7. Menyesal

1318 Words
Untuk yang ke sekian kalinya, Rhea merasa kalau keputusannya untuk ikut dalam kompetisi Cooking Master adalah keputusan yang salah. Bahkan, ketika ia sudah lolos audisi dan akan maju ke babak kompetisi di galeri, perasaan itu masih ada, dan justru kian dirasakannya. Kesenangan Rhea karena bisa lolos audisi dan dipuji oleh para juri hanya bertahan sebentar. Setelahnya, Rhea justru merasa anxious parah. Terutama setelah perbincangannya dan Jendra ketika mereka berpapasan di toilet. Lelaki itu benar-benar telah menguji kesabaran Rhea habis-habisan. Padahal, selama ini Rhea bisa dibilang merupakan seorang yang penyabar dan paling malas bermasalah dengan orang lain. Jendra adalah orang pertama yang membuat Rhea sukses menunjukkan rasa marahnya secara terang-terangan. Bodohnya Rhea, amarah itu justru merugikannya sendiri. "Menurut Ibu, aku bisa menang nggak ya kira-kira?" Di malam sebelum keberangkatannya untuk karantina Cooking Master, Rhea packing barang-barangnya ditemani oleh sang ibu. Mereka hanya berdua, sementara Aiko sudah tidur. "Bukannya kamu bilang nggak niat mau menang dan cuma mau lolos audisi aja?" Rhea menghembuskan napas lelah. "Lolos audisi aja nggak cukup, Bu. Aku harus menang, kalau mau buat orang itu diam dan berhenti ngeremehin aku," sungutnya kesal. Ibunya tersenyum lembut dan geleng-geleng kepala. "Yah, kalau motivasi kamu untuk menang cuma karena mau mematahkan pendapat orang itu, yang ada kamu bisa stress di sana, Nak." "Terus aku harus gimana?" "Berusaha semampumu aja. Kalah atau menang, itu urusan belakangan. Yang penting kamu sudah berani nyoba, rela mengorbankan banyak hal demi kompetisi ini, dan nggak akan pantang menyerah selama kompetisi nanti. Biarkan orang lain yang menilai usaha kamu itu. Pendapat buruk satu orang nggak akan penting kalau yang mendukung kamu lebih banyak, kan?" Bibir Rhea mengiyakan saja omongan sang ibu. Padahal, hatinya tidak benar-benar bisa merasa begitu. Ego Rhea sudah terlanjur dicoreng oleh Jendra, sehingga yang ingin dilakukannya sekarang hanya lah mematahkan semua pendapat lelaki itu tentang dirinya. Rhea ingin Jendra malu dan menarik kata-katanya waktu itu. Membayangkan dirinya bisa menang Cooking Master, membuat Jendra si chef terkenal itu bertekuk lutut, dan memberikan apa yang dia inginkan, sudah berhasil membuat ego Rhea kenyang. Tapi masalahnya, Rhea tidak yakin bisa menang kompetisi bergengsi itu! Lolos audisi aja rasanya sudah keajaiban. Jendra gila itu benar-benar tidak masuk akal karena mengajak Rhea bertaruh seperti itu. Dan meskipun kemarin Rhea pergi tanpa mengiyakan atau menolak taruhan tersebut, ia yakin jika Jendra tetap menganggap taruhan itu ada. He is that crazy. Seharusnya, Rhea tidak meladeni orang gila. Demi apapun, Rhea menyesal sekali karena sudah meladeninya dan terjebak dalam kompetisi ini. Rasa penyesalan Rhea pun kian bertambah sekarang, melihat bagaimana Aiko mengamuk dan tidak ingin melepaskan Rhea untuk pergi karantina selama kompetisi Cooking Master berlangsung. Rhea tidak tahu berapa lama ia bisa bertahan di sana. Tapi, jika memang ia berhasil bertahan sampai akhir kompetisi, setidaknya ia akan ada di sana selama tiga bulan. Sudah sejak ia dinyatakan lolos audisi, Rhea sudah melakukan sounding ke Aiko dan menjelaskan bahwa ia harus pergi selama beberapa waktu dan tidak berada di rumah. Aiko terlihat acuh tak acuh setiap kali Rhea menjelaskan soal itu, sehingga Rhea pikir, bocah itu pasti akan merasa baik-baik saja. Namun, di hari keberangkatan Rhea hari ini, Aiko justru tidak ingin melepaskannya. Sejak bangun tidur tadi pagi, Aiko langsung menghampiri Rhea dan menempel padanya. Aiko sadar bahwa hari ini, Rhea akan pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang bisa jadi lama. Hati Rhea pedih sekali rasanya melihat Aiko menangis histeris di depan rumah dan tidak ingin melepaskannya pergi. Bocah itu memeluk kaki Rhea erat, tidak mengizinkannya untuk melangkah lebih jauh. Segala cara sudah dicoba sejak tadi. Mulai dari bicara baik-baik, mengiming-imingi Aiko dengan makanan dan mainan favoritnya, namun anak itu tidak peduli dan tetap tidak ingin Rhea pergi. Berhubung Rhea hampir terlambat, ia terpaksa harus memaksakan diri untuk pergi, dan Aiko justru menahan kakinya seperti ini. "Aiko...jangan begini dong..." pinta Rhea dengan sangat memelas. Airmatanya sudah mengancam untuk keluar karena tidak tega melihat Aiko. "Nggak boleh pergi! Nggak boleh pergi! Nggak boleh pergi!" Aiko terus mengulangi itu sejak tadi, masih sambil menangis dan berteriak histeris. Semua yang ada di sana benar-benar kewalahan dan gagal untuk membuat Aiko tenang. Jika Aiko sudah mengamuk seperti ini, memang sulit sekali untuk menenangkannya, kecuali Aiko diberi apa yang dia inginkan. Masalahnya, saat ini Rhea tidak bisa memberi apa yang diinginkan oleh bocah itu. Rhea sudah terikat kontrak dengan Cooking Master, dan ia sudah tidak bisa mundur lagi dari kompetisi itu. Digendongnya Aiko yang semula memeluk erat kakinya. Aiko masih menangis tersedu-sedu, dan Rhea pun mengusap air mata di wajah sang putri. "Aiko anak baik...tolong berhenti nangis ya..." ujar Rhea lembut. "Aiko kan pinter, jadi harus ngerti kalau Bunda harus pergi kerja dulu. Nggak lama kok perginya. Cuma sebentar, dan nanti pulang lagi. Bunda juga janji, nanti telepon Aiko setiap hari." Aiko kembali menggelengkan kepala keras. "Nggak boleh pergi!!!" Teriaknya kencang hingga wajahnya memerah. "Nggak boleh pergi!!!" Rhea menghembuskan napas berat dan akhirnya hanya bisa memeluk Aiko. Ia sudah tidak tahu lagi harus apa supaya Aiko bisa mengerti. Jika memaksa pergi di saat Aiko sedang seperti ini, yang ada bocah itu akan terus tantrum ke depannya. Ibunya pasti akan kerepotan jika harus menghadapi Aiko yang tantrum sendirian. Sekarang saja mereka sudah kerepotan. "Aiko sini sama Nenek." Aiko memberontak ketika ia hendak ditarik lepas dari Rhea oleh sang nenek. Ia melingkarkan lengannya di leher Rhea dan memeluknya erat. Tidak ingin melepaskannya sama sekali karena tidak ingin sang bunda pergi. "Aiko ayo dong...Bunda kan harus kerja." "Enggak! Enggak! Enggak!" "Aiko!" Rhea langsung menggelengkan kepala pada sang ibu, mengisyaratkannya untuk berhenti memaksa Aiko karena beliau sudah mulai jengkel sehingga kelepasan meninggikan suara. Aiko pun semakin mengamuk. Akhirnya, Rhea menggendong Aiko menuju taman yang ada di teras depan rumah mereka dan mengajaknya untuk duduk di ayunan yang ada di sana. Ia masih punya waktu sekitar lima belas menit lagi sebelum harus berangkat menuju tempat karantina agar tidak terlambat. Syukurnya, Aiko tidak menolak diajak ke sana. Ia menurut ketika Rhea mendudukkannya di ayunan itu dan mereka duduk bersebelahan di sana. Namun, Aiko masih tidak ingin melepaskan Rhea dan merangkul pinggangnya erat, walau tangisnya sudah sedikit mereda. "Bunda beneran nggak boleh pergi kerja?" Aiko menggeleng cepat. "Tapi, kalau Bunda nggak kerja, nanti Bunda kena marah loh. Emangnya kamu mau kalau Bunda dimarahin?" Kali ini Aiko tidak langsung bereaksi. Sambil masih sesenggukkan, bocah itu terlihat berpikir keras. Rhea pun memutar otak, hingga akhirnya ia mendapat sebuah ide. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel dan mencari sesuatu di benda itu. Lalu, ia tunjukkan pada Aiko. "Kalau Bunda nggak pergi kerja, nanti Bunda dimarahin Chef Jendra. Kamu tau sama dia, kan?" Aiko menunjuk layar ponsel Rhea. "Chef Keren..." gumamnya. "Iya, Chef Keren kesukaan kamu," ujar Rhea dengan sangat terpaksa. Hanya demi Aiko, ia mau menyematkan titel itu untuk Jendra. "Bunda mau kerja sama dia loh. Nanti kamu bisa nonton Bunda sama Chef Keren di TV. Nontonnya bareng Nenek. Kamu mau?" "Nonton Chef Keren." "Iya. Mau, kan?" Aiko perlahan menganggukkan kepala. "Nonton sama Nenek." Kini, Aiko sudah sepenuhnya berhenti menangis. Bahkan, ia mengelap sendiri sisa airmata di wajahnya dengan tangan. "Kalau kamu mau nonton Bunda sama si Chef Keren di TV, Bunda harus pergi hari ini. Bunda mau ikut masak-masak sama Chef Keren. Nanti kamu nonton Bunda ya? Kasih Bunda semangat, supaya Bunda bisa menang. Kalau Bunda menang, Bunda ajak kamu ketemu sama Chef Keren. Mau?" Aiko tertawa. "Ketemu Chef Keren." "Mau ya?" Aiko bertepuk tangan, isyarat bahwa ia mengiyakan pertanyaan itu. "Jadi, Bunda boleh pergi ketemu Chef keren, kan?" Aiko kembali bertepuk tangan riang. Rhea pun menghembuskan napas lega. Dipeluknya erat Aiko, dan dia kecup puncak kepala gadis kecil itu. "Makasih banyak ya, Sayang. Kamu anak baik, anak pinter." Rhea tidak tahu apakah ia harus sedih atau bersyukur karena berhasil membujuk Aiko dengan menjual nama Jendra. Yang pasti, ketika akhirnya ia meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat karantina, rasanya tetap berat karena harus jauh dari keluarganya, terutama Aiko, selama beberapa waktu. Dalam perjalanannya, Rhea menangis. Ia sangat menyesali keputusannya untuk ikut kompetisi menyebalkan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD