukan karena telah bersahabat sejak lama, rasanya Hesty juga tak akan mengerti bagaimana tipe perilaku Citra. Sebagai kawan, ia selalu baik hati dan pengertian. Hanya saja, perhatian-perhatiannya terkadang teralihkan oleh hal lain. "Ya udah kalau kamu baik aja. Aku khawatir banget. Jangan lupa hubungi lagi nanti kalau sudah mau cerita lagi, ya. Aku tinggal dulu, mau masak makan malam. Mamaku keluar dan aku nggak punya apa pun untuk di makan," celoteh Hesty mengeluh dengan nada kocak khasnya. Citra tergelak sebentar untuk menenangkan Hesty bahwa ia memang sudah baikan. Setelah itu baru menutup telepon dan memberi kesempatan agar sahabatnya itu mengurusi dahulu urusan perut yang jauh lebih urgent itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD