“Pak tunggu!” teriak seorang gadis sambil berlari mengejar angkutan umum yang akan membawanya ke tampat kerja.
“Sial! Bakal terlambat deh,” gerutu gadis dengan penampilan yang sedikit berantakan, setelah angkutan yang dikejarnya tak mua berhenti. Lebih tepatnya tidak akan berhenti sebelum sampai di halte berikutnya.
“Arrgh …!”
“Heh … gila ya teriak-teriak di pinggir jalan!” bentak seorang pejalan kaki yang terkejut teriakan gadis yang ketinggalan angkutan umum tersebut.
“Eh, ma—af, maaf kalau sudah bikin kaget,” ucap gadis tersebut sambil menangkupkan kedua tangannya di depan d**a sebagai tanda permintaan maaf.
Dengan langkah gontai Nayyara—begitu gadis itu biasa disapa—duduk di bangku halte sambil menunggu angkutan berikutnya. Nayyara Thara Khalisa, gadis yatim piatu yang baru saja menyelesaikan pendidikan di bangku SMA, saat ini bekerja di sebuah restoran Korean food. Semalam sahabatnya curhat sampai larut malam, hingga pagi ini harus kesiangan dan dapat dipastikan hari ini dirinya terlambat. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya bisa yang ditunggu datang, Nayyara bergegas supaya tidak semakin membuatnya terlambat.
“Nay, jam berapa ini? Kenapa baru datang? Buruan siap-siap, pesanan sudah menumpuk, hari ini kamu di depan. Randi nggak masuk, ibunya masuk rumah sakit, kamu yang gantiin dia. Nanti kamu jangan pulang dulu, ada hukuman untuk kamu karena terlambat hari ini. Kami ke ruang penyimpanan, catat stok opname semua bahan baku, jangan pulang sebelum selesai semua," perintah Mbak Enggar--pengawas caffe--pada Nayyara yang baru masuk melalui pintu khusus karyawan.
Nayyara gegas melakuakan apa yang sudah menjadi tugasnya hari ini. Weekend begini pengunjung caffe lumayan membludak, apalagi ada promo you all cant it. Tidak hanya anak muda, rombongan keluarga besar juga banyak yang menafaatkan promo tersebut. Kapan lagi bisa makan menu Korea dengan harga bersahabat, di tempat yang eyecathing dan instagramable. Jelas para gen z nggak mau melewatkan tantunya.
"Nay makan dulu, dari tahu kamu belum istirahat sama sekali lo. Keja jangan diforsir, walau tadi kamu terlambat tidak lantas kamu harus memaksakan diri mengganti jam dengan bekerja terus. Waktu istirahat ya harus istirahat, makan, sholat," tegur pengawas resto sambil menatap Nayyara yang masih sibuk membersihkan meja bekas dipakai pengunjung.
"Iya Bu, setelah ini selesai saya izin istirahat. Tanggung soalnya." Nayyara mengangkat piring dan gelas kotor ke belakang. Menaruhnya di bak cucian lalu permisi ke ruang karyawan untuk beristirahat dan melaksanakan shalat dzuhur.
"Astahqfirullohalzim ... Bapak, jadi harus wudhu lagi,kan," protes Nayyara ketika bahunya tersenggol Shakil Althafaunizam--pemilik Seung cafe--lalu berbalik h untuk mengambil wudhu lagi.
"Kamu aja yang jalan nggak lihat-lihat." Suara Shakil menggema di lorong yang menghubungkan mushola dengan ruang karyawan.
"Udah salah nggak minta maaf, malah ngomel. Untung ganteng, kalau nggak udah aku tabok," gerutu Nayyara sambil memberikan lirikan paling judes pada bosnya itu.
"Hei, saya dengar apa yang kamu ucapkan, Nay," teriak Shakil merasa keki dengan tingkah pegawainya yang satu itu. Nayyara tak menggubris teriakan Shakil, langsung bergegas mengambil air wudhu lagi, takut keburu waktu solatnya habis.
Nayyara sudah berada dalam gudang penyimpanan bahan baku. Barang-barang yang distok memang cukup banyak, tak hanya mencatat apa saja yang habis tapi, juga memeriksa tanggal kadaluwarsa. Memeriksa ada kerusakan pada bahan baku atau tidak, terutama perbumbuan. Karena hampir 90% bumbu didatangkan langsung dari Korea untuk mendapat rasa otentik pada makanan dan minumannya.
"Alhamdulillah akhirnya selesai juga." Nayyara merenggangkan otot di tubuhnya yang terasa kaku. Duduk lama, berjalan pindah tempat lalu duduk lagi, matanya meneliti deretan tanggal kadaluwarsa, cukup melelahkan ternyata.
"Beres semua, tinggal kasih ke Bu Enggar terus pulang deh. Kasur ... tunggu aku datang, aku sudah kangen banget sama kamu," celoteh Nayyara sambil membereskan peralatan tulisnya, lalu keluar dari gudang dan menguncinya kembali.
"Lah kok udah sepi banget, jam berapa sih?" Nayyara melihat ponselnya dan di layar menunjuk angka 22:30.
"Eh busyet, udah larut malam ternyata. Aduh masih ada angkot nggak ya? Kalau naik ojol lumayan juga sih ongkosnya tapi, nggak pa-pa lah sesekali berbagi rezeki dengan sesama penjuang rupiah. Semangat Nay ...." Belum Nayyara selesai berkata-kata, tetiba ada tangan memeluknya dari belakang.
"Lepas!" Nayyara berusaha memberontak dan sekuat tenaga melepaskan dua lengan kekar yang melingkari tubuhnya.
"Ssst ... jangan berisik, ikut aku sekarang." Suara yang sangat tidak asing di telinga Nayyara.
"P-Pak Shakil?" Nayyara berusaha menoleh ke belakang untuk memastikan pendengarannya bahawa orang yang sedang mendekap dan sedikit menyertnya benar pemilik Seung caffe.
Shakil membawa Nayyara ke dalam ruang kerjanya, Nayyara masih bingung dengan sikap bosnya itu. Mau tidak mau gadis berambut sedikit bergelombang itu mengikuti kemauan Shakil. Sampai di ruang kerjanya, Shakil lalu menutup pintu dengan sebelah kakinya dan mengunci.
"Kok di kunci, Pak? Bapak mau apa?" tanya Nayyara sudah mulai ketakutan. Karena perlakuan Shakil kali ini sungguh berbeda.
"Diamlah gadis nakal. Kamu kemarin sudah berani menciumku, maka kali ini kamu harus memberikan lebih dari sekadar ciuman," bisik Shakil tepat di telinga Nayyara yang langsung membuat bulu kuduk gadis berhidung mancung itu meremang. Sudah jelas kalau bosnya akan melakukan tindakan yang mungkin membuatnya terluka. Sebisa mungkin Nayyar terus memberontak, berusaha lepas dari dekapan Shakil.
"Pak ... tolong lepaskan saya, jangan apa-apakan saya. Kalau Bapak mau pecat saya, silahkan, saya memang salah sudah lancang mencium Bapak." Isak tangis putusa asa mulai terdengar di ruang kerja Shakil.
"Sst ... diam dan jangan berisik." Shakil mulai melancarkan aksinya. Menyentuh tubuh Nayyara dengan sangat bernafsu, tangis Nayyara yang terdengar memilukan tak mengurungkan niat Shakil untuk menggagahi pegawai termudanya.
Pigura di atas meja kerja Shakil terjatuh hingga kacanya pecah berantakan. Bersamaan dengan pecahnya selaput dara Nayyar yang tertembus paksa oleh Shakil. Rasa perih, kecewa, marah, sakit hati menjadi satu dalam tubuh Nayyara. Mata indah yang sudah banjir air mata, awalnya tertutup, kini terbuka lebar. Menatap wajah Shakil dengan penuh amarah, terdengar erangan tertahan dari lelaki yang masih berada di atas tubuh Nayyara, seiring dengan berlombanya benih-benih kehidupan menembus rahim Nayyara.
Entah sudah berapa lama, Nayyara dan Shakil terlelap setelah rudapaksa yang dilakukan pemilik Seung caffe pada pegawainya. Nayyara membuka matanya, merasakan agak sesak napas dan tubuhnya tertindih sesuatu yang berat. Ternyata tubuh kekar Shakil masih berada di atas tubuhnya. Dengan sedikit kasar disingkirkan tubuh tanpa sehelai benang itu, supaya dirinya bisa bergerak.
"Ish, sial ... sakit banget lagi," umpat Nayyara merasakan kesakitan di pangkal pahanya. Ada bercak darah yang sudah mengering di paha dalamnya.
Dengan amarah yang semakin menggunung Nayyara menyingkirkan kaki Shakil yang masih menindih pahanya. Shakil terbangun dengan sangat terkejut, melihat dirinya dalam keadaan tanpa busana, terlebih melihat ada Nayyara yang juga dalam kondisi sama dengan dirinya.
"Ka-mu ... apa yang kamu lakukan di sini? Dan ini apa? Kenapa kita telanjang begini? Kamu berusaha menjebak saya ya?" cecar Shakil pada Nayyara yang sedang memakai kembali pakaiannya.
"Bapak pikir saya serendah itu sampai menyerahkan tubuh saya pada lelaki yang bukan mahram saya? Bapak lupa dengan apa yang telah Bapak lakukan pada saya? Atau tiba-tiba Bapak amnesia?" Nayyara balik menyerang Shakil dengan pertanyaan. Kilat amarah terlihat jelas dari sorot mata Nayyara.
Tertatih langkah Nayyara meninggalkan ruangan yang telah membuatnya kehilangan masa depannya. Shakil masih terdiam, mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi antar dirinya dengan Nayyara. Suara pintu tertutup dengan keras mengembalikan kesadaran Shakil. Bergegas lelaki dengan jambang di wajahnya itu memakai bajunya dan menyusul Nayyara.
"Nay ... tunggu!"
Nayyara menghentikan langkahnya. Pangkal pahanya masih terasa nyeri, hatinya sakit dan entah rasa apalagi yang berkecamuk dalam batinnya begitu melihat wajah Shakil. Wajah yang sebelum kejadian laknat begitu memesona, berwibawa hingga membuat Nayyara mengagumi secara diam tapi, kini semua sirna dari benaknya. Yang ada hanya kebencian, amarah, kecewa, juga rasa sakit tertancap sempurna dalam batinnya.
"Berapa aku harus membayar semua ini?" Satu kesalahan lagi dilakukan Shakil terhadap Nayyara. Bukan jawaban yang diterima mantan TKI itu tapi, justru tamparan yang diterimanya.
"Bapak pikir saya wanita penjaja kenikmatan? Anda salah kalau menilai saya seperti itu. Memang saya akui, kalau saya menyukai Bapak tapi, pikiran saya masih cukup waras untuk memberikan tubuh saya pada lelaki yang bukan suami saya. Atau Bapak perlu saya ingatkan lagi tentang kejadian semalam? Bapak yang memaksa saya! Bapak yang merenggut kehormatan saya!" ucap Nayyara dengan kemarahan yang sudah memuncak, sambil memukuli d**a bidang Shakil. Wajah cantiknya juga sudah banjir air mata. Sungguh menyedihkan keadaan Nayyar saat ini.
"Aku tidak ingat apa-apa. Aku juga tidak tahu apa yang kamu katakan itu benar atau hanya untuk mendapat keuntungan dariku saja." Shakil masih belum bisa menerima apa yang dijelaskan Nayyara yang dirasa memojokkan dirinya, seolah dirinya adalah pelaku kejahatan.
"Apa perlu saya melakukan visum sekarang juga?" Tantang Nayyara dengan sorot mata berkilat dengan kemarahan.