64. Tidak Berubah

1370 Words
"Aku tidak tahu siapa yang membawa gadis itu," Christian duduk di kursi kebesarannya. "Kupikir dia akan berbuat sesuatu, ternyata tidak, baguslah jika anak itu tidak kembali," Christian tersenyum. Dia duduk di jabatan yang memang seharusnya milik sang mendiang temannya lima tahun lalu. Kakinya ia naikan di atas meja kerjanya. "Hm...mungkin saja musuh Mochtar yang menghabisi anak itu," Christian berekspetasi. "Dia punya banyak musuh, bukan hanya denganku yang temannya," ujar Christian, ia manggut-manggut sambil tertawa setan. "Hahahahaha! Maafkan aku teman, tapi semua ini politik, hahahaha!" Christian dengan gaya pongahnya tertawa senang. ♡♡♡ "Bagaimana perkembangan Gilan?" Jamaludin bertanya ke arah sang putri. Cika yang sedang sarapan pagi itu mendongak ke arah ayahnya, ia menghentikan kunyahannya. "Masih berjalan pa, temanku sedang mengusahakannya, dalam beberapa hari ini dia akan melakukan operasi lagi," ujar Cika. Jamaludin menghentikan kunyahannya, ia terlihat memikirkan sesuatu. "Kawal dosennya datang ke rumah sakit itu, dia harus mendapatkan pendidikan yang layak seperti orang pada umumnya, aku tidak mau dia terlantar dalam pendidikannya," ujar Jamaludin. Cika mengangguk, entah ini kalimat yang berapa ratus kali, ayahnya selalu mengutarakan kalimat ini. Cika menunduk, pandangannya kosong. "Kalau saja om Mochtar tidak menolongku waktudari tusukan pisau itu, mungkin om dan tante Nulan masih ada sampai sekarang ini," ujar Cika. Suara yang biasanya tegas itu sekarang serak. Jamaludin melirik ke arah sang anak. Entah ini kalimat yang keberapa ratus kali, Cika selalu menyebutkan kalimat ini dikala anak perempuannya itu selalu terbawa arus masa lalu. "Papa akan menambah jumlah pengawal bagi Gea dan Gilan," ujar Jamaludin. Cika mendongak ke arah sang ayah. Jamaludin terlihat tak ingin mendengar lagi kematian tragis sang adik. Bukannya ia tidak suka atau ia ingin melupakan sang adik, tapi karena ia takut akan terlalu terbawa emosi seperti lima tahun lalu. "Tuan Agri Nabhan telah menawarkan bantuan kepada ayah, putranya dulu berteman dengan Agil," lanjut Jamaludin. Cika mengerutkan keningnya. "Agri Nabhan?" Jamaludin mengangguk. "Pa, ini kopinya," Astri, sang isteri memberikan segelas kopi ke arah suaminya. Jamaludin menerima kopi itu sambil mengangguk. "Busran Afdal Nabhan," Cika bergumam pelan. "Kara, nanti sore kalau kamu sudah pulang kerja, temenin mama ke rumah sakit yah?" "Mama mau jenguk Gilan dulu, sudah seminggu mama nggak pergi karena kaki mama bengkak, anak itu pasti sedih nggak bisa meluk mama," ujar Astri. Cika mengangguk. "Tapi kaki mama udah sembuh kan?" "Udah kok, ini dokter udah kasih obat," jawab Astri. Jamaludin menoleh ke arah wanita yang sudah 30 tahun menemaninya. "As, bawakan juga Gilan kue atau buah, kau tahu kan, anak itu sulit sekali berinteraksi sekarang dengan orang lain karena traumanya?" Astri mengangguk. Wanita paruh baya itu menghembuskan napas susah. "Huuuh!" "Siapa yang tega berbuat seperti itu? Temanku sungguh malang," ujar Astri, ia mengingat Nulani, temannya waktu SMA. Astri juga merupakan anak seorang polisi, mereka berteman karena ayah Nulan yang masih menjadi polisi dipindah tugaskan ke Semarang sebelum ia pensiun di Lampung, rumah Nulani dan Astri pun hanya berjarak sekitar 50 meter dari depan. "Benar-benar tidak punya hati," ujar Astri sedih. Hap Jamaludin memeluk sang isteri, ia tahu betapa sayangnya Astri kepada anak-anak Nulani, mendengar sang teman pergi menghadap sang maha kuasa dengan kondisi tidak wajar, Astri hampir serangan jantung, dia dilarikan di rumah sakit Tentara Jakarta karena kondisi sang isteri. Setelah kematian Nulani, Astri mengurus semua anak-anak Nulani, termasuk Agil yang sedang dalam masa depresi waktu itu, Gea dan Gilan yang trauma dengan benda-benda tajam ataupun senjata yang lainnya. Setiap melihat pisau, Gea dan Gilan selalu histeris dan berteriak-berteriak takut, Gea bahkan langsung pingsan ketika ia melihat dokter memasukan jarum infus pada lengannya. Sedangkan Gilan menjerit-jerit histeris dengan berbagai benda tajam. Hati Jamaludin seakan di tusuk pisau melihat anak-anak sang adik depresi dan trauma, ia tetap berusaha menyekolahkan Gea dan Gilan meskipun kondisi psikis mereka waktu itu masih trauma hebat. Gilan kritis selama hampir satu tahun, pemuda yang sekarang berusia 21 tahun itu bangun dari masa kritisnya dan menjerit histeris karena mengetahui bahwa kedua orang tuanya telah tiada. Setiap guru yang datang ke rumah sakit harus diperiksa dan dikawal masuk ke ruang Gea dan Gilan, Jamaludin tak mau kecolongan lagi kali ini. "Padahal Gilan selalu bilang sama mama kalau dia itu pengen ikut lomba basket seJakarta waktu itu," ujar Astri. "Hiks...hiks...mau ikut basket bagaimana lagi kalau berdiri saja tidak bisa? Hiks...hiks...," Astri tiba-tiba terisak pilu. Jamaludin mengusap-ngusap punggung sang istri. "Hiks...hiks...mama kalau ke rumah sakit selalu melihat dia menonton orang yang main basket, dia...dia...hiks...hiks...rasa-rasanya mama pengen nangis nyaring waktu lihat ekspresinya...tangannya selalu menyentuh tv besar itu agar bisa menyentuh gambar bola basketnya pa...hiks...hiks," Astri terisak pilu. Jamaludin mengeraskan kuat rahangnya, tatapan mata lelaki 56 tahun itu nyalang. Cika mengepalkan erat tangannya. "Hiks...hiks...mama nggak kuat lihat Gilan kaya gitu, Pa." Astri terisak. "Mama tidak tahu masih baik nasib siapa, nasib Gilan ataukah keponakan mama yang lain, hiks...hiks...Momok...Momok bahkan tak tahu ada dimana, hiks...hiks...hiks! Hiks!" Astri terisak hebat, bahunya bergetar kuat. Cika tak kuat lagi menahan rasa frustasinya. Sendok yang ia pegang itu menjadi bengkok karena luapan emosinya. "Pa, Momok...tolong cari dia...papa ini wakil panglima tentara...papa pasti punya banyak koneksi...hiks...hiks...cari dia pa, cari dia," Astri terisak pilu. ♡♡♡ Slash "Ini!" "Kata bunda, tidak baik kalau kita makan baru ada orang lain yang menatap tanpa kita tawarkan, jadi ini ambil," "Kita makan sama-sama dulu, nanti baru lanjut lagi, nanti Momok lapar, Ran lapar juga kan?" Slash "Ran! Ran! Ayo sini!" "Kenapa berdiri disitu?" "Hiii! Sini dulu!" "Tidak mau," "Yah sudah kalau tidak mau, Momok kasih mang Yono aja ayam kecap--hei!" "Punyaku!" "Ish! Tadi bilang tidak mau!" Brak "Aaa!" pelayan restoran yang memberikan menu ayam kecap itu berjinggat kaget. Busran dan rekan bisnis Randra juga terkaget. Randra melemparkan piring ayam kecap itu hingga pecah berkeping-keping. Pemuda itu menatap dingin ke arah sang pelayan. "Jauhkan segala menu ayam dariku," desis pemuda 25 tahun itu. Pelayan itu ketakutan setengah mati, ia bahkan mengangguk berulang-ulang lalu berlari-lari kecil ke dalam dapur. Lalu Randra melirik ke arah Busran. "Akan aku bilang ke mereka, jika kau datang, segala jenis olahan daging ayam ditiadakan," ujar Busran mengantisipasi emosi sang teman yang sedikit lagi akan meledak. Sedangkan sang rekan bisnis yang berada di sisi kiri Busran mengerutkan keningnya. "Apakah anda alergi dengan ayam?" tanya rekan bisnis itu. Busran melirik ke arah tuan Tan. Entah Busran mau menjawab apa ke arah rekan bisnisnya dan Randra, ia mau mengatakan bahwa Randra tidak alergi dengan ayam juga salah, dan Randra alergi dengan ayam juga salah. Alhasil dia hanya bisa menggaruk-garuk lehernya. "Em...yah begitulah," pada akhirnya Busran yang menjawab pertanyaan itu dengan gumaman tak jelas. Tuan Tan mengerutkan keningnya. "Semua orang pasti punya kesukaan mereka sendiri-sendiri," ujar Busran cepat sebelum tuan Tan mengutarakan pertanyaan yang lainnya, yang ia takutkan sekarang adalah Randra. Pemuda itu kalau sudah mengamuk, mungkin restorannya ini akan hancur sana-sini. Masih teringat di memorinya ketika Randra mengamuk di pemakaman kedua orang tua Moti waktu itu, pinggangnya hampir bengkok karena tendangan dan pukulan Randra berturut-turut. "Oh, yah! Saya tahu itu," ujar tuan Tan dengan senyum sumrigahnya. "Semua orang punya kesukaan mereka masing-masing, putri saya juga begitu, dia tidak menyukai ayam," ujar tuan Tan. Tentu saja Busran tahu siapa putri dari tuan Tan ini, Lexi Tan. Mantan anggota Storm Rider dan sekaligus adik kelasnya di SMA Socien School. "Ah, benar sekali," timpal Busran. Sedangkan Randra hanya diam saja. Pemuda itu tak berniat untuk membuka atau mambalas pembicaraannya dengan tuan Tan. "Tapi ngomong-ngomong anda sangat cocok dengan putri saya, Lexi." Ujar tuan Tan. Busran menelan susah salivanya. "Dia begitu tidak sukanya dengan ayam, dia bilang ayam itu kotor, hahaha!" tuan Tan tertawa. "Anda sangat cocok sekali dengan putriku," Jantung Busran ketar-ketir didalamnya, bahkan mungkin saja akan melompat keluar dari d**a kirinya. "Em...tuan Tan--," ucapan Busran terhenti. "Ngomong-ngomong berbicara tentang putri saya, dia masih lajang," sela tuan Tan. "Sial," batin Busran. "Saya dengar anda belum memiliki pasangan yah? Ah masih lajang juga, hehehe," seakan lelaki paruh baya itu tak menangkap ekspresi dingin dari Randra. "Mungkin anda bisa berkenalan dengan putri saya, ah, saya dengar anda juga alumni dari SMA Socien kan? Putri saya juga dari sana," tuan Tan terus saja mengoceh. "Dia pintar dan cerdas, dan tentu saja cantik orangnya," tuan Tan memuji kelebihan sang putri. Busran ingin menyela, tapi lagi-lagi usahanya itu berakhir sebelum memulai. "Mungkin anda bisa mencoba mengenal satu sama lain di antara kalian, saya dengar juga anda tidak jadi bertunangan dengan putri tuan Balzar--," "Saya sudah punya tunangan," Randra menatap dingin ke arah tuan Tan. "Eh?!" tuan Tan terbingung. "Mampus, kau terlalu banyak bicara pak tua," rutuk Busran dalam hati. "S-sudah punya?" tuan Tan tergagap. "Moti Akila Baqi adalah tunangan sekaligus calon istri saya, dia adalah nyonya Basri berikutnya," Randra berujar datar ke arah tuan Tan. "Hah? T-tapi...dia...dia kan...sudah...sudah tiada--," "Saya rasa sampai disini saja kerja sama kita, hari ini juga asisten saya akan mengembalikan proposal anda, tidak ada lagi kerja sama dihari berikutnya," Sh Tak Tak Tak Setelah pemuda 25 tahun itu mengeluarkan kalimat-kalimat dingin itu, Randra berjalan tanpa kata keluar dari restoran itu. Tuan Tan menjatuhkan rahang bawahnya. "Salah sendiri," batin Busran lesu. ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD