Bertemu Lagi

1183 Words
Theo uring - uringan dari semalam. Ia bahkan ngambek tidak mau sarapan. Membuat dokter Ifan pusing tujuh keliling. Hari ini adalah waktunya menjemput Luna di Bandara. Theo diizinkan ikut. Hanya saja, rupanya Theo minta dipulangkan hari ini juga. Sayangnya permintaan Theo tidak dikabulkan oleh Ifan. Makanya ia ngambek. "Gue nggak pernah tahu kalo dia tuh ternyata childish banget." Yulia ikut mengomel. "Lo pengen sembuh nggak, sih?" Chico kompak mengomel padanya. Sayangnya Theo sama sekali tak berniat menanggapi mereka. Ia malah bertanya pada Tante Ali - nya. "Nona, mana bajuku buat ke Bandara nanti?" Bibirnya cemberut, dan tangannya menyilang di d**a. Alila menyerahkan baju yang diminta Theo. Theo segera mengambilnya, dan ia turun sendiri dari ranjang. Membawa infus - nya sendiri, masuk ke kamar mandi. Sejak kemarin ia memang sudah diperbolehkan turun dari ranjang dan berjalan di sekitar kamarnya. "Dasar bocah!" Itu suara Chico. Dokter Ifan terlihat mengacak - acak rambutnya sendiri. Berpikir keras. Apa gerangan solusi yang harus dibuatnya supaya Theo tidak ngambek lagi, dan mau memakan sarapannya. Theo keluar dari kamar mandi, masih dengan tampang kusutnya. Meskipun begitu, tak menghalangi orang - orang di sana untuk tak memandangi penampilannya sekarang. Semua menatap kagum pada Theo. Skinny jeans dan kaos panjang warna hitam, pakaian kasual biasa sebenarnya. Tapi terlihat sangat 'wah' untuknya. Mungkin efek karena hampir tiga minggu ini mereka terus menerus melihat Theo memakai baju pasien. Atau mungkin memang karena Theo memang keren dari sananya. "Apa lihat - lihat?" Gayanya masih tengil. Chico gemas ingin mendorongnya keluar jendela. Perlu diingat, kamar ini ada di lantai 5. "Theo." Dokter Ifan angkat bicara. Theo meliriknya. Ia berharap banyak pada Ifan sebenarnya, tapi tak mau menampakannya. "Baiklah lo boleh pulang setelah jemput Luna nanti." Ifan mengambil keputusan itu. Daripada Theo tidak makan dan memperburuk kondisinya. Ia tak mau mengambil resiko "Apa? Beneran?" Ekspresi Theo mendadak berubah. Entah ke mana hilangnya tampang cemberut tadi. Ia terlihat senang sekali. Ia bahkan sampai melompat dan memeluk Ifan. "Aduh ...," keluhnya ketika perutnya tiba - tiba sakit. "Apa gue bilang? Astaga! Jangan lompat - lompat!" Ifan panik. Theo cemberut lagi karenanya. Sementara tiga orang lain yang berada di sana, Alila, Chico, dan Yulia serasa terkena serangan jantung saat Theo kesakitan tadi. "Lo boleh pulang asal janji buat jadi anak baik. Jangan lompat - lompat kayak tadi, jangan terlalu banyak gerak, banyak istirahat, makan tepat waktu, minum obat tepat waktu, dan jangan makan sembarangan!" Theo menelan ludahnya. Ia rasa persyaratan kepulangannya itu bisa memenuhi sebuah buku tulis. "Iya - iya. Cerewet banget kaya tante - tante lo." "Luna bisa bunuh gue kalo lo sampai kenapa - kenapa!" Ifan kembali menampakkan wajah frustrasinya. "Iya, Pak Dokter!" Agenda mereka akhirnya bertambah. Yaitu harus merapikan kamar ini tentu saja. Membersihkan semua barang - barang Theo yang dibawa selama dirawat. Menjelang siang, Theo sudah tidak sabar untuk berangkat. Setelah Ifan memberi tahu bahwa ia sudah menunggu di bawah, mereka segera turun. Karena Ifan yang akan mengantar mereka. Jo berhalangan hadir. Ia masih banyak pekerjaan di rumah sakit. Seorang suster membantu mendorong kursi roda Theo sampai di loby depan. Selanjutnya Theo berjalan sendiri ke mobil. Dan kursi roda itu diangkat oleh Chico ke dalam mobil. Theo sudah bilang tidak mau lagi pakai kursi itu. Tapi Ifan tetap meminta Chico membawa kursi itu bersama mereka. "Lo boleh seneng, tapi juga jangan senyam - senyum sendiri gitu. Serem!" komentar Chico pada Theo yang duduk di jok depan bersama dokter Ifan. Theo bersama Alila di tengah, sementara Yulia bersama kursi roda dan barang - barang lain di belakang. Sejujurnya Chico menawarkan diri untuk menggantikan Yulia di sana. Karena kasihan melihat gadisnya duduk bersama barang - barang. Tapi Yulia menolak. Lebih baik duduk di belakang bersama benda mati daripada canggung duduk di depan bersama Ifan. "Kakak gue tuh pulang dari Inggris, ya wajarlah gue seneng. Tapi sebenernya ada yang lebih seneng dari gue. Ada!" Semua menatap Theo yang sedang menunjuk Ifan. Tampaknya Ifan terlalu konsentrasi menyetir sampai tidak sadar semua orang tengah menatapnya saat ini. Kemudian mereka tertawa geli, membuat Ifan kaget. Ia tak tahu apa - apa dan bertanya - tanya kenapa semua orang tertawa. *** I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa *** "Gue udah bilang, gue nggak mau pakai itu. Harus ngomong berapa kali?" Theo segera turun dari mobil dan mendahului mereka masuk bandara. "Theo!" seru Ifan dan Alila hampir bersamaan. "Bener - bener kayak anak kecil!" seru Dio yang benar - benar masih kecil. "Dokter, dia nggak apa - apa jalan sendiri begitu?" Yulia bertanya serius. Chico di sampingnya sibuk mengatur napas karena dengan susah payah, ia baru saja menurunkan kursi roda dari mobil. Makanya ia kesal sekali begitu melihat Theo nyelonong pergi tanpa menghargai usahanya sama sekali. Anak itu masih seenaknya sendiri. Padahal Chico sudah berkorban sedemikian rupa. Kursi itu kan berat sekali. Tapi apa balasannya? Saking kesalnya ia sampai tak bisa komentar apa - apa. "Kenapa dia keras kepala banget sih, Ya Tuhan?" Ifan akhirnya pasrah. "Sini biar gue aja yang angkat!" Ifan menghentikan Chico yang tadinya sudah mau mengangkat kursi roda itu kembali ke mobil. Chico tersenyum lebar dan luar biasa lega karena Ifan begitu mengerti penderitaannya. Mereka berdiri bersama di antara ratusan penjemput lain. Chico, Yulia, dan Theo norak sekali membawa kertas bertuliskan LUNA. Lagaknya sudah seperti fans yang menjemput idola mereka. Dari balik pintu kaca, muncul wanita tinggi menggunakan coat panjang warna cokelat. Rambutnya panjang bergelombang, memakai syal, dan juga kaca mata hitam. Ia membawa ponsel dan passport di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya menyeret koper. Ia langsung berlari ketika melihat Theo dan yang lain di antara kerumunan. Ia bahkan terbahak melihat namanya tertulis di kertas manila warna putih. Ifan bergegas menyiapkan diri menyambut Luna. Ia memasang senyum terbaiknya. Melihat Luna bahagia seperti itu ia sungguh merasa senang. Jantungnya seperti hendak melompat. Ifan berdiri paling depan menyiapkan sebuah pelukan untuk Luna. Sayang seribu sayang, gadis itu terus berjalan melewatkannya. Ifan menganga tak percaya. Ia berbalik dan melihat Luna yang saat ini sedang memeluk Theo. Ya Tuhan, Ifan baru sadar bahwa saat ini ia belum menjadi apa - apanya Luna. Kedua kakak beradik itu saling melepas rindu sama lain. Saling mencubit, mengomentari perubahan fisik keduanya. "Lo tambah gendut." "Lo tambah kurus." "Kenapa rambut lo buluk gitu?" Luna memegangi rambutnya yang ia highlight dengan warna honey brown. "Ini lagi trend kali." Sebuah pemandangan yang indah antara dua bersaudara yang lama tidak berjumpa. Siapa pun akan iri melihatnya. "Cantik banget, ya!" seru Chico. Ia terus menerus mengatakannya semenjak Luna datang. Yulia di sampingnya hanya bisa menggigit bibir. Entah kenapa rasanya sakit tiap kali Chico menyebut Luna cantik. Ia menunduk memandangi sepatunya. Ia harus mengakui bahwa kakaknya Theo memang sangat cantik. Wajar jika Chico mengaguminya. Yulia tidak tahu, bahwa Chico saat ini sedang merasakan sebuah kemenangan besar dalam hatinya. Kenapa? Chico sengaja memuji Luna terus menerus. Tujuannya sebagai tes perasaan Yulia padanya. Dan hasilnya, melihat wajah terluka Yulia seperti saat ini, ia senang sekali. Yulia cemburu. Chico tak mengerti kenapa Yulia terlihat beribu kali lebih menggemaskan saat cemburu begini. Chico gemas ingin menikahi Yulia saat ini juga saking senangnya. ~~~ I Love You Tante - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD