Entah Kapan

1347 Words
Waktu berlalu begitu cepatnya. Hingga sudah setahun berlalu semenjak pernikahan sang Mama. Theo sudah kelas 5 sekarang, dan Luna berada di tahun terakhir sekolah menengah pertamanya. Tapi hari ini mereka berdua tidak berangkat sekolah. Theo sakit semenjak semalam. Ia mengeluh perutnya sakit lagi. Dari kecil memang itu - itu saja penyakit Theo. Selalu kambuhan setiap saat, tak mengenal waktu. Terutama saat Theo stress sehingga sulit makan. Badannya panas sekali. Luna dengan telaten mengganti kompresan di kening Theo dengan air dingin yang baru. “Ini kunyah dan telan, jangan dimuntahkan.” Luna memberi sebutir obat maag pada Theo. Theo menurut dan segera memenuhi permintaan kakaknya. Baru setelah ia minum obat itu, Luna menyuapinya bubur.   Badannya sakit semua, ia tak mau begini terus. Ia mau sembuh. Meski pun saat makan rasanya selalu mau muntah. Setelah makan perutnya sakit, tapi akan lebih sakit bila tidak makan. Ingin mengeluh tapi takut Luna menangis lagi. Theo serba salah. Theo tak bisa melakukan apapun selain menurut. “Tidur lah. Biar aku telepon Mama.” Theo segera memejamkan matanya. Mama sudah 3 hari tidak pulang. Tidak. Kali ini bukan urusan bisnis. Kian, anak bungsu Ayah mengalami kecelakaan sepeda motor 3 hari yang lalu. Keadaannya cukup parah hingga mengalami koma. Ia belum sadar sama sekali semenjak kecelakaan terjadi. Dan rencananya siang nanti ia akan dioperasi. Luna tahu Mama belum bisa pulang. Tapi tidak ada salahnya mencoba. “Tapi Theo sakit, Ma.” “Bagaimana keadaannya?” Luna melirik Theo di belakangnya. “Dia tidur sekarang. Katanya perutnya sakit lagi. Dia nggak banyak ngeluh sih. Tapi semalam ia ngigau terus. Badannya juga panas banget.” “Ya Tuhan …. Tapi … tapi Mama belum bisa pulang, Sayang. Kian akan dioperasi siang nanti. Ayah dan Mama akan menemaninya.” Ingin sekali rasanya Luna memaksa sang Mama untuk pulang. Tapi ia mengerti semua ini juga sulit untuk Mama. Pernikahan mereka baru seumur jagung. Semua masih dalam proses pendekatan dan berbaur sebagai keluarga baru. Kecanggungan masih sering terjadi. Wajar jika sang Mama berat untuk meninggalkan Kian saat ini. Apa lagi Ibu kandung Kian sudah meninggal. Siapa lagi yang menggantikan beliau menemani Kian, kalau bukan Mama.   “Nanti kalau panasnya belum turun juga, minta bantuan asisten untuk telepon dokter. Maafin Mama ya, Sayang. Mama mendoakan dari sini.” Suara wanita itu bergetar. Ia pasti menangis di sana. “Luna ngerti kok, Ma.” Luna diam di tempatnya. Kemudian kembali melirik Theo. Sedikit terkejut begitu tahu Theo sedang menatapnya. Ternyata anak itu belum tidur. Theo menengadahkan tangan kanannya. “Berikan ponselnya.” “Buat apa?” Theo malas menjawab pertanyaan Luna. Buang - buang tenaga saja. Nanti dia jadi semakin lemas. Ia segera merebut ponsel itu. “Halo.” “Theo … Sayang …” “Luna udah rawat Theo dengan sangat baik, Ma. Maaf jadi bikin Mama khawatir.” “Maafin Mama belum bisa pulang, Sayang.” “Nggak apa - apa. Mama jangan khawatir. Semoga Kian cepat baikan. Theo doakan dari sini.” “Terima kasih, Sayang. Suara isakan Mama terdengar begitu jelas. Theo hanya bisa tersenyum maklum, kemudian memutuskan sambungannya. Luna terdiam menerima ponselnya dikembalikan oleh Theo. Anak itu kini sering bertingkah seperti orang dewasa. Atau memang dirinya sudah tumbuh lebih dewasa dari umurnya yang sebenarnya. Luna sering khawatir dengan sifat baru Theo itu. Luna takut Theo yang sebenarnya, bersembunyi di balik sosok Theo yang baru. Luna tidak ingin Theo semakin menderita dengan kepura - puraannya. “Apanya yang baikan? Bahkan aku bisa bikin telur ceplok di keningmu ini.” Semakin lama waktu berlalu, keadaan keluarga ini terlihat lebih baik. Tapi sayangnya, Itu hanya menurut pandangan orang - orang di sekitar mereka. Namun pada kenyataannya ada dua sosok di sana yang merasa sebaliknya. Mereka justru semakin jauh dengan sang Mama. Hubungan mereka semakin canggung. Luna dan Theo terlanjur nyaman melakukan apa pun, membagi apapun, berdua saja. Tanpa melibatkan Mama. Mereka terlihat bahagia di luar. Namun selalu merasa terkukung dengan rasa canggung yang membatasi hubungan mereka dengan Mama dan keluarga barunya. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ Semuanya semakin parah ketika adik bungsu mereka lahir. Bayi perempuan yang lucu. Membuat Theo gemas ingin menggigitnya. Kasih Sayang Mama dan Ayah berpusat pada bayi itu. Apa lagi jarak dengan kakak - kakaknya lumayan jauh. Jaraknya sekitar 10 tahun dengan Theo yang notabene adalah anak bungsu di sana sebelumnya. Namira namanya. Ia punya banyak sekali cinta semenjak lahir. Dari kedua orang tuanya dan juga banyak kakak - kakaknya. Luna baru saja menyelesaikan Ujian Akhir Nasional SMA - nya. Was - was menunggu hasil ujiannya. Namun juga was - was menunggu sesuatu yang lain. Seminggu yang lalu Theo menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit. Luna khawatir karena semakin lama Theo semakin sering sakit. Dan sepertinya semakin parah juga. Pernah sampai Theo tidak turun dari ranjang sama sekali selama 2 hari. Karena bergerak sedikit saja membuatnya kesakitan. Mereka berdua menunggu di lobi, hingga nama Theo dipanggil, untuk menerima hasil pemeriksaannya. Setiap detik berlalu, terasa begitu lama. Dokter itu sesekali mencuri pandang pada Luna. Sama seperti seminggu yang lalu, saat mereka datang ke mari pertama kali. Namun konsentrasinya segera kembali pada tugasnya. Wajahnya terlihat tidak senang begitu mengingat kembali hasil rekam medis di tangannya. Ia mulai membuka amplop cokelat itu. Mengeluarkan hasil pemeriksaan. “Dengan sangat menyesal saya harus memberitahukan ini.” Dokter muda bernama Ifan itu terlihat menggaruk ujung hidungnya dengan jari telunjuk. Menandakan bahwa ia sedang merasa tidak nyaman memberitahukan berita yang ‘tidak baik’ ini. Luna terlihat menggenggam jemari Theo.   “GIST (Gastrointestinal Stromal Tumor), Kanker Lambung. Stadium 2.” Dua kakak beradik itu saling berpandangan. Baik Luna ataupun Theo tak memberikan respon apapun. Tak tahu harus bereaksi bagaimana. Mereka hanya tahu bahwa Kanker adalah sejenis penyakit yang mematikan. Luna semakin erat menggenggam jemari Theo. Mereka hanya diam menunggu penjelasan dokter selanjutnya.   Dokter itu terlihat berusaha keras mencari kata yang pas untuk diucapkan. 4 tahun menjadi dokter magang, dan baru bekerja selama 2 tahun sebagai dokter yang sesungguhnya. Theo adalah pasien pribadi pertamanya. Ia tidak tahu jika menyampaikan diagnosa pada pasien akan seberat ini. Apa lagi dua bocah ini tidak didampingi orang tua. Memang benar Luna sudah 17 tahun, tapi tetap saja ia masih belum cukup dewasa. Ifan sudah memberitahu mereka untuk membawa orang tuanya, tapi mereka berasalan orang tuanya sibuk. “Untuk saat ini pengobatan bisa langsung dilakukan. Sebelum terlambat.” “Lakukan apa saja asal Theo sembuh.” Luna memohon. Air matanya menggenang di pelupuk mata, kemudian terjatuh. Hari sudah hampir gelap. Theo dan Luna akhirnya sampai di rumah. Langkah mereka gontai. Mereka sudah mendiskusikan masalah ini. Tentang persiapan hendak memberi tahu orang tuanya. Meski pun pasti akan sulit, tapi mereka akan melakukannya bersama - sama. Begitu mereka masuk, mereka disambut oleh suara yang cukup ramai. Suasana yang jarang terlihat di keluarga itu. Ayah dan Mama sudah pulang. Bahkan ketiga kakak lelaki ada di rumah semua. Luna dan Theo berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi bingung yang kentara. Mama mendekat dan menggandeng tangan Theo untuk ikut bergabung. Luna ikut di belakangnya. “Hari ini ada surprise. Ke mana aja kalian baru pulang?” Mereka ikut duduk di karpet ruang keluarga ini. Theo memegangi tas ranselnya. Takut bila saja hasil pemeriksaannya terlihat atau bahkan terjatuh. Meskipun semua resleting tas - nya tertutup rapat. “Jadi ini sebagai wujud syukur atas banyaknya hal baik dalam keluarga kita. Mas Lintang yang berhasil lulus dengan predikat cumlaude. Dan Mbak Luna yang berhasil mendapat beasiswa ke Inggris. Ini sungguh membanggakan untuk kami.” Kebahagiaan terpancar dari wajah Ayah. Luna dan Theo berpandangan. Theo menggeleng pada Luna agar jangan bicara apapun. Luna hanya bisa menunduk dalam. Akan sulit baginya dan Theo untuk menentukan kapan lagi waktu yang tepat untuk memberi tahu mereka. Rencana mereka untuk memberitahu tentang penyakit Theo seperti gagal begitu saja. Bagaimana mungkin mereka merusak momen bahagia keluarga ini. “Gimana dengan Papa? Apa kita juga nggak akan memberitahunya?” Mereka duduk berdampingan di gazebo. “Kita cari waktu yang tepat dulu, Lun.” Dan mereka selalu menunggu hingga waktu yang tepat itu datang. Entah kapan. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD