6. Perbatasan Kambalang

1113 Words
Aksa membuka matanya. Sepi. Itulah yang dilihat saat mengedarkan pandanganya. Semua masih sama. Ia sadar kalau dirinya tertidur. Dan ia melirik dimana arah matahari namun sia sia. Tempat tersebut terlalu rindang untuk mengetahui dimana posisi matahari. Akhirnya ia mencari jam tangan miliknya yang ia sematkan di ikat pinggangnya. Pukul 13.02. Namun Aksa sama sekali tak merasakan panasnya terik matahari. Ia melihat sekelilingnya lagi. Belum ada tanda tanda kedatangan Kakek Monggo. Lalu tiba tiba terdengar bunyi dari arah perutnya. Ya Tuhan, Aksa sangat lapar sekarang. Ia tiba tiba menyesal mengapa dirinya tadi tak membawa sebungkus pun mie instan maupun snack miliknya. Syukurlah, tak berapa lama kemudian kakek Monggo terlihat dari Arah timur dengan membawa sesuatu. Aksa tahu itu adalah buah pisang. Dan di tangan yang satunya ada beberapa ekor ikan mentah yang Yang di susun dengan tali yang terbuat dari rumput liar. "Dari mana kakek mendapatkan semua ini?" Tanya Aksa bingung sambil memandang ke sekeliling. Yang di lihatnya hanya hutan dengan banyak pohon rindang tak berbuah. Ia tak melihat pohon pisang bahkan tanda tanda ada sungai pun tidak. Ia tak mendengar suara air. "Di sebelah timur hutan ini, ada sungai yang mengalir deras. Asal kau berjalan ke arah timur kau pasti akan mendapatkannya. Banyak pohon yang berbuah di pinggiran sungai". Jawab kakek monggo yang di angguki oleh Aksa. Bagi Aksa, itu adalah hal yang sangat penting untuk diketahui olehnya. Dengan lahap Aksa memakan buah pisang untuk menghilangkan rasa laparnya. Sesekali melirik jumlah pisang yang tinggal beberapa. Sedangkan kakek Monggo tak juga memakan bagiannya. Itu membuat Aksa mendekati kakek monggo yang tengah duduk membelakanginya. Aksa menghela nafas berat saat mendapati Kakek Monggo yang dari tadi sibuk menghidupkan api dari patahan kayu dan batu kecil. "Biar ku bantu kek, kakek makanlah pisang itu". Ucap Aksa yang tiba tiba berdiri di depan kakek Monggo. "Di sini memang sulit menghidupkan api. Kakek Saja kesulitan padahal sudah ahli kalau soal beginian." Ucap Kakek Monggo yang masih saja mengasah kayu di tangannya. Aksa tersenyum dan berjongkok di depan kakek Monggo. Menatap tumpukan kayu dan daun daun kering. Membuat kakek monggo memandang serius ke arahnya. "Biar kakek saja!" Serunya memperlihatkan percikan api yang kemudian menghilang lagi. Aksa mengeluarkan korek apinya lalu menyalakannya dengan mudah membuat kakek monggo takjub di depanya. Tumpukan yang di buat Aksa tadi seketika terbakar dengan api dari koreknya. "Ka kau?" Kata kakek monggo terbata masih dengan pandangan tak percaya. Aksa memperlihatkan sebuah korek api yang di bawanya. Bentuknya kecil tapi bisa menghidupkan api dalam hitungan detik. "Apa ini? Kenapa di dalamnya ada airnya?" Tanya nya setelah menatap dengan sesama benda kecil yang di ulurkan Aksa. Aksa tersenyum dan mengocok korek tersebut di depan kakek Monggo. "Ini korek. Dan di dalamnya bukan air. Tapi gas. Tanpa gas ini, api tak bisa menyala." Jelasnya yang bahkan sama sekali tak membuat kakek monggo menghilangkan rasa herannya. Masih dengan bangganya, Aksa kembali menyimpan korek apinya lantas membantu kakek monggo membakar ikan yang dibawanya tadi. Menusuknya dengan kayu kecil dan membakarnya di atas api yang di buatnya. Langsung membakarnya tanpa membersihkan sisik apalagi membubuhinya. Dia akan mengingat untuk membawa garam saat melakukan perjalanan di tengah hutan lagi. Satu hal yang tak di sangka oleh Aksa. Ikan yang ia bakar tadi rasanya sungguh lezat. Entah karena ia lapar atau karena memang ikannya yang enak. Ada sedikit gurih dan manis meskipun rasanya masih samar. Dan pastinya tak berbau lumpur seperti ketika mamanya membeli di pasar. "Enak?" Tanya kakek Monggo melihat Aksa yang memakannya dengan lahap. Ia tahu kalau Aksa masih kelaparan. Aksa mengangguk antusias. "Ikan seperti ini akan membuat sebuah resto memiliki banyak pelanggan." Serunya memikirkan seandainya ia membuka resto dengan bahan segar dari desa ini. Pasti akan sangat ramai. Bisa bisanya Aksa ini memikirkan usaha resto di saat dirinya bahkan tak tahu kapan kembali pulang. "Resto?" Beo kakek Monggo saat ada kata kata yang tak pernah didengar. "Resto atau restoran kek, kalau di sini namanya kedai makan." Jelas Aksa mengingat lagi kalau kedai makan di desa ini makanannya lezat semua. Kakek Monggo mengangguk sambil mengamati Aksa dengan penuh penilaian. Ada yang berbeda dari pandanganya. Kakek monggo mendongak ke atas. Seperti tengah melihat cuaca. "Ayo kita lanjutkan perjalanan. Masih beberapa langkah lagi untuk sampai perbatasan, dan kita harus kembali pulang sebelum malam." Aksa hanya mengangguk dan mengikuti langkah kakek Monggo. Tubuhnya sudah kembali segar. Ia kembali bersemangat untuk menempuh perjalanan. Kakek Monggo akan mengantarnya sampai perbatasan dan membawanya kembali pulang untuk mempersiapkan diri. Karena setelah melewati perbatasan, Aksa harus pergi sendirian tanpa Kakek Monggo. Ternyata, beberapa langkah yang di ucapkan kakek monggo bukan lah beberapa langkah untuk hitungan 10 atau 20 langkah. Tapi entahlah. Itu bahkan lebih dari 1 kilo meter. Aksa kembali lelah. Nafasnya mulai memburu namun hari yang menunjukkan sudah sore membuatnya tak bisa beristirahat. Kakek Monggo harus menunjukkan perbatasan sebelum malam gelap. Dan Akhirnya, saat matahari masih tampak di ujung barat, ia sampai di perbatasan. Sebuah pilar yang dipahat dari batu menjulang kokoh. Ada ukiran aksara Jawa yang Aksa tahu itu bertuliskan nama kerajaan Kambalang. "Ingat ingat bagaimana bentuk patung dan pilar ini. Karena saat kau keluar dari kerajaan ini, maka kau juga harus melewati pilar dan patung yang sama." Aksa hendak melangkah, berniat ingin melihat patung dari posisi sebaliknya. Namun dengan tegas kakek Monggo melarangnya. "Jangan melewati pilar tersebut!" Serunya keras. "Kenapa?" Ucap Aksa yang ketakutan. Lebih tepatnya ia merasa aneh dan heran. "Saat kau melewatinya, kau tak akan bisa kembali denganku ke rumah. Jadi belum saatnya kau melewatinya." Jelas Kakek Monggo yang hanya di angguki Aksa, meskipun ia sama sekali tak mengerti maksud dari ucapan kakek Monggo. Di samping pilar tersebut ada sebuah gentong besar. Aksa tahu kalau itu adalah gentong berisi air minum. Meskipun untuk sampai hanya sepuluh langkah, tapi kawasan itu sudah termasuk kawasan Kerajaan Kambalang. Dirinya tak berani kesana meskipun kehausan. "Kemari!" Kakek Monggo berseru dan bergerak ke samping kanan. Ada sebuah pohon rindang yang di bawahnya ditumbuhi semak belukar. Ternyata di sana juga terdapat sebuah gentong. Hanya saja tak terlihat karena terhalang semak belukar yang sangat rindang. "Isi lah botol itu!" Kata Kakek Monggo menunjuk botol di pinggang Aksa dengan dagunya. Aksa mengisi penuh botolnya setelah menanggalkan rasa haus di tenggorokannya. Lalu mengikuti Kakek monggo yang mengajaknya untuk kembali. "Apa kita akan bermalam di hutan kek?" "Tentu saja. Kau harus belajar tidur di hutan." "Aku sudah pernah melakukanya bahkan sejak umur 10 tahun kek" Seketika kakek Monggo menoleh padanya. "Benarkah?" "Ya, saat Camping." Jawabnya yang terasa aneh di telinga kakek Monggo. "Camping?" "Iya, bermalam di hutan dengan banyak orang. Kami disediakan tenda untuk tidur dan banyak makanan yang dibawa." "Jelas sangat berbeda dengan kondisi sekarang." Jawab kakek Monggo yang mendapat persetujuan dari Aksa. Akhirnya mereka melangkah untuk kembali. Menelusuri hutan di saat hari mulai gelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD