Bendera Perang

1290 Words
Sejak bel istirahat tadi, Chico memanggil - manggil nama Theo. Hanya saja Theo pura - pura tak mendengar. Chico mengejarnya sampai di koridor. Ia langsung memposisikan diri di hadapan Theo, supaya cowok itu tidak bisa melanjutkan langkah untuk menghindar. Theo segera menatap tajam pada Chico yang menghambat langkahnya. "Kemarin gue nyatain perasaan ke Yulia," ucap Chico akhirnya. Theo masih tak memandang Chico sama sekali. Namun ia mendengarkan. Theo mengira - ngira apa perkataan Chico selanjutnya. Diterima atau ditolak? Tapi melihat wajah murung Chico, sepertinya ditolak. "Dia bahkan nggak mau pertimbangin keputusannya sama sekali. Dan dia ..." Chico terlihat enggan melanjutkan kata - katanya. Theo sendiri sepertinya tidak mau mendengarkan kelanjutannya. Tidak. Yulia tidak mengatakan bahwa ia .... "Yulia suka sama lo." Itu dia. Kata - kata yang enggan Chico ucapkan, dan juga enggan Theo dengarkan. Sebuah kenyataan pahit untuk Chico. Dan sebuah ketidak nyamanan untuk Theo sendiri. Meskipun Theo tak pernah menganggap Chico temannya, tapi rasa tak enak itu normal muncul. Mengingat bahwa Chico selalu membicarakan Yulia pada Theo. Jadi Theo tahu persis bahwa Chico memang benar - benar mengagumi gadis itu. "Lalu apa maksud lo ngasih tahu hal ini ke gue?" Theo akhirnya buka suara. "Lo mau gue macarin dia, gitu?" "Jangan ngomong sembarangan!" Chico kesal sekali mendengar jawaban Theo. Theo kemudian menyeringai. Menatap amarah tertahan di mata Chico. Ia tahu tujuan Chico memberitahukan hal ini padanya, adalah sebagai peringatan. Bahwa Yulia adalah miliknya, dan Theo tak boleh mengambilnya. Kekanakan! Theo akhirnya memutuskan untuk memperjelas situasinya. Bahwa ia sama sekali tak tertarik perihal Chico dan Yulia. Apa pun itu. Supaya Chico berhenti mengganggunya hanya karena urusan yang menurut Theo tak penting ini. "Dengarin baik - baik. Gue udah punya seseorang yang gue suka. Dan orang itu bukan Yulia." Theo menatap Chico sekilas. Melihat perubahan ekspresi di sana. Wajah murungnya sedikit memudar. Theo kemudian mengayunkan langkahnya. Melewati Chico yang masih diam di tempatnya. ~~~~~ I Love You, Tante! - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ Minggu - minggu yang menyakitkan untuk Chico. Yulia seperti menjauh darinya. Bahkan gadis itu semakin gencar mendekati Theo secara terang - terangan. Kala Theo duduk sendirian di atap sekolah, Yulia menghampirinya. Mengajaknya bicara. Bahkan ia tak peduli sama sekali dengan sikap cuek Theo. Ia tetap tersenyum saat Theo hanya diam, dan ia bicara begitu banyak. Satu hal yang terpenting, binar ceria di wajah Yulia tak pernah pudar tiap kali bersama dengan Theo. Chico sendiri selalu mengikuti Yulia ke manapun gadis itu pergi. Yulia terlihat baik - baik saja meskipun tak ada Chico lagi di sampingnya seperti dulu. Ia tetap bersenang - senang dengan teman - temannya. Mengikuti pelajaran dengan baik. Makan dengan baik. Dan bahkan tersenyum 'lebih' baik. Siang ini Yulia sengaja mengantre jatah makan siang di belakang Theo. Semua mata menatap pada dua sejoli itu. Theo yang tampan dan Yulia yang cantik, akan menjadi pasangan yang serasi jika mereka pacaran. Dan Chico benar - benar tak suka itu. Saat makan pun mereka duduk bersamaan. Theo terlihat benar - benar tidak nyaman dengan keberadaan Yulia di sekitarnya. Ia sudah bersikap cuek, tidak mempedulikan gadis itu sama sekali. Namun Yulia seperti tak mempermasalahkannya. Yulia menyuapkan sesendok makanan pada Theo. Theo menolaknya dengan menggeleng. "Sekali aja." Yulia memohon. Theo kini menatap pada Chico yang berada tidak jauh dari mereka. Chico terus menerus mengawasi mereka sedari tadi. Melihat apapun yang Yulia lakukan untuk menunjukkan perasaannya pada Theo. Theo akhirnya kembali menolak permohonan Yulia. Yulia hanya bisa cemberut. ~~~~~ I Love You, Tante! - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ Hari ini Yulia mengikuti Theo ke perpustakaan. Theo ingin mencari buku untuk tugas Sosiologi. "Gue juga punya tugas yang sama. Jadi nggak ada salahnya kan kalau kita pergi bareng." Itu lah alasannya kali ini. Sampai perpustakaan, mereka segera menuju ke bagian indek Sosiologi. Mencari - cari buku sumber yang dibutuhkan. Zaman sekarang sebenarnya mencari tugas tak perlu repot - repot di buku. Tinggal browsing semua beres. Tapi Guru mereka nampaknya berbeda. Tugasnya selalu susah dicari di internet. Gambaran guru yang diperlukan masyarakat zaman sekarang. Yang membuat muridnya benar - benar belajar kalau mau nilai bagus. "Theo, lo belum ketemu bukunya?" tanya Yulia. Theo hanya menggeleng. "Ini, gue udah ketemu. Lo pakai duluan aja." Yulia memberikan buku itu pada Theo. "Tapi, kan, lo yang nemuin itu. Dan lo juga lagi butuh buat tugas itu. Jadi lo aja yang pakai." Theo menolak. Yulia tiba - tiba saja menggandeng tangan Theo. Theo cukup terkejut karenanya. Rupanya Yulia menyeret Theo kepada petugas perpustakaan. Dan aksi itu segera menyedot perhatian orang - orang. "Apa buku ini masih ada lagi? Kami udah cari dari tadi, tapi cuman ketemu satu," lapor Yulia pada petugas. Petugas itu mencari daftar buku di komputernya. "Buku ini memang tinggal satu. Yang lain sudah dipinjam. Dan yang paling cepat akan dikembalikan tiga hari lagi," jawabnya. "Lo denger, kan?" Yulia menang. "Lalu gimana sama lo? Udah lo pakai aja. Masih banyak buku sumber yang lain. Biar gue cari lagi." Theo sudah hendak beranjak, tapi Yulia mencegahnya. "Buku ini yang paling direkomendasikan Bu Shia. Ambil ajalah, gue bisa ngerjain bareng teman - teman yang udah pinjam buku ini." Yulia tersenyum manis sekali. Tiba - tiba seseorang muncul. Merebut buku itu dari tangan Yulia. Membuat Theo dan Yulia seketika menatap pada orang itu. Chico. "Dia udah bilang nggak mau, tapi lo tetep maksa. Sebenarnya lo ini punya harga diri atau nggak?" tanya Chico dingin. Yulia terlihat kaget sekali. Benarkah ini Chico yang dikenalnya? Kenapa Chico yang begitu baik, mengatakan hal sekasar itu? Apalagi pada Yulia. Sekali lagi mereka menjadi pusat perhatian. Petugas perpustakaan segera memberi tahu mereka untuk menyelesaikan urusan pribadi di luar. Akhirnya baik Yulia, Theo ataupun Chico tak ada yang jadi meminjam buku itu. Chico menyeret Yulia ke tempat sepi. Theo sebenarnya tidak peduli dan tak mau ikut campur urusan mereka. Karena sekali lagi, menurut Theo hal itu sama sekali tak penting. Tapi kali ini situasinya berbeda. Theo pun memutuskan untuk ikut. Jujur ia sendiri terkejut, kenapa Chico bisa mengucapkan kata - kata sekasar itu tadi? "Chico ... lepasin ... sakit ...." Yulia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Chico. Mereka akhirnya berhenti di lorong belakang sekolah. Tempat ini sepi, jarang didatangi oleh siswa. "Bukankah udah jelas bahwa Theo nggak suka sama lo? Dia bahkan udah berkali - kali nolak permintaan lo. Tapi lo nggak nyerah juga. Lo terus mengekor dia seperti wanita yang nggak punya harga diri!" Chico masih meneruskan kata-kata kasarnya. Yulia menangis tentu saja. Ia belum pernah mendapat perlakuan sekasar ini. Apalagi dari seseorang sebaik Chico. Rasanya jauh lebih sakit karena Chico yang mengatakannya. "Gue tahu dia nggak suka sama gue. Tapi gue udah cukup bahagia bisa deket sama dia. Apa hak lo ngatain hal sekasar itu ke gue?" kata Yulia di sela isakannya. Theo bergerak maju. Melepaskan genggaman tangan Chico dari Yulia. Pergelangan tangan Yulia memerah karena genggaman itu terlalu kuat. "Lo lihat ini?" Theo memperlihatkan pergelangan tangan Yulia pada Chico. "Apa menurut lo ini nggak terlalu berlebihan?" "Lepasin tangan lo dari dia!" Chico melepaskan tangan Theo dari Yulia dengan kasar. Theo berusaha menahan amarahnya. Ia hanya tidak mau semua semakin kacau. "Gue tahu lo sakit hati, tapi jangan kaya gini!" "Apa urusan lo? Lo, kan, nggak suka sama dia, tapi kenapa lo belain dia?" "Gue nggak belain dia. Gue cuman ngasih tahu sebuah kebenaran. Lo kasar dan nggak sopan. Apa ini yang cara lo mencintai seseorang?" Theo meraih jemari Yulia. "Gue bawa dia. Kalian bicaralah baik - baik, nanti, saat lo udah sadar di mana letak kesalahan lo." Theo benar - benar membawa Yulia dari sana. Chico hanya bisa menatap kepergian mereka. Entah setan apa yang merasuki Chico. Tapi kata - kata Theo tadi sama sekali tak menyadarkannya. Justru membuatnya semakin marah. Ia justru menganggap Theo sedang mengibarkan bendera perang. ~~~~~ I Love You, Tante! - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD