Diinterogasi

2007 Words
Lea, Yessy, juga Sella meninggalkan arena balapan sepuluh menit lagi sebelum datang waktu Magrib. Lea tidak langsung mengajak mereka pulang, melainkan kembali ke masjid besar tadi untuk melaksanakan shalat Magrib. “Pala lo waktu Ashar masih panjang. Kalau saja gw nurut sama ucapan lo, otomatis shalat Ashar gw harus disate.” *maksudnya disatukan dengan shalat Magrib “Hehehe, iya—iya, Sepuuh. Ampun, Puh, Sepuuuh,” ucap Sella cengengesan. “Tsk, untung gw sayang.” “Makanya jadi pacar gw aja.” “Istighfar, heh!” Lea mendorong kepala Sella yang terus memajukan wajahnya dengan jari telunjuk. “Gw bawa ruqyah sama Ustadz Anwar lo, mau?” “Ah, elah. Dasar manusia lempeng lo, Ea. Gw becanda doang.” “Heh, ucapan adalah do’a. Amit-amit! Lo mau—” “Gak mau. Ayo ah masuk! Gw mau buru-buru ke warteg. Lapar.” Lea menganga, andai saja suara azan tidak didengarnya, mungkin kali ini Sella tidak akan bisa lolos begitu saja. Mengembuskan napas pasrah, Lea menyusul sang sahabat ke dalam masjid. “Lo mau pulang sekarang?” tanya Yessy saat mereka akan ke warung seberang setelah shalat Magrib. Lea mengangguk. “Gw takut bunda semakin marah jika gw pulang lebih terlambat lagi.” “Yaaah, padahal gw mau traktir lo, Ea.” “Simpan buat besok saja.” Lea melihat jam tangannya sedikit gusar. Saat ini dia sedang menunggu taksi online yang sudah dipesannya. Sebenarnya, Yessy menawarkannya tumpangan, secara dia ke sini memakai mobil. Tapi Lea tolak karena tahu jika rumahnya tidak searah serta agak jauh jika harus mengantarnya pulang. “Ah, taksi gw udah ada. Guys, gw duluan, ya. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam. Jika sudah tiba di rumah, kabari kami, ya.” “Insyaallah.” Lea kembali memeluk kedua sahabatnya sebelum akhirnya masuk ke mobil. “Daaah.” “Selamat sampai rumah, Ea,” ucap Yessy dan Sella hampir serempak seraya melambaikan tangan mereka. “Aamiiin.” *** “Assalaamu’alaikum, Pak Amir.” “Wa’alaikum salam. Non Lea?” Pak Amir—satpam rumahnya langsung membukakan gerbang yang menjulang tinggi itu. “Kenapa Non baru pulang?” Lea meringis dan hanya mampu menampilkan wajah cengengesan. “Apa Ayah sama Bunda sudah pulang, Pak?” Pak Amir mengangguk, lalu kembali menatap nona kecilnya ragu-ragu. “Nyonya juga dari tadi menanyakan Non terus.” Lea menepuk keningnya. Ini bahaya! “Ya udah, makasih ya, Pak. Mari, Lea pamit dulu. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam.” Lea membuka sepatunya di teras, dengan hati-hati sekali dia membuka pintu utama agar tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Terus berjinjit dengan langkah sepelan mungkin dengan mata yang terus mengedar ke seluruh ruangan. “Alhamdulillaaah....” Lea dapat bernapas lega saat dirinya mampu berjalan sampai anak anak dengan lolos dan lancar. Itu tandanya jika sang ibu masih di mushola sedang melaksanakan ibadahnya. “Semoga saja shalat witir bunda malam ini sebelas rakaat,” gumam Lea kembali. “Azalea Noer Haneefa!” Deg! “Astaghfirullahal ‘adzim!” Baru juga kakinya menginjak undakan tangga ketiga. Suara menggelegar sang ibu membuat tubuhnya berjengkit kaget. Dengan perlahan dia berbalik dan benar saja, sang ibu yang masih memakai mukenanya sedang menatapnya dengan mata yang hampir keluar semua. Memberikan senyuman terbaik, lalu berkata, “Hehehe, assalamu’alaikum, Bunda.” “Wa’alaikumussalaam. Turun!” Lea menelan ludahnya kasar. Jika melihat wajah sang ibu yang begitu anggun, lembut juga cantik, sangat sayang jika disamakan dengan perempuan-perempuan antagonis di sinetron-sinetron Indonesia itu. Namun, auranya saat sedang marah memang semenakutkan ini. “Duduk!” Lea menurut. Dia duduk dengan tubuh berkerut. “Dari mana saja? Kenapa baru pulang jam segini?” Interogasi dimulai. Dalam hati, Lea berharap jika sang ayah akan segera muncul sebagai kesatria yang melindunginya dari amukan sang ibu yang begitu menggemaskan—versi di mata ayahnya, tentu saja menakutkan di mata Lea. “Habis main sama Yessy dan Sella, Bunda.” “Sampai lewat Magrib? Main apa sampai jam segitu? Emang kalian Kelong Wewe? Masih berkeliaran bahkan setelah senja datang.” Sepertinya sifat mengomel Lea, turun dari ibunya. Lea meringis disamakan dengan wanita abstrak yang suka menculik anak-anak di waktu Magrib itu. Ini sih gara-garanya di arena balapan. Sella yang meminta Tio untuk mengelap sepatu gadis itu dan pemuda itu menolaknya mentah-mentah membuat arena itu terjadi sedikit kericuhan karena hampir saja berkelahi antar kubu. Meski semua bisa dituntaskan tetap saja ternyata memakan waktu yang cukup lama. Dan di sinilah akhirnya dia mendapatkan sangsi dari ibunya. “Ayah, cepatlah datang!” batin Lea. “Kenapa gak jawab?!” “Tadinya, Lea juga mau pulang lebih awal, Bun. Hanya saja tanggung waktu Magrib. Lea shalat dulu, takut kesiangan kalau shalat di rumah.” “Kamu sudah shalat Magrib?” “Ya Allah, Bunda. Putri cantik Bunda ini mana berani meninggalkan shalat fardhu.” “Gak boong ‘kan?” Lea menaikkan dua telunjuknya. “Sueer, awww, Bunda.” “Gak sopan! Terus shalat Isya?” Lea cemberut. “Lea sedang di jalan saat azan Isya.” “Assalamu’alaikum.” Lea seketika berdiri, berbalik dan mengarahkan tubuhnya ke arah pintu utama. Terlihat sang ayah yang kelewat ganteng itu baru saja pulang dari masjid. “Ayah!” Fathan langsung menoleh dan melihat istri juga putrinya yang tengah menatapnya dengan makna berbeda-beda. Dia tersenyum. “Eeeh, kesayangan-kesayangan Ayah, sedang reuni apa ni?” Adeeba—ibu Lea langsung mengambil tangan sang suami dan mengecupnya takzim, diikuti kecupan ringan oleh lelaki itu pada keningnya. “Wa’alaikumussalaam,” jawab Adeeba dengan wajah lembut dan sejuk, tetapi di detik selanjutnya mimiknya seketika berubah serius seakan tengah memperingati sang suami untuk tidak ikut campur antara dirinya dan sang putri. Fathan tentu hafal arti mimik itu, tetapi dia tetap menanggapi dengan tenang dan santai. Dia ikut duduk di samping sang putri. Lea langsung mengambil tangan ayahnya dan mengecupnya takzim—seperti yang dilakukan sang ibu, tadi. “Yah, tolongin Lea, dong,” bisiknya. “Kembali duduk yang benar, Azalea Noer Haneefa!” Lea memelas pada ayahnya sebelum kembali duduk dengan tegap menghadap sang ibu. “Jujur sama Bunda, tadi kamu habis apa saja?” “Lea ngampus sampai sore, lalu bermain sama kedua sahabat Lea, Bun.” “Main apa, maksud Bunda.” Lea menelan ludahnya susah. “Y—Ya, main ..., main gitu aja.” “Mau belajar bohong sama Bunda?!” “Hehehe, Lea cuma tumpak motor aja, Bun.” “Tumpak apa balapan?!” Lea semakin meringis, tak berani menjawab lagi, akhirnya dia memilih untuk menunduk. Adeeba terus beristigfar sambil memijat pelipisnya. Putrinya ini, sudah ribuan kali dia melarang, tetap saja ngeyel. “Astaghfirullah, Azalea. Kamu itu perempuan! Kenapa jalingkak sekali sih?” “Sayang ....” “Mau Mas belain?” potong Adeeba pada sang suami. Fathan mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. “Azalea, sudah berapa kali Bunda bilang, kamu gak boleh pakai celana lagi.” “Laah, masa Lea gak pakai celana. Aurat dong, Bun.” Adeeba menggeram kesal. “Bukan itu maksud Bunda. Kamu jangan pura-pura gak ngerti, ya. Bagaimana kalau kakek tahu kamu masih ugal-ugalan kayak gini?” Lea cemberut. “Tapi kan, Bunda, celana Lea gak ketat. Ini malah kelewat gombrang.” “Tetap saja. Itu kayak laki-laki! Bunda gak suka kamu pakai pakaian begitu.” “Bunda gak tahu tren.” “Trun-tran-tren-tren. Pokoknya Bunda gak izinin kamu pakai itu lagi.” “Kalau Lea pakai rok, gimana Lea mau bawa motor?” “Justru itu. Agar kamu gak jalingkak lagi.” “Bunda gak asik.” “Apa yang kamu katakan barusan?” “Sayang..., sudah. Biar Mas yang bicara sama Lea, ya?” bujuk Fathan lembut. Adeeba langsung melipat kedua tangannya di d**a. “Mas sama saja.” “Enggak begitu, Yang. Bagaimana pun Mas adalah mantan pembalap juga, jadi tahu dan kita bisa berbicara dari hati ke hati.” Adeeba memijat pelipisnya yang berdenyut. Kenapa bakat pembalapnya sih yang harus diturunkan? Bukankah masih banyak kelebihan suaminya yang lebih bagus? Mengembuskan napasnya pasrah. “Terserah Mas saja. Pokoknya aku gak mau dia ikut balapan lagi, titik.” Lalu beralih menatap putrinya. “Ini adalah peringatan terakhir Bunda sama kamu, jika sekali lagi kamu melanggar, Bunda akan kirim kamu ke rumah kakek dan menetap di sana.” Adeeba melenggang pergi meninggalkan suami dan putrinya. “Ayaaah, Lea gak mau tinggal di rumah kakek.” Maksud kakek di sini adalah dari pihak ibu yang memang seorang kyai pemilik pesantren yang cukup terkenal. Memiliki ratusan santri putra dan putri. Ya, ibu Lea adalah seorang putri bungsu dari kyai terkemuka, sementara sang ayah adalah seorang mantan pembalap dari keluarga pebisnis kaya-raya dengan kehidupan serba bebas ala zaman now. Anak kyai kok nikah sama mantan pembalap? Ok, kapan-kapan kita ceritakan. Yaa, pokoknya cerita orang tua Lea ini hampir mendekati kisah Pesantren dan Rock and Roll, gitu. Kembali ke urusan Lea. Lea sebenarnya tidak terlalu tidak kerasan juga di rumah sang kakek, cuma peraturan dalam bersikap serta berpakaian itulah yang menyebabkan dia belum siap tinggal di sana. Jangankan pakai celana joker atau cargo. Celana kulot aja di lingkungan kakeknya tidak boleh. Peraturan di sana, seorang perempuan wajib memakai rok, gamis, atau sarung. Kalau memakai celana itu digunakan hanya untuk tidur juga dijadikan daleman saja. Juga, alasan Lea belum bisa meninggalkan rumah dan kotanya ini, karena dia belum siap berpisah dengan motor gede kesayangannya juga kedua sahabatnya. “Ayaaah, bantuin Lea,” rengeknya. Fathan mengembuskan napasnya. Padahal sang putri sudah menginjak usia 20 dan sudah memiliki KTP, tetapi tetap saja dia seperti anak kecil, di matanya. Kemanjaannya yang selalu membuat dirinya selalu luluh dan tidak bisa menentangnya. “Makanya, mulai saat ini kamu harus ikut maunya Bunda.” Lea cemberut. “Katanya, Ayah tahu perasaan Lea karena memiliki hobi yang sama. Bohong!” Fathan menghela napas berat. “Ayah tidak bohong, Ea. Tapi, apa yang dikatakan Bunda, coba kamu juga renungkan pelan-pelan. Bunda khawatir karena kamu perempuan. Bunda khawatir karena kamu putri kami satu-satunya. Kamu mengerti perasaan kami, bukan?” Lea menunduk merasa bersalah. “Setidaknya, untuk saat dekat ini, kamu jangan dulu balapan. Sembari merenungi keinginan Bunda, kamu coba tunggu sampai hati Bunda gak khawatir lagi. Kamu mengerti sampai sini, Nak?” Lea mengangguk lemah. “Iya, Ayah. Maafin Lea juga karena sudah membuat kalian khawatir. Bunda pasti sedih.” Fathan mengelus kepala sang putri yang tertutupi kerudung. “Nanti kamu bilang maaf sama Bunda. Tapi selama kamu bermain di luar, putri Ayah selalu menunaikan kewajibannya tepat waktu, bukan?” Lea mengangguk pasti. “Tentu saja. Itu urutan ke satu.” “Bagus.” “Kalau begitu, Lea izin ke kamar ya, Yah. Belum shalat Isya, hehehe.” Fathan berdecak, tetapi akhirnya terkekeh. Bagaimana pun, Lea adalah perpaduan antara dirinya dan Adeeba. Tentu, sifat Lea yang bandel ini adalah copy paste dirinya saat belum mengenal sang istri. “Untung shalat Isya waktunya panjang. Lain kali jangan sampai terlambat.” “Iya, Yah. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalaam warahmatullah.” *** Ponpes Nurul Qur’an. Garut. “A Akram.” Akram yang tengah memeriksa hasil ulangan para santri, menoleh. “Iya, Dek?” “Jadi benar jika Teh Nara sengaja gak mau punya anak?” Kening Akram mengernyit. “Kenapa kamu bilang begitu, Dek? Dari mana kamu mendapatkan berita itu?” Marwah—adik Akram menatap sang kakak ragu. “Sudah lumayan tersebar, sih. Dan juga, Teh Nara sepertinya tidak suka dengan wanita hamil deh, A. Mungkin karena itu Teh Nara tidak mau memiliki anak.” “Dari mana kamu tahu jika istri Aa gak suka wanita hamil? Jangan ngaco!” “Soalnya dari tadi Teh Nara sengaja menghindari aku, A. Bahkan terlihat mimik wajahnya saat melihat tubuhku yang besar ini, dia seperti menahan jijik, gitu.” “Mungkin hanya perasaan kamu saja, Dek. Jangan terlalu memikirkan hal-hal berat. Ingat kamu harus menjaga kesehatan mental kamu demi bayi kamu.” Marwah mengangguk. “Iya sih, A. Tapi, biasanya feeling-ku tidak pernah meleset.” “Apa? Kunara melihatmu jijik, Dek?” Sukma—kakak Akram datang dan tiba-tiba menimbrung. Akram hanya bisa mengembuskan napasnya. Dia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi menjaga dan melindungi kedudukan istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD