Sesuai isi pesan yang Sherly sampaikan dan atas permintaan kedua sahabatnya untuk bertemu, kini Sherly tengah berada di salah satu kafe yang ada di ibu kota. Tempat yang biasa Sherly jadikan tempat berkumpul bersama para sahabatnya dari zaman mereka masih menduduki bangku sekolah menengah atas sampai detik ini. Tempat yang tergolong sangat cocok untuk berfoto dan mengerjakan tugas karena tempatnya sepi dan sejuk.
Sherly mendesah pelan sudah 30 menit dia menunggu kedua sahabatnya, tetapi mereka belum juga datang. Mendengus kesal, Sherly akan mengomeli keduanya jika mereka sudah sampai.
Dua orang perempuan berjalan seraya bertukar tawa, mata Sherly memicing. Dia lantas berdecak kesal melihatnya. Dua sahabatnya itu datang dengan santai padahal Sherly nyaris lumutan menunggu mereka di sini. Mendengus kasar, Sherly menarik napas dalam-dalam. Dia memejamkan erat kedua matanya.
"Woi, sini lu berdua ...!" teriak Sherly menggelegar dengan mata melotot.
"Setan! Sherly bikin malu," bisik Adelia yang dibalas decakan kesal oleh Elesya.
Keduanya berjalan menghampiri Sherly seraya misuh-misuh dengan kasar mereka mendudukkan diri di hadapan Sherly, sedangkan Sherly memandang tajam kedua sahabatnya.
"Bagus ya lu berdua! Udah buat gue nunggu lama terus sekarang santai banget lagi. Mau gue geprek lu berdua, ha?!" cerca Sherly dengan ekspresi kesal.
"Lu bisa kalem?" tanya Elesya seraya menaikkan satu alis.
Sherly membuang muka ke samping seraya bersedekap d**a. "Nggak!"
"Lu berdua tega tau nggak ninggalin gue di klub sendirian waktu itu?!" sentak Sherly dengan mata berkaca-kaca.
Adelia dan Elesya mengembuskan napas panjang. Kekesalan Sherly rasanya sudah telat dikeluarkan oleh wanita itu, tetapi sepertinya Sherly sengaja menahan semuanya untuk tak memperkeruh keadaan saat itu.
"Ninggalin gimana maksud lu? Secara lu yang tiba-tiba ilang. Iya, gue tau ini salah gue yang lalai dalam ngawasin lu, tapi sumpah gue nggak berniat bikin lu di situasi ini," jelas Adelia.
"Kalau seandainya gue nggak mabuk pasti nggak gini jadinya." Sherly menutup wajah dengan kedua tangan, bahu wanita itu bergetar hebat membuat Adelia kelabakan.
"Eh, Sher! Lu kenapa?!" tanya Adelia panik.
"Karena lu berdua nggak jagain gue, gue jadi dinikahin sama om-om gila hua ...!" jerit Sherly histeris.
Elesya berdecak, perempuan itu berdiri lantas berkacak pinggang. Dia memandang Sherly dengan tatapan tajam, perempuan itu bahkan tak peduli dengan Adelia yang sudah meringis dan beberapa orang di sekitar mereka yang melihat ke arah mereka.
"Siapa yang banyak tingkah gue tanya?! Lu atau gue sama Adelia?! Iya, Adelia salah, tapi lu jauh lebih salah! Gue udah peringatin lu untuk nggak macem-macem. Apa lu dengerin gue? Enggak! Terus sekarang lu nyalahin gue sama Adelia? Ini murni kesalahan lu, jadi berhenti merasa tersakiti!" cerca Elesya dengan napas memburu, cukup kesal dengan ucapan Sherly.
Kelakuan ketiganya tentu saja membuat banyak mata melirik mereka dengan tak suka, tetapi baik Sherly maupun kedua sahabatnya sama sekali tak peduli. Adelia dan Elesya menatap kesal ke arah Sherly yang tengah menarik ingus. Mereka bergidik merasa jijik dengan kelakuan Sherly itu.
"Malah lu yang ngomel 'kan harusnya gue!" protes Sherly tak terima.
"Emang lu berani omelin Ele?" tanya Adelia dengan senyuman miring yang dibalas cengiran oleh Sherly membuat Elesya mendengus kasar lantas kembali duduk.
"Gimana ceritanya sampe lu bisa enak-enak gitu coba? Cerita yang jelas!" titah Elesya menuntut.
Sherly menarik napas dalam-dalam, wanita itu mulai menceritakan alur demi alur yang terjadi tanpa terlewat sedikit pun. Baik Adelia maupun Elesya sama-sama menyimak cerita Sherly dengan seksama, mereka juga memandang serius Sherly yang bercerita dengan ekspresi berubah-ubah. Tentu saja mendengar penjelasan Sherly membuat keduanya merasa terkejut dan iba, tetapi di satu sisi mereka ingin menertawakan Sherly detik itu juga. Padahal Sherly sudah mendapatkan wejangan sebelum pergi ke pesta, tetapi wanita itu justru tak mendengarkan Elesya.
"Menurut gue ini karma buat lu, sih. Secara Ele udah minta lu nggak mabok, tapi pas di klub lu sama sekali nggak peduliin omongan Ele. Jadi lu kena azab," ucap Adelia menggelengkan kepala, tetapi dia juga cukup merasa bersalah atas apa yang menimpa Sherly.
"Sialan lu!" kesal Sherly.
"Maaf juga karena gue lalai jagain lu saat itu," sesal Adelia yang dibalas gelengan pelan.
"Sekarang lu udah jadi istri, gue harap lu bisa lebih dewasa lagi," celetuk Adelia.
"Emang gue kurang dewasa?!" Sherly menatap kesal kedua sahabatnya.
Adelia dan Elesya kompak mengangguk. "Iya!"
"Gila deh, Sherly! Lu nikah sama konglomerat, weh!" Adelia berseru dengan mata berbinar membuat Sherly mendengus kesal.
Wanita itu memang patut mengakui sebuah keberuntungan menjadi menantu dari keluarga konglomerat yang hartanya tak akan habis itu, tetapi tetap saja dia dibuat frustasi dengan segala aturan dan tata krama yang tak masuk akal hanya karena Sherly belum terbiasa. Meskipun selama ini Sherly tergolong orang yang mampu, dia masih hidup layaknya orang-orang dengan ekonomi menengah ke bawah.
Di saat Sherly dibuat pusing dengan celotehan Adelia, Elesya justru menatap sekitar dengan mata memicing. Perempuan itu memiliki kepekaan yang cukup baik akan sekitar, dia sedari tadi menyadari ada yang mengawasi mereka. Maaf Elesya semakin memicing saat melihat beberapa orang berpakaian serba hitam menyebar di seluruh penjuru pusat pembelanjaan dengan berfokus memandang Sherly. Elesya sempat memandang mereka dengan kebingungan, perempuan itu lantas melirik Sherly yang masih berdebat dengan Adelia.
"Lu dipantau, Sher?" tanya Elesya dengan tenang seraya memandang lekat sang sahabat.
"Ha?!" balas Sherly dengan wajah kebingungan, dia memandang Elesya dengan wajah cengo.
Berdecak pelan, Elesya melirik beberapa orang melalui sudut matanya. Sherly yang paham pun mengikuti lirikan Elesya, wanita itu langsung melongo saat menyadari ada sepuluh orang yang menyebar di seluruh sudut. Sungguh, Sherly baru menyadari ini semua. Seingatnya tadi dia hanya diantar oleh Arthur sekaligus supir pribadinya, tetapi sekarang Sherly justru dikelilingi oleh banyaknya pengawal.
Adelia berdecak kagum. "Gila lu kayak permaisuri, Neng. Gila-gilaan banget keluarga lakik lu. Padahal tanpa pengawal pun orang udah sawan liat lu duluan," celetuk perempuan itu.
"Sialan lu, Jubaedah!" Sherly memukul kepala Adelia dengan paperbag berisi baju yang dia bawa.
"Akh ... sakit, Bego!" ringis Adelia seraya memegangi kepala.
Sherly memutar malas bola mata tak peduli. "Gila amat tu aki-aki, sumpah gue deprosot!" gumam Sherly yang didengar Elesya.
Elesya terkekeh samar mendengar itu. Dia sangat yakin kehidupan sang sahabat akan berubah 180 derajat. Elesya tentu tak asing dengan keluarga Pradipta, keluarga konglomerat yang bahkan menduduki posisi orang paling disegani. Kehebatan mereka dalam dunia bisnis bahkan belum bisa ditandingi oleh siapa pun, julukan singa begitu melekat dalam diri keluarga Pradipta.
"Dosa apa gue nyasar di keluarga kekasairan," desah Sherly dengan bahu melemas.
Adelia terkikik geli, dia merangkul bahu Sherly dengan sedikit paksaan. Perempuan itu memandang Sherly dengan tatapan dan senyuman mengejek, Adelia sangat yakin jika Sherly cukup tertekan mengingat dia bukanlah orang kaku yang taat aturan. Lalu dia harus menikah dengan keluarga yang masih menaati aturan leluhur dengan begitu ketat.
Sherly melirik malas Adelia. "Nggak usah ketawa lu, Setan!" sentak wanita itu dengan hidung kembang kempis.
"Kalem napa, Sher. Sebagai menantu muda Pradipta lu harus stay calm, Babe," goda Adelia seraya menarik turunkan alisnya.
"Udahlah, ayo pulang! Ini udah jam enam sore," sela Elesya seraya menatap jam yang melingkar di tangan kanannya.
***
Saat ini Sherly sudah berada di pekarangan kediaman Pradipta, wanita itu baru saja pulang ke rumah. Tentu saja kepulangan Sherly disambut bisik-bisik oleh beberapa pelayan mengingat seharusnya nona muda maupun nyonya besar sudah harus berada di rumah jam lima sore, tetapi Sherly justru baru pulang pada pukul 18.45 wib. Di saat dirinya dibicarakan Sherly tetapi tak peduli dan melangkahkan kakinya memasuki rumah.
Saat akan menaiki tangga langkah kaki Sherly harus terhenti karena adanya Senia yang berdiri di tengah anak tangga seraya bersedekap d**a. Nyonya besar Pradipta itu memandang Sherly dengan tatapan menilai membuat Sherly mendengus, dia cukup terganggu dengan kelakuan Senia padanya. Sungguh, di mata Sherly wanita itu terlihat sok berkuasa bukan benar-benar berkuasa.
"Bagus ya kamu, baru jadi Nona Muda saja sudah melanggar aturan," ucap Senia dengan sinis.
Sherly mengangkat satu alisnya. "Bagus ya kamu Mak Lampir, udah mau mati aja masih ngurus hidup orang," balas Sherly dengan santai.
"Kamu! Saya ini Nyonya Besar di sini dan kamu berani sama saya?!" hardik Senia tak terima.
Sherly terkekeh mendengar itu, sedangkan beberapa pelayan menatap kagum juga takut perdebatan itu. Menjadi nyonya satu-satunya tentu saja membuat Senia besar kepala dan terkadang berlaku seenaknya. Wanita itu bahkan tidak menghargai orang-orang yang berbeda status dengan dirinya.
Sherly melihat kedua tangan di depan d**a, dia menarik satu sudut bibir ke atas. "Baru Nyonya Besar kok gayamu selangit, ups!"
Senia menatap geram Sherly yang berlagak menutup mulut seolah keceplosan, tangan wanita itu terkepal erat. Napas Senia mulai tak beraturan, dia berjalan mengikis jarak antara dia dan Sherly.
"Akan saya pastikan kamu menyesal menghina saya!"