Bab 1: Cahaya di Werdgorf

748 Words
25–29 Januari 6222 N Udara pagi di Desa Werdgorf selalu berbau kayu bakar dan lumut muda. Di planet Bendraff, musim dingin tak pernah keras; hanya kabut tipis yang turun dari punggungan hijau, membelah desa menjadi dua bagian: sisi matahari dan sisi teduh. Rumah keluarga Werdgorf berdiri tepat di sisi matahari, dekat tengah desa, berdinding kayu ek putih yang telah berubah keperakan karena usia dan cahaya bintang tunggal Bendraff-α. Anthea Werdgorf duduk di kursi goyang buatan suaminya, tubuhnya tertutup selimut rajutan berwarna kuning pucat—warna yang menurut neneknya akan menenangkan janin. Tungku perapian berderak kecil, memuntahkan percikan api yang menari di atas kayu bakar, menerbitkan bayangan gemulai di dinding. Di luar jendela, sawah bertingkat mulai berkilatkan embun; seekor burung bernama *tintirel* hinggap di ambang, berkicau tiga kali, lalu terbang lagi. Anthea tersenyum, tangannya yang putih lembut membelai perut bundar yang sudah turun ke bawah. Ia tahu tanda itu: sang bayi sudah siap. Robert Werdgorf, suaminya, berlutut di samping kursi. Rambutnya yang pirang keemasan—warna langka di Bendraff—jatuh menutupi dahinya saat ia membungkuk untuk mencium perut istrinya. Tangannya besar, kasar karena sehari-hari memegang palu dan pahat, namun ketika menyentuh Anthea ia seperti menyentuh kaca. “Dia akan cantik seperti ibunya,” bisiknya, suaranya berat tapi hangat, bergema kecil di ruangan yang sunyi. “Atau gagah seperti ayahnya,” sahut Anthea, matanya biru muda berbinar. “Asalkan sehat, aku sudah bersyukur.” Di lorong pendek, langkah kecil terdengar cepat. Anaya Werdgorf, anak laki-laki berusia delapan tahun yang rambutnya sudah mulai pirang seperti ayahnya, muncul di ambang pintu. Matanya—biru tua, warisan ibunya—membulat penuh antisipasi. Di tangannya, sebuah boneka kayu kecil berbentuk burung; ia baru saja selesai memahatnya di bawah pohon kersik, menunggu matahari naik setengah tongkat. Ia menahan napas, lalu melangkah pelan, seolah takut mengganggu momen sakral. “Bolehkah aku menyentuh adikku, Ma?” tanyanya, suara serak kecil karena semalaman hampir tidak tidur. Anthea mengangguk. Anaya mendekat, lututnya gemetar. Ia menempatkan jari-jari kecil di atas perut ibunya, tepat di tempat ayahnya baru saja mencium. Sesuatu bergerak di bawah kulit—tendangan lembut, seperti ikan yang berbalik di air. Anaya menarik napas; matanya berkaca. “Adikku,” katanya, “aku akan jaga kamu sampai bintang-bintang padam.” Robert menepuk pundak anaknya. “Kami percaya padamu, Nak.” Empat hari kemudian, langit Werdgorf berubah kelabu muda sejak subuh. Kabut turun lebih tebal dari biasanya, tapi di rumah Werdgorf api tetap menyala. Tetangga—Sarien si pendeta, Tante Luret pembuat keju, dan dua wanita tua dari koperasi—berkumpul di teras, membawa bakpao gandum, sup kentang, dan segenggam bunga liar beraroma madu. Di Bendraff, kelahiran adalah peristiwa desa; setiap tangan harus ikup, setiap doa harus terangkat. Di dalam, Anthea berbaring di ranjang kayu, kain linen putih basah keringat. Robert memegang tangannya, wajahnya pucat tapi tenang. Bidan tua, Nyai Hevel, berdiri di ujung ranjang, suaranya berirama nyanyian lembut kuno—mantra penenang yang konon diturunkan dari nenek moyang penjelajah bintang pertama. Anaya duduk di pojok, memeluk boneka kayunya, matanya tidak berkedip. Ia telah meminta izin tinggal; ia ingin menjadi yang pertama menyambut adiknya. “Satu dorongan lagi, Thea,” bisik Nyai Hevel. “Tarik napas, seperti angin musim semi.” Anthea mengerang, tapi suaranya tertahan; ia ingin tidak menakuti Anaya. Robert mencium dahinya, berbisik terima kasih berkali-kali. Dan kemudian—dalam hening yang tiba-tiba seperti mundurnya seluruh galaksi—terdengar tangis kecil, serak, tapi penuh nyawa. Nyai Hevel tersenyum lebar, mata berkilat. “Putri cantik,” katanya, membungkus bayi itu dengan kain halus. Kulitnya kemerahan, rambutnya hitam kelam—warna langka di Werdgorf—dan matanya baru terbuka seujung, menatap dunia dengan cahaya kecokelatan misterius. Robert menangis tanpa suara. Anthea terkulai lemas, tapi senyumnya melebar sampai ke telinga. “Nana,” ucap Robert, “nama itu yang kita pilih.” Anaya melangkah perlahan, seolah ruangan berkabut. Nyai Hevel menunduk, memperlihatkan wajah bayi itu padanya. “Inilah adikmu. Beri ia doa.” Anaya menyentuh dahinya yang lembut, lalu tangan kecil yang kepal. “Hai, Nana. Aku Anaya. Akan kuajari kamu semua yang kuketahui—tentang angin, tentang kayu, tentang bintang. Dan kalau suatu saat dunia berisik, kamu boleh sembunyi di balik jubahku.” Di luar, kabut mulai naik. Tetangga bersorak pelan, meniup seruling kecil, menaburkan bunga di depan pintu. Di langit, awan membentuk spiral aneh—tanda lama yang konon muncul saat jiwa baru datang. Tapi di dalam rumah sederhana itu, yang terdengar hanya napas lembut, detak jantung kecil, dan bisikan cinta yang tak akan pernah padam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD