Ratu.
Suasana Senin pagi tanpa warna merah di kalender, sama aja persiapan mental lahir batin. Ajegila ... dari Danau Agung sampai Mangga Dua butuh waktu dua jam lebih. Berangkat kenyang, tiba di destinasi udah nyaris pingsan nih.
Nggak lebih baik lagi setelah turun mobil, sundel bolong siap ngamuk nongkrong persis depan pintu masuk Mangga Dua Square. Mana sekuriti? Bisanya setan dibiarin gentayangan pagi gini. Matahari masih di atas kepala, makhluk astral keluar kandang kecepatan.
"Lo ke mana aja sih? Tinggal dekat sini kayak tinggal di Bogor. Yakin lo, nggak kesasar apa diculik g***o di tengah jalan? Kali aja bini borokan kayak lo masih bisa dijual buat langganan aki-aki siap nyemplung kubur." Keluar sudah omongan keji dari si sundel.
"Mana congor lo? Digadai apa disedekahin buat rujak cingur? Gue ngomong nggak ditanggaepin. Bibo, jawab gue." Satu saran melawan sundel bolong bernama Esmita Wahyuni, yaitu diam. Orang emosi syusyaaahh terima alasan. Bagi mereka semua, nggak make sense. Yang fakta cuma satu, mereka terzalimi. Dan aku, yang datang telat ini bakal terima azab Tuhan sudah menzalimi dia. Luar binasa zekalee!
Sreeettt!
"ADOOOHH!!"
Sundel gila asal narik kuncir kudaku. Kulit kepalaku rasa-rasanya ikut tertarik. Emang kelewatan setan satu ini, nggak terima aku jambak balik poni tululnya. Bikin dia jerit-jerit kayak selingkuhan dilabrak istri pertama. Berikutnya kita disamperin sekuriti, diamankan. Begini nih kalo hangout sama cewek sekaligus setan. Malu-maluin. Sayangnya, cuma dia teman plus sahabat, plus sodara, plus soulmate yang bertahan sejak SMA. Yang lain tobat dekat sama aku.
"Udah jauh-jauh ke Jakut, gue cuma mentok dideketin sekuriti. Bukannya cowok Chinese ngegemesin gitu," dumel Mita. Aku berdehem saja. Asli ya, Sist. Malas banget menimpali comelan Mita karena ujungnya jelas banget, kita bakal ribut. Pantang ngalah emang si sundel.
Saking malunya diamankan sekuriti, aku tarik sundel satu ini naik mobilku. Untung aku minta Kang Didi nunggu di parkiran mall. Apa kabar kalau kami keluar tanpa kendaraan? Bisa ngenes bayar ongkos taksi atau syok lihat kepadatan busway.
"Kita mau ke mana, Tu?"
Kamu-kamu kalau dengar nama Ratu, wajarnya motong nama itu di 'Ra' kan? Bukan 'Tu' kan? Kedengeran kayak cast di Upin & Ipin kalo begini, Tuk Atuk.
"Makan bakmi nyok! Langganan biasa. Gue nggak bisa pergi jauh. Fatih lagi di baby gym. Dua jam lagi kelar. Kang Didi mesti jemput Fatih." Aku melirik jam di ponsel. Memastikan ulang, memang kami masih punya waktu dua jam buat hangout.
"Makan di rumah lo aja. Kang Didi pasti lebih nyantai nungguin kita."
"Mau makan bakmi di rumah gue?"
"Iya. Udah cepet. Kasihan Kang Didi. Bener nggak, Kang? Fatih juga kasihan nunggu kalau Akang kejebak macet." Kang Didi, sopir yang dipekerjakan mertua sejak aku menikah mengangguk.
"Iya, sih. Ya udah, Kang, kita nggak makan di sana. Abis beli tolong antar kita balik rumah. Terus Akang jemput Fatih."
"Siap, Bu!" Kang Didi nyengir lebar melalui spion tengah yang aku balas nyengir juga. Nyengir ditambah nyengir sama dengan hepi, nasihat Mita si tukang nyengir.
♣♣♣
Mendadak jadi nyonya kaya raya itu berkah. Yakin?
Aku salah satu contoh hidup nyata, bukan hasil peranakan makhluk astral, yang sejak menikah jadi istri dari pria kaya. Anak keluarga kaya maksudnya. Orangtuanya kasih hadiah pernikahan berupa rumah mewah di Danau Agung plus Alphard kece buat eike kelayapan.
Sebagai gadis muda yang dibesarkan ala kadarnya oleh orangtua yang penghasilannya empat jetong per bulan, JELAS menikahi si anak orkay adalah durian runtuh. Awalnya, Sist, durian runtuh. Sekarang aku belajar uang dibutuhkan tiap orang tapi, bukan standar kebahagiaan setiap orang. Percaya deh, makan nasi sama ikan asin bulu ayam ditambah sambal terasi ulek doang bareng seluruh anggota keluarga ... bakal ngalahin candle light dinner di Paris. Kaya tapi kesepian itu nggak gampang. Orang kalau denger curhatanku pasti mikir aku nggak bersyukur.
Padahal mereka nggak tahu aja gimana bebannya nikah, tapi masih bobok sendirian. Aku emang bobok sama anakku. Tapi suamiku, tahu dia bobok sama siapa. Bukan berarti aku kuat. Enaknya dibilang, terbiasa. Terbiasa dicuekin, terbiasa nggak dianggap, terbiasa menjadi orang asing, dan–mungkin–kami terbiasa buat perpisahan satu saat nanti.
"Tu, lo nggak bosen tinggal di sini?" Mita kalau kelar makan, mulutnya pasti nyerocos lagi. Dia diam saat makan dan doa minta jodoh. Pas bobok mah, berisik ngorok. Saranku, coret duluan nama Esmita Wahyuni dari daftar istri idaman dan menantu dambaan. Bawelnya bisa berpotensi genggeus dalam stabilitas rumah tangga.
"Bosen, Mit. Makanya gue ajak lo ketemuan," timpalku.
"Loh? Bukannya mau ajak gue hangout? Najise, gue dikibuli. Lo mau curhat minim manfaat ya." Tampang Mita sudah curiga. Ya amplop, berapa lama sih kita temenan sampe syusyah banget jadi pendengar yang berkualitas.
"Bantu kuping doang," tawarku sembari senyum lebar selebar-lebarnya. Biar dia luluh. Dia masih memicingkan mata ke arahku. Repot emang punya sohib kurang lega hati nuraninya. Malas banget menengar keluh kesah Rapunzel chantique.
"Yodeh, buruan cerita. Kalo nggak penting banget, tas biru dongker lo buat gue ya?" Matanya sudah melirik nakal tas yang tadi aku pakai menemuinya di Mangga Dua.
"Aduh, itu Longchamp asli. Gue bagi tas KW super gue aja ya." Butuh sih butuh, cuma nggak morotin gila-gilaan juga keleus. Mita emang pintar cari keuntungan. Niat angkut barang-barang branded-ku ke rumahnya. Siaul.
"Kan masih belom gue ambil itu tas. Lo cerita dulu biar gue nilai curhatan lo penting apa kagak." Dia ngomong begitu tapi sudah comot tasku dan mengecek modelnya, gimana nggak bikin pening kepala
"Lo nggak mau banget ya, denger cerita gue?"
"Paling juga soal Paman, Tante, Bibi, apa sepupu Gemmy yang nyinyirin lo. Atau lakik lo yang nggak pulang wiken ini tapi nongol di rumah abang ipar lo. Apal gue, Sist," Mita berkata sambil duduk di atas sofa bermotif bunga kecil-kecil warna fuscia, yang baru dikirim ibu mertuaku tiga minggu lalu. Kakinya songong menjulur di atas sofa. Bikin aku berdecak kesal tapi nggak bisa usik tingkahnya. Secara ya, Sist, eike butuh kuping yang narimo cuap-cuap Sleeping Beauty.
"Beda." Aku geleng-geleng biar mantap pembukaan cuap-cuap Princess Danau Agung. Ohoy! "Gue mau gugat cerai lakik gue."
"Oh." Mita angguk-angguk sesaat lalu lompat dari duduknya, menatapku horor. "Lo becanda kan?"
"Nggak."
"Ini pernikahan, Sist."
"Yaelah, Sist, gue udah tahu ini pernikahan. Siapa bilang acara masak Master Chef?"
"Jangan ngelawak. Lo janji atas nama Tuhan lo, malaikat jadi saksinya, dan mahar lo seperangkat salat ditambah kitab suci." Esmita yang nongol ke masjid tiap Hari Raya doang kini, mengeluarkan kalimat religius menggetarkan bulu kudukku. Pikiran pertama yang muncul di kepalaku adalah Mita kesurupan. Semoga makhluk astral yang hinggap di badannya, kuat menuntun perempuan satu ini ingat Tuhan dan ikhlas mengenakan mukena lima kali sehari.
"Lo cuma perlu kuping buat denger. Bukan kasih keputusan gue lanjut atau batal soal rencana gue ini."
"Tu, jangan. Demi Fatih, mending lo berjuang sedikit lagi. Deketin lakik lo. Kali masih ada celah lo masuk ke hatinya."
"Sejak awal dia nutup dirinya dari gue. Fatih lahir aja dia nggak dampingi gue. Cukup menjelaskan bukan gue yang dia harapkan jadi istri. Dan gue masih pantas bahagia, Mit." Hanya Mita yang tahu bagaimana kehidupan rumah tanggaku dan Gemmy. Orangtuaku dan orangtua Gemmy percaya kami berdua baik-baik saja.
Yang mananya yang baik?
Aku bahkan lebih buruk nasibnya dibanding Erina, teman masa SMA yang jadi istri siri seorang pejabat daerah. Dia masih sering liburan bersama suami dan dua anak mereka. Ikatan mereka memang tidak kuat secara hukum tapi, Erina dan suaminya bisa menjalani pernikahan senormal pernikahan lain. Ya ... walau Erina mesti tebal kuping, hati beton, dan mental Mak Lampir menghadapi keluarga istri pertama.
Aku mah istri Bang Toyib, Sist. Lebaran cuma bisa cium punggung tangan suami. Sleeping Beauty kan iri pengen cipokan bibir. Gimana bisa bangun bobok kutukan chantique, kalo bibir belum jeber kena kenyot lelaki, berasa masih gadis perawan, Sist