Perjalanannya sungguh lama, beberapa kali aku tertidur. Benar, kupaksa tubuhku yang harusnya istirahat lelah setelah bekerja apalagi tadi siang peresmian jabatanku. Melihat kaca jendela keluar ternyata sudah gelap. Pemandangan tidak lagi terlihat, yang ada hanya langit malam dan bulan yang tampak. Kulihat jam tangan masih pukul tujuh malam. Apakah ini masih lama? gumamku.
Bus berhenti, ternyata sudah sampai. Kuturunkan kaki ku menapak di tanah kelahiran dan kehidupanku dulu. Kuhirup udara yang sudah sedikit tercampur dengan asap dan debu jalanan. Aku mencari taxi karena tempatnya harus masuk ke dalam kampung yang lumayan jauh dari kota.
"Masih sama." Dua kata yang aku ucapkan setelah melihat gerbang didepanku. Aku masuk dan berjalan sambil melihat sekeliling. Ya, masih sama. Danaunya, tamanya, bahkan bangunannya tidak ada yang berubah. Walau ada tambahan arena bermain didekat danau, itu semakin menambah keramaian suasana.
"Maaf, siapa?" Wanita paruh baya bertanya padaku. Aku berbalik dan langsung berhambur ke pelukannya, sudah lama sejak aku meninggalkan panti ini. Aku merasakan kembali kehangatan dalam pelukannya. Wanita paruh baya itu terus memperhatikan wajahku. Dia menatapku dengan penuh pertanyaan. Sepertinya dia lupa, maklum seiring berjalannya usia, sampai ingatannya pun melemah. Aku memperkenalkan diri.
"Bunda," ucapku. Wanita itu kaget, karena hanya Rama kecil lah yang memanggilnya dengan sebutan itu. Dia meminta penjelasan lebih. "Aku Rama, Bunda ingat? aku kangen." Aku memeluknya manja seperti anak kecil. Aku merindukan itu. Bunda seketika menangis, aku mengusap pundaknya pelan.
Pertama kali aku di bawa kesini ketika umurku lima tahun. Dan sejak saat itu aku tinggal disini.
"Benar ini Rama? Rama kecil?" Aku mengangguk. "Kau sudah besar Nak. Bunda juga kangen." Bunda mengajakku duduk di bangku panjang. Menyuruhku untuk menceritakan kehidupanku selepas aku pergi dari Panti. Kami tertawa di sela aku menceritakan kisahku. Aku kenalkan, ini Bunda, selama aku di panti, Bunda lah yang merawat dan mengasuhku. Aku anggap Bunda sebagai Ibu kedua. Aku seperti mendapat perhatian lebih darinya.
"Kamu tampan ya." Aku terkekeh mendengarnya. "Bunda bangga sama kamu, masih muda sudah jadi orang besar. Ingat kerja yang jujur, jangan korupsi." Bunda menasehatiku seperti menasehati anaknya. Aku rindu ucapan-ucapan seperti ini.
"Bunda, masih sama seperti dulu ya." Bunda mengangguk.
"Ya, kamu lihat sendiri Rama, bangunan nya masih sama, tapi orang-orangnya sudah pada pergi. Ada yang mengadopsi, ada juga yang seperti kamu mencari peruntungan diluar kota." Aku langsung teringat sesuatu.
"Rara masih disini Bu?" Kulihat raut wajahnya yang menegang, beliau diam lalu kembali tersenyum.
"Oh Rama, kamu belum bertemu sama Bapak?" Bunda tidak menjawab? Benar, pasti ada apa-apa. Bunda mengalihkan pembicaraan.
"Nanti Bun, aku mau bertemu dulu sama Rara, udah kangen hehe," mencoba mencairkan suasana. "Aku akan memberi kejutan sama Rara Bu, dan aku akan membawa nya ke Jakarta," ucapku semangat tapi raut wajah Bunda seperti sendu kembali. Ada apa ini? Bunda seperti menyembunyikan sesuatu.
"Rara sudah tidak disini Rama." Bunda mengatakannya dengan kepala menunduk. "Rara pergi untuk sementara waktu. Bunda yakin dia pasti akan kembali." Bisa kulihat air mata Bunda yang menetes. Aku pun merasa kaget, Rara pergi? Kemana? Ya, dialah Rara cinta pertamaku.
"Apa Bunda tahu Rara pergi kemana?" Lagi-lagi aku tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Aku menghela napas dan membuangnya perlahan.
Rara si gadis pemalu, cinta pertamaku. Pertama kali kamiLagi-lagidi Panti ini, Rara kecil yang sedang bermain ayunan. Kulihat mata indahnya, bulat dan hitam. Lucu. Dan rambut lurusnya yang panjang. Disitulah awal aku mulai tertarik padanya.
"Rama, Rara pasti baik-baik saja. Mungkin bukan saatnya kamu menemuinya dan membawa nya pergi." Bunda tersenyum lebar kepadaku seolah menguatkan. Benar juga yang dikatakan Bunda, mungkin bukan saatnya aku membawa nya pergi sekarang. Rara ku juga mungkin sekarang sedang mencari uang untuk memberi hadiah padaku. Sama seperti aku mencari uang untuk membahagiakan nya. Pikirku yang masih menerawang jauh.
"Baiklah Bun, aku akan menemui Bapak. Apa Bapak sehat?" Bunda langsung menyahuti.
"Ya, Bapak baik-baik saja. Beliau mungkin ada diruangannya. Cobalah temui, siapa tahu ada disana." Aku mencium tangan Bunda sebelum pergi. Beliau mengelus kepalaku dengan lembut. Aku rindu belaiannya.
Aku masuk, berjalan melewati setiap ruangan. Itu adalah kamar anak-anak Panti. Ku buka salah satu kamar dan melihat mereka sudah tertidur lelap. Aku rindu suasana kamar ku dulu bersama anak-anak yang lain. Ruangannya masih sama, hanya warna cat nya yang berubah, menjadi warna putih dan cream. Terlihat sedikit lebih terang di bandingkan dengan warna cat abu yang dulu. Kembali ku berjalan menelusuri lorong yang lain. Aku berhenti didepan salah satu pintu kamar anak perempuan. Itu adalah kamar yang ditempati Rara kecilnya dulu. Sekilas ingat kembali kenangan ketika aku bersamanya. Lari dari amarah Bunda karena sudah menghabiskan makanan untuk anak lain. Aku bersembunyi di kamar Rara di bawah tempat tidurnya. Aku bersembunyi dengannya. Lagi-lagi aku tersenyum mengingatnya.
Ku langkahkan kembali kaki ku, kali ini aku sampai di depan ruangan Bapak. Aku berdiri lumayan lama di depan pintu. Rasa gugup, kini menghampiriku. Pasalnya sudah sangat lama aku tidak bertemu lagi dengannya. Mungkin sudah 12 tahun aku pergi meninggalkannya. Apakah beliau masih sehat? Apakah dirambutnya sudah tumbuh uban? Dan apakah beliau akan mengingatku?. Ku ingat pesannya sebelum aku pergi.
"Rama, jaga diri baik-baik. Pulanglah kesini dengan membawa kabar gembira." Bapak memelukku dengan erat. Sebenarnya aku tidak rela, tapi karena Bapak sendiri yang menyuruhku. Demi masa depanku, aku menurut.
Ku ceritakan sedikit, beliau adalah Ganda Yudha Pramansya. Dia pemilik Yayasan Panti Asuhan Pramansya. Dan selain Bunda, pak Ganda juga orang yang selalu melindungi dan membelaku. Bahkan aku sudah di anggap sebagai anaknya sendiri. Walaupun beliau punya anak kandung tapi dia tidak pernah membedakan aku dengan anak kandungnya. Lagi-lagi aku seperti mempunyai Ayah kedua. Saat ini mungkin umurnya sudah 60 tahunan.
Kembali lagi aku tersadar dengan lamunanku. Sekarang aku siap membuka pintu dan bertemu dengannya. "Bapak, aku membawa kabar gembira." Aku berkata seraya membuka pintu, dan apa yang aku lihat? Tanganku yang masih memegang gagang pintu mulai bergetar, kakiku lemas seketika. Tubuhku bergetar hebat. Mataku terpejam diiringi setetes air mata.
Apa ini? Begitu berat kaki ku melangkah. Sungguh aku tidak kuat melihatnya.
"Ba-bapak?" ucapku terbata. "Bapak kenapa?" Sungguh kondisi yang mengenaskan. Tubuhnya berbaring dengan kaku, mata yang melotot dan mulut menganga mengeluarkan cairan putih. Apa yang terjadi? Pikiranku terus berkeliaran kemana-mana. Seketika pikiranku kosong, aku tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhku jatuh ke lantai tanpa bisa aku menahannya. "Bapak," ucapku lirih.
Ku dengar teriakan seseorang yang berada di ujung lorong. "AAAA ... TOLOONG!! BAPAK, BAPAAAKK. DIA TELAH MEMBUNUH BAPAK!"