Pria satu itu paling melempem jika berhadapan anaknya. Rengek dikit, sudah panik. Mata berembun dikit, sudah kelabakan. Teriak dikit, langsung disahut. Nggak baik loh, menyanggupi semua keinginan anak. Aku ini penonton setia Nanny 911, banyak kasus anak-anak yang sukar diurus macam Fatih. Hobi teriak sampai kuping pengeng, nggak bisa diatur, keras kepala, dan aktifnya ngalahin pasien rukiah yang ada di TV tiap sabtu pagi.
Tapi, satu poin yang aku pelajari dari acara Amerika itu adalah … eng ing eng, catat yawh! Orangtua mesti satu suara. Contohnya, si papa udah bilang 'A', wes si mama mesti ikut 'A'. Biar anak nggak bingung. Kok Mama dan Papa lain keputusan. Selain itu, ada rahasia kecil, anak-anak itu cerdas di balik kepolosan mereka. Diam-diam mereka olah data tentang sikap kedua orangtuanya. Siapa yang dominan bakal dituruti. Yang pasif dan mudah menyerah bakal mereka kerjai. Singkat kata, mereka manipulatif. Beuh! Sadis ya, membayangkan anak-anak lucu otaknya udah genjot habis-habisan cari cara mengerjai kita-kita yang usia tua.
Aku kepikiran, apa Fatih speech delay karena kondisi rumah tanggaku? Secara ya, Sist. Rapunzel belum turun menara nih. Rambut kurang panjang buat dipanjat. Geuh, bisa rontok rambut dipake buat panjat dinding. Karena papanya Fatih sudah menurunkan mandat, Fatih nunggu di dalam kamar. Aku ikutan Fatih nunggu di sini. Nggak mungkin aku biarin baby-ku sendirian nunggu papanya mandi. Bisa-bisa dia jatuh apa kebentur sesuatu, nggak ada yang lihat. Jiwa super mommy emang syusyah dihentikan.
Aw aw aw! Aku baru ingat. Tadi papanya Fatih masuk kamar pas aku masih pakai celdam en beha. Uwalah uh! Dia lihat perut bergelambirku. Malu! Harusnya aku nurut omongan si sundel buat aktif fitnes, biar body eike balik singset. Tapi jujur loh, punya anak seaktif Fatih, aku butuh lemak-lemak ini biar badanku selalu bertenaga. Kalo lapar tinggal goyang perut, lemak kenang-kenangan sehabis melahirkan bisa diubah jadi bahan bakar peyut. Hahaha, yang percaya silakan, nggak percaya silakan.
Fatih sudah berpakaian lengkap. Pakaian biasa. Kaus dan celana tujuh per delapan. Dia rewel celananya ngatung gitu. Nak, ini fashion. Belinya mahal di MKG. Bosan memaksa Fatih duduk anteng, aku memasang youtube. Menyetel musik kesukaannya. Lagu apa tebak?
Bukan Baby Shark. Bukan Little Indians. Bukan soundtrack Doraemon. Lagu kesukaannya Skidamarink. Nggak gitu populer. Siapa juga yang butuh lagu populer. Sejak awal anakku ini anti mainstream. Di saat anak seusianya sudah casciscus English-Mandarin-Bahasa, dia memilih bawel dengan bahasanya sendiri. Di saat anak lain suka makan macaroon, Fatih sukanya makan kue telur gabus. Di saat anak lain main gadget, baby-ku main genangan air di halaman belakang.
"Sisaming ding ding." Fatih mengikuti lirik lagu video. Tangannya mengikuti gerakan Pink Fox dan temannya. Anakku pincharr, Mama bangga. Hiks! Tiba-tiba Fatih turun dari kasur. Aku yang nggak paham, diam saja memperhatikan. Menunggunya ingin berulah apa.
Aku golongan Mama galak. Bukan berarti semua tindakan anakku kena omel. Aku sadar usia Fatih gini masih aktif eksplorasi. Kalau aku parno, terus larang ini-itu malah bikin baby-ku enggan mengembangkan kemampuan akal dan motoriknya. Fatih harus tumbuh jadi anak pintar. Usahaku bukan cuma kasih s**u juara. Aku perlu memberinya ruang gerak cukup mengolah dunia. Bahasa eike berbobot ya, Sist.
Pintu kamar mandi terbuka. Uwalah uh! Papanya Fatih keluar berbalut handuk di pinggang. Otot perutnya, otot lengannya, d**a bidangnya, leher kokohnya, ambyarr kewarasanku. Kami bersitatap sebentar. Tampangnya kaget ganteng gitu, melihat aku. Tampangku? Wassalam. Lihat body kotak-kotak, mana ingat jaim. Iler saja nggak jelas menetes rintik-rintik apa banjir bandang. Cewek lama nggak kena sentuh lelaki kayak aku, emang lemah diri lihat yang potongan papanya Fatih. Bawaannya mau ... ahhh, nggak usah lanjut. Sleeping Beauty malu!
Detik berikutnya, Fatih menerjang paha belakang papanya. Lalu....
Rejeki ibu salihah! Handuk yang melilit di pinggang papanya Fatih jatuh ke lantai. Mata jablayku melanglang ke area aw aw aw, nggak usah sebut. Pokoknya yang satu itu alat pembuatan baby gantengku. Papanya Fatih berdecak kesal sembari membungkus kembali tubuh bagian bawahnya. Yah, penonton kuchiwa, Kakak! Jangan ditutup dong.
Dia membuka lemari, mengambil pakaian lalu balik masuk kamar mandi dibuntuti Fatih. Baby-ku enak sekali bisa masuk ke dalam. Pasti bisa mengintip papanya pakai baju.
Mau juga! Eh, jangan. Aku mau pisah sama pria dingin itu. Ngapain pikirin badan yang ... ahh, badan papanya Fatih bagus. Sudah. Lama-lama di kamar bisa bikin kepalaku pening. Mending ke ruang makan. Cek makanan sudah siap apa belum.
♣♣♣
Usai acara makan yang didominasi percakapan Papa-Anak nggak jelas, aku menyibukkan diri merapikan kasur Fatih. Malam ini aku bakal tidur di sini. Papa-Anak itu pasti butuh waktu mereka tanpa aku.
Sundel, lihat! Gue ikutin saran lo. Gue kasih waktu Fatih dekat papanya, pikirku. Ya, aku nggak bodoh buat paham maksud si sundel biar aku dan papanya Fatih dekat. Cuma ya, Sist. Penolakan tidak langsung itu sekejam diselingkuhi. Tiap aku berjarak lima puluh senti dengan papanya Fatih, mata papanya Fatih bakal sorot aku tajam. Aku berasa maling yang ketangkap basah. Semiris itu aku kalo dekat dia. Makanya tiap dia datang ke rumah ini, aku ngungsi ke kamar baby-ku. Kalo kami nginap di rumah orangtuanya, dia bakal tidur di sofa. Kalo nginap di rumah orangtuaku, Fatih bakal di tengah sebagai pembatas.
"Bisa bicara sebentar?" Bantal yang sedang aku ganti sarungnya, mental kulempar. Kaget banget papanya Fatih sudah nongol depan pintu kamar. Mau ngapain coba?
"Ya. Silakan aja." Aku memungut bantal itu di lantai. Menghindari matanya dengan pura-pura membenahi bantal. Nggak elit banget. Cewek biasanya sok sibuk ama kutek. Punya anak nggak nyaman pakai begitu. Takut kuteknya gompel, terus kemakan anak. Amit-amit jangan sampe anakku keracunan.
"Kamu ngapain ke tempat Om Setyo?" Dia menutup pintu. Saat itu aku baru sadar Fatih berjalan di belakangnya. Baby gantengku langsung lompat naik ke atas kasur. Mengambil bantal lalu tidur-tiduran. Ini yakin kita mau obrolin soal Om Setyo depan Fatih?
"Itu." Aku melirik Fatih yang menyenandungkan entah lagu apa. Telunjuknya mengacung ke udara, membentuk pola kasat mata. Baby-ku buat mantra ajaib nih.
"Apa?" Papanya Fatih nggak sabaran. Suaranya terjaga, tampangnya itu loh, nggak bisa nipu. Dia udah di level es-mous-si.
"Aku tanya masalah sahabatku,” jawabku cepat. Dalam hati aku berharap, percaya dong.
"Bukannya kamu konsultasi rencana kamu?" Wajah ganteng kalo isinya tudingan bisa mengakibatkan luntur kegantengan. Papanya Fatih ganteng. Pas pose curigaan gini. Fix, dia nggak ganteng lagi.
"Rencana apa?" Pasang aksi polos, masih ada potensi papanya Fatih salah nebak.
"Rencana kamu mau pisah dari saya," lanjutnya mantap.
Cari jalan keluar. "Ah? Masa? Berlebihan banget pikiran kamu. Nggaklah. Yang ada kamu kali, yang mau pisah dari aku." Manchapp, aku tendang balik omongannya. Matanya mengedip beberapa kali, tapi masih setia memandangiku. Aku siap-siap mendengar omelannya. Kami jarang bercakap, sekali ngomong panjang ujungnya ya ... pertengkaran. Percakapan kali ini sudah terendus bakal mengarah ke sana.
"Pisah? Nggak. Aku nggak niat begitu."
"Oh, ya?"
"Papa, Mama ... obu obu," kata Fatih dengan mata tinggal tiga watt. Anakku ngantuk. Aku tidur di sisinya. Bukannya tidur, Fatih malah bangun menarik papanya. Fatih ganteng, jangan ajak Papa kamu tidur bareng kita. Berabe perkara nih!!