Seorang Ibu

1009 Words
Tak seperti pagi biasanya, mobil Jo bergerak ke arah berlawanan. Setelah menurunkan Dio di sekolahnya, mereka bergerak lurus. Letaknya cukup jauh. Memakan waktu sekitar 30 menit. Hingga akhirnya mobil itu sampai di tempat tujuan. Mobil berhenti di depan sebuah gerbang warna hitam nan megah. Jo segera membuka kunci otomatis. Sehingga Alila bisa segera membuka pintu, kemudian turun dari mobil. Alila tanpa menunggu lama, segera keluar dari sana. Meski sebenarnya tersimpan sedikit rasa was - was di hati, ia tetap berusaha menjalankan ini dengan hati yang ringan, juga minim pikiran negatif. Ia yakin, ia akan disambut dengan baik, kemudian bisa mengucapkan apa yang ingin ia sampaikan dengan baik pula. "Perlu aku temenin?" tanya Jo. Alila menggeleng. Jo mengerti dan segera membukakan pintu untuk istrinya. Kemudian menunggu sampai urusan Alila selesai. Kaki Alila menapaki jajaran paving panjang rumah itu, rumah megah bergaya Eropa kuno. Rumah ini milik keluarga Theo. "Apa sudah ada janji?" tanya seorang asisten rumah tangga. Alila mengangguk. "Sudah. Beberapa hari yang lalu kami bicara lewat telepon. Saya diminta untuk datang hari ini," jawab Alila jujur. "Nama Anda siapa?" "Alila." "Tunggu di sini sebentar." Asisten rumah tangga itu masuk. Alila mengamati kondisi sekitar rumah. Tamannya sangat luas. Ada air mancur, dan juga ikan - ikan koi dalam kolam. Terdapat pula patung dewa Yunani kuno di tengah air mancur itu. Satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan rumah ini, klasik. "Nona, silakan masuk lewat sini." Asisten rumah tangga itu mempersilakan Alila. Alila mengikutinya. Begitu masuk, Alila tak terlalu terkejut melihat isi rumah. Sesuai bayangannya. Seperti menonton film barat berlatarkan masa lampau. Sayangnya rumah besar ini begitu sepi. Hanya terlihat beberapa maid berlalu lalang. "Alila?" Seorang wanita paruh baya memanggilnya. Wanita itu tersenyum cantik sekali. Menyambutnya dengan sebuah pelukan kecil. "Tante Ali!" Namira mendadak muncul dan berlari ikut memeluknya. "Dio mana?" "Dio sekolah, Sayang!" Alila mengelus rambut Namira. "Ah ... padahal Nami kangen. Udah lama nggak ketemu." Alila hanya tersenyum. "Kalian kayaknya udah akrab banget, ya. Nami sering cerita tentang kalian." "Ya, kami memang sering bertemu di taman, Nyonya," jawab Alila. "Nyonya? Panggil Tante aja lah. Biar lebih akrab." Mereka berakhir ngobrol berdua di ruang tamu. Namira baru saja berangkat sekolah diantar supir. Beberapa kali obrolan mereka diganggu dengan suara telepon masuk ke ponsel Mama. Alila hanya tersenyum maklum tiap kali Mama meminta maaf karena telepon - telepon itu. Pembicaraannya tak jauh dari bisnis, saham dan segala hal yang tak dimengerti Alila sebagai ibu rumah tangga. Bukannya bermaksud menguping, tapi apapun yang diobrolkan oleh Mama Theo dan mitra kerjanya dalam telepon itu terdengar jelas. Bagaimana tidak? Mama bertelepon ria tepat di hadapannya. "Ah ... hari ini saya memang agak sibuk," ucap Mama seraya meletakkan ponselnya di meja. "Mungkin dua atau tiga hari lagi saya baru bisa ke sana. Namira juga udah merengek terus minta ketemu kakaknya." "Theo pasti senang saat anda datang nanti. Dia sendirian setiap hari." Alila sengaja memberi penekanan khusus pada kata sendirian. Sebenarnya agak tak enak mengucapkannya. Tapi ini demi Theo. "Anak Tante itu memang dari dulu begitu. Sangat mandiri. Mirip kakaknya si Luna. Semenjak masih kecil mereka sudah terbiasa melakukan apapun sendiri. Jarang mengeluh. Penurut. Tante beruntung punya anak - anak seperti mereka." Mama mengakhiri ucapannya dengan senyuman. Alila hanya tersenyum kecut. "Bahkan saat sakit seperti ini Theo terlihat tanpa beban, Tante." Senyum penuh kebanggaan itu belum memudar dari wajah Mama. Seakan kalimat sindiran dari Alila sama sekali tak mengena padanya. Ia justru menceritakan masa lalu mereka. "Dulu saat Tante masih baru menikah dengan Oom, Kian, kakaknya Theo mengalami kecelakaan yang cukup parah. Tante menungguinya sebagai pengganti ibunya. Luna menelepon, katanya Theo sakit. Ingin rasanya Tante pulang, tapi Kian masih di ruang operasi. Tante merasa bersalah pada Theo. Tapi Theo justru mengatakan pada Tante, katanya tidak apa - apa. Karena ada Luna yang menjaganya." Alila mendengarkan cerita Mama dengan baik. Cerita itu membuatnya terenyuh juga. Tampaknya dari dulu Theo memang anak yang baik. Namun hati Alila juga terasa sakit di saat bersamaan. Tujuannya datang kemari adalah untuk membujuk Mama menjenguk anaknya. Hanya menjenguk. Tapi ia malah disuguhi sebuah kenyataan seperti ini. Alila memang tidak tahu secara detail kehidupan macam apa yang Theo dan keluarganya jalani selama ini. Hanya saja tidakkah ini terlalu aneh? Alila merefleksikan pada dirinya sendiri sebagai seorang ibu. Saat Dio sakit, ia merasa hancur. Ia merasa gagal menjadi seorang Ibu. Apakah ia tidak menjaga Dio dengan baik? Apakah makanan yang diberikannya selama ini tidak sehat sehingga Dio bisa jatuh sakit? Ia selalu dihantui kekhawatiran dan rasa bersalah. Hingga rasanya beranjak dari sisi Dio sedetik pun enggan. Ia ingin terus di sisi Dio sampai anaknya kembali sehat. Anak sekecil itu belum bisa mengeluhkan gejalanya. Alila langsung bisa tahu ada yang tidak beres dari anaknya. Dio yang biasanya aktif, tiba - tiba diam dan tidak bersemangat. Alila akan refleks menyentuh kening Dio untuk memastikan keadaannya. Di sinilah letak keanehan yang Alila maksud itu. Tidakkah Ibu Theo merasakan apa yang Alila rasakan? Menganggap mandiri anak yang selalu melakukan apapun sendiri. Menganggap mandiri anak yang jarang mengeluh. Menganggap mandiri anak yang penurut. Karena anggapan - anggapan aneh itu, bahkan mereka tidak tahu anak itu sedang sekarat. Bahkan kala anak yang dianggap mandiri itu sedang berjuang sendirian antara hidup dan mati. Alila akhirnya mohon undur diri. Ia pamit. Mama mengantarkannya sampai pintu keluar. Memeluknya seakan mereka sudah benar - benar akrab. Alila kembali memaksakan sebuah senyum. Menahan mati - matian rasa sesak di dadanya. Alila tidak bisa lagi menahan perasaannya ketika kembali melewati jajaran paving itu. Membayangkan bagaimana Theo bertahan di tengah keluarganya selama ini. Betapa sulitnya ia dan Luna saling menguatkan satu sama lain. Betapa sulitnya mereka berada di tengah - tengah keluarga, namun terasa seperti bukan keluarga. "Sudah?" tanya Jo begitu istrinya kembali ke mobil. Jo baru sadar jika ternyata Alila sedang menangis. "Kenapa? Apa ibunya jahat sama kamu?" Alila menggeleng. "Jalan aja dulu." Jo menurut. Ia segera men - starter mobilnya dan pergi dari sana. "Aku bersumpah nggak akan jadi ibu yang seperti itu. Aku nggak pengen Dio bernasib sama kayak Theo." ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD