Lapangan Basket

1172 Words
Yulia duduk bersandar pada dinding hijau stadion. Menunggu dan terus menunggu. Entah Theo akan datang atau tidak. Suasana hening. Baik Yulia atau pun Chico yang tengah duduk di salah satu bangku penonton, tidak ada yang bersuara. Chico terlihat lebih asyik dengan ponselnya. Mendial nomor Theo dan sesekali mengirim SMS. Mimik Chico saat ini membuat Yulia takut. Suara derap langkah terdengar. Membuat Yulia berdiri. Berusaha melihat siapa yang datang. Chico terlihat lebih tenang. Ia berjalan menuju gerbang masuk stadion untuk melihat. Benar itu Theo. Ia akhirnya datang. Pandangan Theo dan Chico saling bertemu. Berbeda dengan Chico yang menatap Theo dengan penuh amarah, sedangkan Theo hanya datar seperti biasanya. Begitu Theo sampai, Chico segera menyeretnya masuk. Yulia tertunduk di tempat, tidak bisa berbuat apa - apa. Chico menyeret Theo menuju Yulia. Sampai di sana, Theo segera melepaskan cengkeraman Chico dari pergelangan tangannya. "Dia udah dateng. Lo bisa tentuin pilihan lo sekarang!" ucap Chico. "Gue harus ngomong apa lagi sekarang?" Yulia menghapus air matanya yang jatuh tanpa diminta. Hal ini sudah cukup menyulitkannya. Ia merasa sudah merusak persahabatan mereka. Meskipun Yulia tahu mereka tak pernah benar - benar bersahabat. Namun hubungan mereka dulu tak serumit ini. Chico bahkan sangat membenci Theo sekarang. Yulia merasa bersalah karena itu. "Chico, gue udah bilang berkalib- kali ke lo." Yulia terisak hebat. "Gue nggak bakal milih. Bukan karena nggak mau. Tapi karena memang nggak ada yang harus dipilih." "b******n itu nggak pernah suka sama lo, lo tahu, kan?" Chico mendorong Yulia sampai jatuh. "Chico, lo apa - apaan, sih?" Theo tidak bisa tinggal diam lagi. Ia balik mendorong Chico karena sudah kasar pada Yulia. Meskipun tak sampai jatuh, namun cukup untuk menjauhkan Chico dari Yulia. Theo membantu Yulia berdiri. Gadis itu terlihat rapuh. Theo merangkulnya sebentar untuk menenangkannya. Yulia buru - buru menghapus sisa - sisa air matanya. Ia meneguhkan hatinya. Theo menatapnya khawatir. Yulia menggeleng padanya. Mengisyaratkan bahwa ia tidak apa - apa. Ia sedang mengumpulkan keberaniannya. Ia tidak tahan lagi. Ia tidak mau Chico terus - terusan seperti itu. Dan ia juga tidak mau terus - terusan merasa tak enak pada Theo. "Gue tahu dengan jelas bahwa Theo nggak pernah suka sama gue. Itu sebabnya gue nggak bisa milih. Please, Chico. Please ngerti!" Chico mendengarkan ucapan Yulia. Berusaha mengontrol emosinya sendiri. "Gue suka sama dia, tapi dia nggak suka sama gue. Lo suka sama gue, tapi gue enggak, Chico. Maaf. Gue juga nggak bisa maksa diri gue sendiri buat milih lo. Maka dari itu gue memutusan buat nggak memilih. Karena memang nggak ada yang bisa dipilih. Lo ngerti kan?" Hening. Chico bergelut dalam pikirannya. Yulia benar. Hati nuraninya mengatakan demikian. Ia begitu mencintai Yulia. Tapi kenapa ia tidak bisa berkorban untuknya? Bahkan Chico juga kasar padanya. Chico terlalu egois. Ia sangat tahu apa yang salah dari sikapnya sendiri. Dan Chico merasa amat jahat karenanya. Dirinya sangat jahat. Dikuasai oleh keegoisan yang tak bisa dikontrolnya. Membuatnya terus menerus menyalahkan dan membenci orang lain. Kebencian kembali menguasainya dalam sekejap. Chico bergerak maju, meraih kerah seragam Theo. Mendorongnya dan merapatkannya ke dinding. Theo sama sekali tak melawan. Biarkan saja Chico melakukan apa yang ia inginkan. "Mungkin gue bakal rela kalo lo suka sama orang lain. Tapi dia? Kenapa harus dia?" Nada bicara Chico penuh dengan amarah. "Dia orang paling sombong yang pernah gue kenal. Dia selalu rendahin gue. Tapi kenapa semua orang justru menjunjungnya? Meninggikannya. Bahkan gadis yang gue suka pun lebih memilih suka sama dia?" Chico semakin mengeratkan tarikan pada kerah Theo. Theo mengernyit ... sakit itu datang. Lagi. Salah satu sebab dirinya tak bisa tidur semalaman. Ia bohong saat Alila menelepon menanyakan kondisinya. Karena ia tidak boleh lagi bergantung padanya. Theo cukup lega saat sakit itu mulai mereda menjelang pagi tadi. Tangan Theo mencengkeram perutnya. Ingin rasanya ia merebahkan diri di sana sekarang juga. Berharap rasa sakitnya membaik. Tapi tak bisa karena cengkeraman Chico menghalanginya. Ia pun terus memikirkan ucapan Chico tentang dirinya barusan. Jadi begitu anggapan Chico padanya. Theo tidak bisa membantah karena kenyataannya memang seperti itu. Theo tahu bahwa pasti Chico sakit hati dengan sikapnya selama ini. Juga semua orang yang selalu menjunjungnya tanpa sebab. Atau mungkin karena kesempurnaan fisiknya? Tidak. Chico pun tak kalah darinya. Jadi bukan karena itu. Berarti karena harta kekayaan keluarganya. Keluarga tirinya. Milik mereka. Orang mengira Theo menikmati segala kekayaan itu. Mereka tak pernah tahu yang terjadi sebenarnya. Theo tak pernah bisa menikmati milik mereka. Karena itu milik mereka. Bukan miliknya. Sesederhana itu. "Lo ...," lirih Theo. "Apa lo pikir gue ngemis ke mereka buat selalu menjunjung gue?" "Gue nggak peduli. Gue benci banget sama lo. Di saat lo nggak punya temen, siapa yang nemenin lo? Tapi apa balesan lo, lo selalu rendahin gue." "Apa gue minta lo buat nemenin gue?" "Sebagai manusia yang punya perasaan, apa gue salah nemenin temen sekelas gue yang selalu sendirian? Coba bilang di mana letak kesalahan gue?" Theo tersenyum miris. "Nggak. Itu sama sekali nggak salah. Gue akui, sikap gue selama ini buruk banget ke lo. Maafin gue." "Segampang itu lo bilang maaf?" Chico tidak habis pikir. Setelah perlakuan buruk Theo selama ini, semudah itukah mengatakan maaf? Bruk .... Chico mendorong Theo, merobohkannya ke lantai. Ia kemudian menindihnya, dan kembali meraih kerah seragamnya. BUG. Satu pukulan menghantam wajah Theo. Theo tidak membalasnya. Yulia di sana mulai tidak bisa diam dengan apa yang terjadi. Ia berusaha membantu Theo dengan menarik Chico untuk pergi. Namun Chico tidak berhenti, ia kembali mendorong Yulia sampai jatuh. Chico kemudian kembali menarik Theo untuk berdiri. Begitu posisi mereka kembali berhadapan, Chico akhirnya menyadari ada yang aneh dari mimik Theo. Sekilas ia melihat tangan Theo memegangi perutnya. Chico juga melihat peluh Theo yang mengalir dari pelipisnya, di udara sedingin ini. "Lo mau pukul gue kayak apa, gue terima, asal lo mau maafin gue. Dan jangan bersiap kasar lagi ke Yulia!" ucap Theo. "Gue juga nggak tahu apa yang bikin Yulia suka sama gue. Tapi please ngaca! Apakah diri lo yang sekarang pantes buat dicintai?" Kata - kata Theo berhasil membuat Chico mengendurkan cengekeramannya. "Setahu gue lo orang yang baik. Dengan kebaikan itu, gue yakin Yulia bisa cinta sama lo suatu saat nanti. Tapi lo berubah. Kalo lo terus - terusan kaya gini, gimana mungkin dia bakal bales cinta lo?" Perlahan Yulia bergerak. Ia memeluk Chico dari belakang. "Maafin gue. Gue udah banyak banget nyakitin lo, Chico." Mereka bertahan pada posisi seperti itu cukup lama. Kedua tangan Chico masih mencengkeram kerah Theo. Dan Yulia memeluk Chico dari belakang. Menunggu Chico mengambil keputusannya. Apakah ia akan kembali menjadi Chico yang dulu, atau ia akan terus seperti ini? Sakit Theo semakin menjadi. Peluhnya semakin banyak keluar. Chico akhirnya yakin ada yang tidak beres dengan Theo. Theo menatap Chico. Di balik kesakitan yang ia rasakan, Theo masih tetap ingin meyakinkan Chico bahwa ia menyesal. Ia tulus meminta maaf. Pandangan Theo mulai mengabur. Sedetik kemudian kesadarannya benar - benar hilang. Chico mengeratkan kembali cengkeramannya pada kerah Theo. Namun kali ini bukan untuk menyerangnya, melainkan untuk menahan supaya Theo tidak jatuh membentur lantai. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD