Dua; Kakak Iparnya, Kania

2703 Words
Pernah enggak sih merasa jomblo padahal ada pasangan? Plis, temenin aku sekarang juga. Situasi ‘menyamuk’ macam apa ini? Mas Delta malah berasa lagi pacaran sama Kak Kania padahal status mereka hanya ipar. Sedangkan aku, dilirik saja tidak. Mas Delta langsung duduk di samping Kak Kania walau kakakku itu menyuruhnya duduk bersamaku. Tapi ya namanya suamiku, hanya akan menuruti keinginannya. Siapalah seorang Kashi di mata Delta? Hanya pemeran figuran. Ada untuk menemani fotonya di buku nikah—yang belakang sangat kusesali kehadiran buku itu. Bisa dibakar aja enggak sih? “Dek, lo mau gak baksonya?” Aku melirik ke dua buah bakso yang tersisa di mangkokku. Ya, bukan sisa sih, tadi aku buka ponsel dulu sebab ada notifikasi bunyi. “Mau sih. Kenapa? Lo mau?” “Pengenn, tapi si Dion larang gue makan yang pedes-pedes.” “Ya terus gimana? Mau pesen yang baru?” “Ih, gak mau. Gue ngecesnya liat sambel di mangkok lo.” “Kalo Bang Dion bilang gak boleh, itu artinya emang bumil gak baik makan pedes.” “Tapi gue ‘kan ngidam, Dekk. Ngidamnya orang hamil harus diturutin.” Baru saja aku hendak membalas, mangkok di depanku sudah berpindah saja ke seberang. Sontak aku dan Kak Kania menatap suamiku yang jadi dalang berpindahtangannya dua bakso yang pedas itu. Di depanku berganti jadi bakso bening miliknya sendiri. “Mas, Kakak gak boleh makan pedes.” “Tapi dia mau dan harus dituruti.” Mas Delta balas dengan nada dingin dan tak acuh membuatku bad mood seketika. Mau ketus begitu boleh, tapi aku paling tidak suka jika dia sengaja menunjukkannya di depan orang lain. Akhirnya apa? Mereka akan bertanya ada apa dengan suamiku. Memuakkan. Apalagi ini Kak Kania. Apa yang Mas Delta ingin Kak Kania pikirkan? Bahwa lelaki itu tidak bisa bahagia selain dengan kakakku? “Terserahlah,” ujarku dengan tampang kesel abis dan mendorong mangkok Mas Delta. Emangnya sejak kapan ucapanku penting? Mas Delta hanya memedulikan semua kata yang keluar dari mulut mantannya alias kakakku. Kak Kania tampak bingung dan merasa bersalah di waktu yang sama. “Eh, kok jadi gini sihh? Udah, Dek, gue gak jadi ah. Takut juga kalau si Dion udah bilang gitu.” Mangkok bakso yang jadi sumber masalah ini didorong kembali ke depanku, tapi aku sudah benar-benar tak menginginkannya. Bukan soal baksonya, jika Kak Kania sangat ingin akan aku kasih. Namun, sikap Mas Delta yang membuatku jengkel. Bisa tidak kalau dia tak perlu menunjukkan perasaannya yang masih ada ke Kak Kania? Tidak ada harga dirinya sama sekali. “Makan aja, Kak. Gue gak baperan kok buat marah cuma karena dua tusuk bakso doang,” sindirku pada si Mas, tapi yang disindir kayaknya tidak merasa. Kak Kania masih terlihat bersalah. “Seriusan, gue emang udah gak mau. Lo aja yang makan. Lagian gue bisa makan kapan aja, gak ada pantrangan kayak bumil.” Aku ingin menyadari betapa sinisnya lirikan mataku pada Mas Delta, tapi tampaknya suamiku tidak sadar. Tepatnya, terlalu fokus dengan kakak iparnya. Pakuan matanya hanya tertuju pada pekerjaan dan Kak Kania, tidak pernah sekalipun aku mendapatinya seperti itu padaku. Dan mungkin memang tak akan pernah. Hanya ada dalam mimpi dan harapanku. “Udahlah, masalah baso doang. Kalau lo gak mau, ya udah gak usah dimakan.” Aku mengelap sudut bibir dengan tisu, bukti kalau aku sungguhan tidak mau makan lagi. “Makan.” Mas Delta bertitah datar, tapi tak melirikku sama sekali. “Udah gak nafsu.” “Makan, Kashi.” “Kenapa sih harus maksa? Gak bisa ya minta baik-baik?” Akhirnya, tatapan itu tertuju padaku. Namun, rasanya mau mengubur diri saja saat lagi-lagi tatapan datar yang kudapatkan. Aku tidak melakukan kesalahan, aku juga yang disakiti di sini. Oh, satu-satunya kesalahanku adalah aku Kashi, bukan Kania. Aku hanya istrinya, bukan mantan tunangan atau kakak iparnya. “Saya bilang makan ya makan. Jangan buang-buang makanan begini. Kamu harus nurut karena kamu istri saya.” Aku tak mau melihat bagaimana menyedihkannya tatapan Kak Kania padaku. Aku juga tak mau melihat tatapan orang lain yang iba atau mungkin mencemooh. Hanya pada lelaki itu tatapanku tertuju. Entahlah bagaimana kelihatannya, tetapi aku benci jika ternyata tatapan marahku malah terlihat menyedihkan. Kalau saja aku menelepon Bang Dion, apa suamiku tidak akan seprotektif ini lagi? Maksudku, suami mana yang akan membiarkan mantan pacar istrinya dekat-dekat, ‘kan? Rasanya kekesalanku meroket sampai ubun-ubun. Mana peduli dengan apa kata mereka. Aku berdiri mendadak hingga kursi plastik yang kududuki tadi terdorong ke belakang dan menimbulkan suara. “Kak, gue duluan deh. Ada janji juga, mau nugas bareng sama David.” Bohong, sudah jelas. Nugas bareng? Bahkan kami berada di program studi yang berbeda. Namanya keluar saja dari mulutku karena kalau aku menyebutkan Lana, namanya terdengar seperti perempuan. Apanya yang aneh? Mas Delta tak akan bertanya-tanya jika aku bersama perempuan. Lagian aku yakin dia tak akan ingat Lana itu lelaki walau aku pernah memberitahunya. Aku meraba saku dan merasakan ada uang di dalamnya. Tak melihat berapa itu, aku mengeluarkannya dan menaruh di dekat mangkok yang masih tersisa itu. Bahkan Mas Delta tidak berusaha menahan atau membujukku. Ah, dia pasti gila jika benar-benar melakukannya. “Eh, Ci, kok jadi gini sih? Tunggu aja dulu, Delta yang nganter lo. Gue bisa telepon Dion buat jemput.” “Gak usah. Gue masih punya duit buat bayar ojol.” Sekali lagi aku meliriknya, tak ada ekspresi sama sekali yang memantapkan aku untuk menjadi orang pertama yang menunjukkan punggung. Tak akan kubiarkan lelaki tak berhati itu terus menginjak-injak begini, enak saja. “Gue duluan ya, Kak. Kalau lo mau baso gue, makan aja. Tapi Bang Dion emang suami yang baik sih, ada benernya juga.” Rasakan sindiranku, jika saja dia mau peduli. Bermuka tebal pada Kak Kania, tapi terhati tembok pada istrinya sendiri. Entah dosa macam apa yang kuperbuat di kehidupan sebelumnya hingga mendapatkan ujian seperti ini. “Kashi.” Ya ampun. Mas Delta menahanku? Dia peduli? Dia tidak membiarkan aku pergi sendirian? “Hm?” Jual mahal. Jangan noleh. Jangan senyum. Jangan jadi gampangan, Kashi. “Apa?” “Jangan pulang malem-malem.” Whatt?! Seriously?! Gitu doang?! Kalau tidak ingat ada banyak orang dan dia itu suamiku, kayaknya aku bakal kalap dan melempar semua kursi plastik itu. Semoga saja dia akan sadar kalau dia itu keterlaluan. Kalau Kashi bukan seseorang yang bisa dilupakan haknya sebagai seorang istri. “Hm.” Pada akhirnya, aku menelan kembali semua pikiranku. Seperti yang sudah-sudah. *** “Mohon maaf, rumah gue gak menerima tunawisma. Lo cari tempat lain aja ya, Dek.” “Sialan.” Aku menonjok bahunya, langsung masuk tanpa menunggu izin David. Bisa dibilang pertemanan kami—aku, David, Lana, dan Ingkan—cukup erat walau tidak pernah satu kelas sekalipun. Kami sering main bersama ke rumah masing-masing. Oh, mereka hanya pernah sekali bertemu Mas Delta saat main ke rumah. “Gue tebak, suami lo lagi?” “Jangan banyak bacot deh. Gue lagi mode senggol bacok,” ancamku melempar tas ke sofanya. “Yang lain mana? Belum pada datang?” “Belum. Lagian kirain lo gak bisa ngumpul-ngumpul, jadinya pada bakil. Gak tau aja lo gue udah siap banget buat ngalahin si Alan di GOW.” Aku terkekeh geli. David dengan obsesinya mengalahkan Lana di game God Of War 2 di konsol gimnya itu sudah menjadi rahasia umum bagi kami berempat. Bukan hanya di gim itu sih, Lana menang hampir di semua gim kalau lawannya David. Padanya konsol gimnya punya David yang mana dia bisa main kapan saja untuk mengasah skill. Kalau mereka sudah tenggelam dengan gimnya, aku dan Ingkan biasanya membajak laptop David dan menertawakan koleksi foto jadulnya. Pernah juga David ketahuan masih menyimpan foto sang mantan terindah yang sekarang kuliah di luar negeri. Gokil sih, salah satu kenangan yang bakal kami rindukan kalau lulus nanti. David tak terlihat di dalam dapurnya, lalu berseru, “Lo ambil aja laptop gue di atas!” “Oke.” Di antara kami, Davidlah yang paling ‘berada’. Orang tuanya terlalu memanjakannya dengan uang, bahkan pernah menawari kami berempat liburan ke luar negeri. Semua akan dibayarkan orang tuanya. Wajarlah, David anak tunggal dan kedua orang tuanya sukses. Untuk siapa lagi uang mereka jika bukan untuknya? David saja yang kurang memanfaatkan, dia jauh lebih mampu untuk berkuliah di luar negeri, tapi malah kuliah di sini dengan alasan, “Gue males belajar sama bule.” Saat aku ada di atas mengambil laptop David, samar-samar terdengar deru mobil di bawah sana. Kalau bukan orang tuanya, ya itu Ingkan dan Lana—kalau mereka datang bersama. Kamar David standar kamar lelaki pada umumnya sih. Citrus, khas wanginya David. Berbanding terbalik dengan Mas Delta yang dominan musk atau mirip seperti itu. Di lantai bawah terdengar keributan, bahkan saat aku masih di tangga. Oh, jadi bukan orang tuanya yang datang. “Gue kira lo bakal ikeh-ikeh, Ci. Gak taunya.” Ingkan geleng-geleng dengan senyum menjengkelkan di bibirnya, mengejekku. Sontak aku melemparkan bunga plastik David tepat ke wajahnya. “Sialan! Make up gue ancur dong ah!” “Jangan gangguin singa yang lagi sensi. Rawr!” Lana dan David sudah bergulat virtual di gim konsolnya. Suaranya memekakkan mengingatkanku dengan gim Naruto dulu bersama Kak Kania. Aku selalu memilih Gaara atau Shikamaru karena menurutku mereka yang paling kuat, sementara Kak Kania pasti akan memilih karakter perempuan. Sakura atau Hinata, itu saja. Makanya tak heran kalau aku selalu menang, tapi jelas akan kalah jika melawan David atau Lana. “Tadi gue liat laki lo,” kata Lana, “lagi ngebaso.” “Tadi banget?” “Hem. Mereka cuma berdua, makanya gue gak nyari lo. Tau-tau udah kabur ke sini,” ejeknya. “Nyamuk juga gak betah lama-lama deket sama mereka. Ya kali gue mau buang-buang waktu gitu. Btw, gue bilangnya ke sini mau nugas bareng. Liat apa yang kita lakuin? Gak ada buku sama sekali. Laptop malah dipake nonton.” “Kagak ngapa bohong ke suami kayak gitu. Sikap dia lebih dakjal,” ujar Ingkan berapi-api. Omong-omong, mereka semua tahu keadaan rumah tanggaku. Kami baru menikah selama dua bulan saat aku akhir semester tiga, tapi terasa bertahun-tahun sudah. Beberapa bulan setelah keluargaku tahu Kak Kania hamil anak Bang Dion dan mereka dinikahkan. Tak ada alasan juga kenapa aku harus menyembunyikan pada teman-temanku. Itu belangnya Mas Delta, aku tak peduli sudah menjadi istri yang buruk. Lah, sendirinya jadi suami juga enggak niat. Ya, walau sebagian tetap salahku yang begitu bodoh dan percaya kalau Mas Delta mau menikah karena ada rasa. Bodoh sekali, Kashi! “Lan, kita ada tugas kagak sih?” “Lo tanya ke gue, emangnya gue pernah ngerjain tugas sendiri? Kalau ada paling gue ngejoki ke si mata empat.” “Gimana Indonesia mau maju kalau mahasiswa masa depannya kayak lo? Makin ancur yang ada. Masih untung lo gak dikeluarin.” “Seenggaknya kalau UAS gue tetep pake otak sendiri.” “Hm, abis ngejarah waktu si Tia buat ngajarin lo selama satu semester. Jahat banget lo anak orang digituin.” “Aci diem! Gue gak konsen ya njir!” Aku mendengus. “Gak ada yang ngajak lo ngomong ya, dih. Alesan aja kalau kalah.” “Njir njir njir! Ada film baru di bioskop. Nonton kuy!” celetuk Ingkan. “Kuy. Kapan?” “Ntar malem.” “Lan, lo gak ada kencan buta?” “Yes!” Lana bersorak ria karena dia berhasil mengalahkan David. Lelaki di sampingnya menggerutu tak jelas. “Sebenernya kalau gue mau, mana ada sih cewek yang nolak gue? Yang ada malah gue nolak mereka mulu.” “Gak nyambung ya, njir. Jadi lo bisa kagak?” “Bisa dong! Gue masih jadi milik kalian, guys!” “Nah karena lo menang.” David merangkul bahu Lana. “Lo yang harus traktir.” “Setuju!” Aku dan Ingkan berseru. Siapa sih yang akan menolak gratisan? “Sialan! Kenapa lo jadi bareng-bareng mojokin gue gini?” “Mumpung lo masih jadi milik kita, Lan. Ntar kalau lo punya pacar lagi, boro-boro ada waktu.” Itu memang benar. Jika ada satu dari kami yang punya pacar, pasti dia akan sulit diajak kumpul lagi. Janji inilah, bertemu di sinilah, banyak sekali alasannya. Lana yang paling sering punya pacar, tapi dia juga yang sering putus. Memang sudah dasarnya buaya. Ah, sepertinya itu tidak berlaku padaku. Aku sudah menikah, dan aku tidak berubah sama sekali. Tak ada waktu yang tersita oleh suamiku—bahkan mungkin dia tak suka jika aku bersamanya. Apes sekali. *** “Lo gak bilang filmnya menye-menye gini. Tau gitu gue mending milih film Marvel aja tadi.” David bersungut-sungut ketika menerima tiket. Dari judul saja menunjukkan bagaimana jalan cerita filmnya. “Heh, harusnya gue yang sebel. Udah pake duit gue, eh malah liat film yang beginian.” Lana ikut memprotes. Baru saja aku membuka mulut, Ingkan sudah sewot, “Apa lo mau protes juga?!” “Apaan dih. Gue ngajakin lo pada ke timezone ya njir. Masih lama ini nontonnya.” “Kok main? Makanlah njir. Ini durasinya lama banget, tidur-tidur dah gue.” “Main setengah jam, makan setengah jam. Masih ada sisa waktu.” “Main cuma setengah jam mana puas? Sekali lo main capit boneka habis ya duit lo. Kayak yang kagak pernah ke timezone aja. Waktu itu aja lo kagak mau balik gara-gara main basket.” “Tunggu. Ini serius gak bakal ganti film aja?” “Ganti pake duit lo ya, gila. Enak aja pake duit gue lagi, gak bisa!” “Dek!” Perdebatan kami berhenti karena aku mendengar suara yang terdengar familiar. Kompak menoleh ke kanan di mana ... huh, Kak Kania melambai-lambai dengan es krim di tangannya. Yang menyita perhatianku bukan itu. Di belakangnya, suamiku mengekori ke mana-mana. Menenteng tas belanjaan, pakaian kalau dilihat dari mereknya. Pakaiannya masih yang tadi siang. Apa dia tidak kembali ke kantor dan menemani Kak Kania sampai sekarang? Teman-temanku langsung kicep, saling lirik karena baru pertama kali bertemu kakak dan suamiku sekaligus. Canggung juga sih. Rasanya ingin menghilang saja. Haduh, kenapa harus ketemu, sih? “Eh, Kak? Lagi belanja?” “Ngiter-ngiter aja sih. Kok lo aja di sini? Katanya tadi mau nugas.” “Anu, nugasnya udah selesai, Kak. Kita mau refreshing dulu bentar.” Lana membantu menjawab. Aish, sahabatku! Raut wajah kakakku berubah senang dan bersemangat. “Del, kita nonton juga yuk!” Aku membuang muka saat Kak Kania menggoyang-goyangkan tangan Mas Delta, memohon. Ya ampun, itu suami gue, Kak! Inget kek dia bukan tunangan lo lagi! Ya, aku akan jadi adik terburuk jika keceplosan mengatakan itu. Ekspresi teman-temanku malah membuatku tambah gondok. Mereka yang biasanya jahil malah tampak mengasihaniku. “Gak. Sekarang udah malem, Kan.” “Tapi Aci aja boleh nonton.” “Dia gak lagi hamil.” “Tapi gue pengen nonton, Del! Gue pengen nonton sama Aci!” “Kashi, pulang.” “Gak!” Aku menoleh cepat dan menolak. “Aku gak mau pulang, Mas. Mas aja pulang sana sama Kak Kania, aku belum mau pulang.” Enak saja. Hanya karena tak mau Kak Kania keukeuh menonton, dia malah menyuruhku pulang saat aku sudah memegang tiketnya? Bukan soal filmnya, tapi soal kebebasanku dan alasan kenapa dia melarangnya. Disebabkan oleh kakakku hanya membuat aku semakin ingin membangkang. Mas Delta tak berhak mendahulukan Kak Kania dibanding aku, istrinya sendiri. “Pulang, Kashi.” “Aku gak mau, Mas!” Tatapanku setajam mungkin menatapnya, tak peduli kalau mulai memerah atau berair. Kak Kania tersentak, melepaskan tangannya dari Mas Delta dan mengulum bibir. “Kita udah janji gak bakal membatasi kebebasan satu sama lain, terus Mas pikir apa yang sekarang Mas lakuin?” “Jangan membahasnya di depan umum, Kashi. Memalukan.” “Oh, jadi Mas malu kalau orang-orang tahu aku istri Mas?” Aku beralih ke Kak Kania. “Kak, lo denger ‘kan apa yang dia bilang?” “Delta gak bermaksud bilang gitu, Ci. Lo yang nyimpulin kayak gitu.” “Oke. Gue yang salah.” Air mataku tumpah sampai ke pipi sehingga aku mengusapnya dengan cepat. Tanganku meremas tiket yang sudah kupegang, lalu melemparkannya ke sembarang arah. “Gue udah gak mau nonton lagi.” “Ci! Kashi!” Aku benci setiap kali Kak Kania selalu lebih unggul. Aku benci setiap kali ada yang menyanjungnya lebih daripada aku. Aku benci dia karena dia kakakku, tapi karena itu juga aku tak bisa membencinya. Aku hanya bisa membenci suamiku dan diriku sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD