3. Run, kita bukan mau itu kan.. itu ... hmm ...

2312 Words
Malam itu Zen tersenyum cerah menatap bayangan dirinya di cermin, "Aku sekarang benar-benar jadi paraNORMAL." Zeno masih merasa jika apa yang dilakukan Runa sebagai paraNORMAL sangatlah keren. Aksi yang dilakukan oleh Runa saat melawan siluman terasa sangat mengagumkan. Sempat terbayangkan oleh Zen, jika yang namanya paranormal itu adalah seperti apa yang ia lakukan selama ini. "Hhhmmm ... kalau itu sih, kayaknya Mbah Dukun deh! Hehehe.." Zen tertawa cekikikan begitu mengingat kesan paranormal yang kini beredar di masyarakat. Malam itu Zeno tidak bisa tidur. Ia terus memandangi telapak tangannya yang terdapat guratan besar, tanda jika ia adalah anggota Aliansi paraNORMAL. Ia benar-benar sudah tidak sabar lagi dengan arahan yang akan diberikan oleh Runa. Keesokan harinya Zen bangun terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Ia terlalu asik memikirkan hal yang seharusnya belum dia pikirkan saat itu. Ia asik dengan khayalan besarnya. Apa lagi mengingat jika paraNORMAL juga mendapatkan gaji besar di setiap kasus yang ditangani. Jantungnya yang sudah berdebar terlebih dahulu sebelum mendengar berapa tepatnya jumlah gaji yang akan ia terima dari misi di Aliansi paraNORMAL. "Aaaaaa ... aku terlambat! Runa pasti marah pada ku." Zen bergegas ke kamar mandi, "Bisa gawat jika dia benar-benar marah." Zeno yang sudah bergegas secepat mungkin ternyata masih juga terlambat. Ia terlalu gugup hingga berulang kali melakukan kesalahan atas segala kecerobohannya. "Apakah ini pertanda buruk atau aku yang terlalu gugup ya?" Zeno menerka-nerka setelah mengalami banyak hal selama ia bersiap untuk pergi menemui Runa. Ia mengacaukan seluruh pagi yang dinantikannya. Mulai dari terlambat bangun karena alarm yang tidak terdengar. Pasta gigi yang terjatuh ketika ia akan menyikat giginya, Sampo yang ternyata habis saat ia sudah membasahi rambutnya juga listrik yang mati saat Zen akan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Segala hal menunjukkan ketidak dukungannya pada Zen. "Aku harap ini bukan pertanda buruk," gumam Zen lagi yang saat itu tengah menunggu angkutan umum yang juga tidak kunjung datang. Sementara Runa dengan sabarnya menunggu Zen sembari menyeruput coklat hangat di Kafe superNATURAL sesuai tempat janjian mereka. "Kamu terus memesan itu ya, Run? Apa tidak bosan?" Citra bertanya pada Runa yang baru saja memesan menu makanan yang sama di setiap ia mengunjungi Kafe superNATURAL tersebut. Runa mengerutkan keningnya. "Bersyukurlah aku membeli sarapan di sini nyaris setiap hari. Sadarlah Cit.." Runa menggerakkan kepalanya mengarahkan ke seluruh ruangan kafe yang terlihat sepi tersebut. Senyum kesal terukir di wajah Citra yang saat itu baru saja mencatat menu pesanan Runa. "Lain kali teriak saja seperti biasa aku bisa rugi menulis bon pesanan untuk mu." "Jika tidak ada bon pesanan, aku makan gratis dong," goda Runa yang sudah melihat Citra semakin Kesal. Citra menggerutu mendengar godaan Runa yang garing. Ia pun beranjak ke dapur untuk membuat pesanan Runa. "Kemana yang lain? Kamu sendiri," Runa bertanya, begitu Citra yang meletakkan makanan pesanan Runa di meja Kafe tersebut. Citra semakin kesal, ia duduk di kursi depan Runa dan tersenyum ketir, "Runa cantik, kamu lupa kafe ini buka jam 09:00 pagi. Ini masih jam 08:00 pagi. Tentu saja aku masih sendiri dan belum banyak pegawai kafe yang datang," kata Citra di mana nada kekesalan terdengar jelas darinya. Runa hanya tersenyum kecil, tanpa menanggapi ocehan Citra yang semakin bertambah banyak. Ia hanya menyantap sarapannya dengan lahap. Citra Viona adalah pemilik dari Kafe superNATURAL dan Runa adalah langganan tetap di sana. Jika ia berada di kota ini Runa pasti akan sarapan di Kafe tersebut. Meski Runa yang dingin dan tidak peka itu datang sesukanya hatinya saja tanpa mengenal kapan jam buka dan tutup dari Kafe superNATURAL tersebut. Sarapan dramatis Runa nyaris usai, jam sudah menunjukkan pukul 08:57 dan Zeno sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Runa mulai resah, bolak-balik menatap jam tangannya. Runa tidak berharap jika Zen datang tepat waktu. Meski sedikit di hatinya berharap jika Zen yang terlihat antusias kemarin bisa lebih giat dan semangat di hari pertamanya menjadi paraNORMAL. "Apa yang ku harapkan dari pria berisik itu?" gerutu Runa yang masih menatap lekat jam tangannya. Citra tersenyum kecil melihat Runa yang sesekali menggerutu dan terus-menerus menatap jam tangannya. "Dia lagi menunggu seseorang?" gumam Citra yang merasa lucu dengan tingkah Runa. Citra pun menyalakan radio untuk menemani keheningan pagi itu. "Biar tidak bosan. Sambil nunggu si doi," ucap Citra dengan senyuman nakal terlihat jelas di wajah cantiknya. "Apa sih.. Kak Citra.." Runa terlihat kesal. "Jangan panggil kakak Run. Nyebelin ah.." Citra sangat tidak suka jika dipanggil kakak oleh siapa saja. Ia tidak suka di anggap sudah tua jika membahas usia. Runa hanya cekikikan tertawa. Begitu ia melihat reaksi kesal Citra. Citra yang kesal akhirnya sibuk memindahkan channel radio. Lagu pun berganti tiap Citra memindahkan channel radio tersebut. Mulai dari lagu yang terpotong setengah hingga suara berisik radio tersebut saat dipindahkan. Hingga Citra yang lelah memindahkan channel tersebut berhenti di sebuah channel dengan lagu yang ceria. Cocok untuk suasana pagi di kafenya. Runa pun memutuskan untuk mengulik handphone miliknya saja, sambil menunggu waktu pertemuannya dengan Zen tiba. Mata Runa terlihat menyipit. Ia serius memandangi handphone miliknya tersebut. Dilihatnya sebuah pesan broadcast di salah satu grup yang diikutinya. Tentang seorang anak yang hilang. "Maraknya anak yang melarikan diri dari rumah sudah membuat resah para orang tua siswa. Pihak guru dan sekolah masing-masing berdalih tidak ada kasus bullying di lingkungan sekolahnya. Sedangkan orang tua juga berdalih jika emosi anak mereka terlihat tidak stabil usai pulang sekolah. Sudah terdapat sembilan kasus anak yang melarikan diri dari rumah dalam bulan ini saja di sekolah yang sama. Pihak orang tua siswa kini mengecam keras pihak sekolah." Terdengar berita pagi dari radio tersebut setelah usai memutar sebuah lagu bernada ceria. "Apa sih? Pagi-pagi beritanya anak kabur dari rumah. Anak jaman sekarang itu emosinya benar-benar deh.. Mereka sudah terlalu berani. Berbeda sekali dengan dulu. Dulu itu anak-anak sekolah pada sopan. Jangankan kabur dari rumah. Mereka di pelototi orangtuanya saja sudah menciut," gerutu Citra yang mendengarkan berita di radio tersebut. "Tuh benar kan. Kelihatan perbedaan zamannya," Runa tertawa geli. Tentu saja Citra semakin kesal dan menggerutu tiada habis. Di sela-sela tawa renyah mereka, tiba-tiba terdengar suara lonceng dari pintu masuk kafe tersebut. Tanda jika ada seorang pelanggan yang masuk ke dalam kafe. "Selamat datang.." sambut pelayan kafe yang juga baru saja membalikkan tanda 'OPEN' di depan pintu kafe tersebut dengan sangat ramah. Namun, apalah yang harus diharap dari Zen. Dia tidak memperdulikan pelayan tersebut dan langsung masuk mencari sosok Runa di dalam kafe. Kini waktu sudah menunjukkan pukul 09:08. Zen sedikit terlambat. Meski hanya beberapa menit. Zen tetaplah terhitung terlambat. Nafas Zen tidak beraturan, akibat ia langsung berlari ke arah kafe begitu turun dari angkutan umum. Nafasnya semakin terengah-engah begitu tiba di hadapan Runa. "M-maaf Runa.. Aku tadi kelamaan nunggu angkutan umumnya. Kamu tidak terlalu lama menunggu kan," ucapnya di tengah-tengah suara nafasnya yang berat. "Maaf ya, Run.." sekali lagi Zen meminta maaf atas keterlambatan dirinya. Meski Runa tak mengatakan apapun dan hanya menatap dirinya dengan tajam. Tapi Zen paham jika ia tidak boleh mengusik dan membuat Runa kesal lagi. Zen pun duduk di depan Runa dengan sangat gugup. Ia berkali-kali mengusap celananya untuk menghilangkan rasa gugupnya. "Kita selesaikan saja dulu registrasi keanggotaan mu di aliansi paraNORMAL. Jika ada yang ingin ditanyakan aku akan jawab semampuku." "Hhmmmm.. tidak deh! Biar aku saja yang akan menjelaskan tentang Aliansi paraNORMAL pelan-pelan," ucap Runa dengan nada suara yang dingin. Ia ingat betapa berisiknya Zen jika ia diberikan kesempatan bicara. Runa tidak mampu membayangkan jika Zen dibiarkan bertanya sesuka hatinya. Ia pasti akan membuat kepala Runa pusing dengan segala ocehannya. "Kamu bawa berkas-berkas yang diperlukan kan?" tanya Runa lagi yang di sambut anggukan kepala dari Zen. Berkas yang diminta Runa pun disodorkan oleh Zen dengan penuh semangat dan tatapannya yang antusias pada Runa. "Kalau seantusias itu harusnya datang tepat waktu dong," gerutu Runa pelan yang sedikit didengar oleh Zen. "Hhmmm.. apa?" Zen yang merasa mendengar sesuatu mendelik ke arah Runa. Tanpa memperdulikan tatapan Zen yang menangkap komentar kecilnya. Runa langsung bangkit dari kursinya dan mengajak Zen untuk mengikutinya "Yuk.." "Kemana?" Zen merasa bingung tersebut kembali ditatap tajam oleh Runa. Tatapan tajam tersebut adalah tatapan yang kesekian kalinya yang ia dapatkan dari Runa pagi itu. Zen pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya, dan hanya mengangguk seraya terus berjalan mengikuti langkah Runa. Ia tahu rambu bahaya yang tengah dihadapinya. "Kita mau kemana Run?" rasa penasaran Zen tak mampu dibendungnya lagi. Rasa penasaran itu muncul, begitu Zen menyadari jika langkah mereka justru mengarah ke bagian dalam Kafe tersebut, bukannya keluar Kafe superNATURAL. Mulanya Zen sempat mengira jika tempat janjian mereka hanya untuk mempermudah akses bertemu tanpa ada maksud lain di restoran tersebut. Tapi, begitu langkah Runa yang mengarah ke dalam kafe dan bukannya keluar kafe membuat Zen semakin penasaran. "Cit, Kami ke atas ya" ucap Runa sambil menunjuk ke atas. "Oh, jadi dia si anak baru yang gosipnya kamu pungut Run?" senyum nakal Citra tersirat jelas dari wajahnya. "Gosip apa lagi sih? Udah lah. Telat nih," Runa akhirnya langsung meninggalkan Citra yang duduk di meja kasir tepat di bawah anak tangga restoran tersebut. Setibanya mereka di lantai dua. Runa langsung mempersilahkan Zen masuk kedalam sebuah ruangan bertuliskan 'Khusus VIP' Zen ragu-ragu untuk mengikuti Runa ke dalam ruangan tersebut. "Cepetan Zen! Telat nih.." Runa tampak semakin kesal. "Run, kita bukan mau itu kan.. itu ... hmm ..." mata Zen mendelik ke atas. Ia ragu-ragu mengucapkan apa yang ada di benaknya. Belum lagi gestur tubuhnya yang melipat kedua tangannya di d**a. Seolah takut jika Runa akan melakukan sesuatu dengan tubuh sucinya tersebut. "Mikir apa sih kamu? Ayo! Setelah ini kita harus kerja. Cepat dong.. kan kita mau registrasi data pendaftaran kamu di Aliansi paraNORMAL, nih." Runa kini meninggikan suaranya. "Eh, jadi.. aku kira tadi ..." senyum lebar menghiasi wajah Zen. "Habisnya, biasanya kan kalau di bawa ke tempat sepi dan remang-remang gini itu sukanya.. gimana.. gitu ..." pernyataan ambigu Zen membuat kekesalan Runa semakin memuncak. Runa yang kesal itu menarik tangan Zen paksa. "Kalau kasusnya begitu harusnya, yang takut itu biasanya dari sisi wanita," ucapnya yang terus menyeret masuk Zen. Ruangan tersebut hanya terdiri dari sebuah lorong yang terdapat beberapa pintu di sisi-sisi lorong tersebut. "Kita masuk kesini," kata Runa lagi yang masih menarik tangan Zen masuk ke sebuah pintu lainnya. Zen yang di tarik itu menutup matanya karena merasa heran dengan ruangan asing tersebut. Setengahnya ia tidak siap untuk menghadapi apa yang ada di balik pintu. "Selamat datang" sambutan yang di dengar Zen terasa tidak asing. Perlahan Zen membuka matanya, seketika apa yang dilihat Zen membuatnya tidak percaya. Ia mengerutkan keningnya. Menatap Runa dan kembali menatap ke sekitar. Lalu ia mengucek kedua matanya. "B-bagaimana bisa kita kembali kesini?" Zen heran sebab yang dilihatnya adalah lantai satu kafe superNATURAL. Interior yang sama, suasana yang sama, orang-orang yang sama, juga pegawai yang sama pula. Belum lagi suasana di luar kafe yang terlihat benar-benar natural dan biasa saja. "Kafe ini juga punya aliansi paraNORMAL loh.." Citra kini mendekati Zen dan membawanya untuk duduk di meja bar kafe tersebut. "Ini namanya Dimensi ganda. Pintu-pintu yang kamu lihat tadi itu terhubung dengan dimensi berbeda dari dunia ini. Tujuannya agar kerahasiaan tetap terjaga. Bisa repot kan jika ada yang melihat kita masuk tapi ternyata di dalam kafe ini terlihat sepi." "Jika pengunjung lain datang mereka hanya akan melihat kita seperti pengunjung biasa. Apa yang kita bicarakan di dimensi ini tidak akan sampai pada dimensi lainnya. Jadi bicara bebas saja. Mereka benar-benar hanya melihat kita duduk manis di salah satu sudut meja di kafe ini. Meski sebenarnya kita sendang berdiri di meja kasir" sambung Runa lagi yang kini ikut duduk di samping Zen. "Wow ... keren sekali.." mata Zen membesar karena kagum. "Jadi mari kita mulai saja!" seru Citra. "Kakak juga anggota aliansi paraNORMAL ya kak?" ucap Zen tanpa pikir panjang begitu melihat Citra yang mengambil tumpukan berkas Zen dari tangan Runa. "Apa tadi? Kakak?" Citra terlihat sangat kesal. "Citra! Namanya Citra dan panggil saja Citra," Runa yang setengah panik akhirnya membuka suara agar Zen tidak semakin membuat Citra kebakaran jenggot. Zen yang menangkap situasi berbahaya itu akhirnya mengikut saja, "C-Citra juga anggota aliansi paraNORMAL ya?" tanya Zen lagi mengulangi pertanyaannya tadi. "Aku penanggung jawab seluruh anggota aliansi paraNORMAL. Citra Viona panggil aku Citra saja," senyum cerah kini menghiasi wajahnya yang mungil. "Dia benci di panggil kakak, jangan sekali-kali panggil dia kakak lagi. Apalagi jika ada pria yang memanggilnya kakak bisa 'Dead' kita," bisik Runa di telinga Zen yang di sambut anggukan keras Zen. "Memang aneh sih, biasanya kita juga langsung memanggil nama. Tapi entah mengapa jika di hadapan Citra sering sekali melontarkan panggilan 'kakak' saat memanggilnya." Sambung Runa. Zen kini paham situasi gawat yang tadi ia rasakan. "Ternyata ada yang lebih menyeramkan dari Runa," gumam Zen dalam hatinya mengingat tatapan tajam dan sikap dingin Runa selama ini. Zen di arahkan untuk memasukan sidik jarinya pada database aliansi. Handphone Zen juga kini di masukkan aplikasi paraNORMAL. Serta mendapatkan sedikit panduan menggunakan aplikasi tersebut. Dibanding itu ada yang lebih membuat Zen tidak bisa memalingkan pandangannya. Sebuah kunci yang di serahkan Citra terlihat seperti kunci mobil. Lagi-lagi tatapan Runa menusuk wajah Zen. Tapi Zen hanya tersenyum lebar bak anak kecil yang baru saja di beri permen. "Ini beneran untukku?" ucap Zen sambil menggenggam erat kunci tersebut. "Iya, dan ini.. kunci kamarmu. Kamu bisa tinggal di asrama kalau mau," satu lagi kunci yang di serahkan oleh Citra menambah senyuman Zen yang merekah. "Gila banget.. ini sih beruntung banget namanya. Ternyata ada hikmahnya juga bisa lihat hantu," ucap Zen riang. Senyuman lebar Zen menular pada Citra dan Runa. Mereka tanpa sadar juga ikut tersenyum lebar. "Sudah kan.. kalau gitu, yuk.." lagi-lagi Runa mengajak Zen pergi. Tapi, kali ini. Zen tidak banyak bertanya-tanya lagi. Ia langsung bangkit dari kursinya dan menatap aplikasi yang baru saja terinstal di handphonenya. "Kasus anak hilang. Pernyataan orang tua anak tersebut melarikan diri dari rumah usai bertengkar dengan adiknya. Terdapat sembilan kasus yang sama. Dugaan sementara terdapat campur tangan makhluk gaib terkait hilangnya para remaja tersebut." Begitulah sekiranya yang tertera dalam aplikasi tersebut. Misi pertama Zen sebagai seorang paraNORMAL pun di mulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD