DL -3

1062 Words
“Kau mau satu?” tanya bosnya. “Haha, mana mungkin aku dapatkan dengan mudah.” “Benar, kau harus melakukan sesuatu.” “Apa itu?” “Masuklah menjadi sipir penjara Abodie In Hell, temui sahabatku di sana dan sampaikan pesanku padanya.” Pustin tersenyum, memang dia sangat ingin masuk ke sana dengan tujuan lain. Namun, ketika Frank memberinya tugas itu demi satu koin emas yang uangnya bisa dia buat untuk membeli rumah baru serta makan enak bagi istri, anak dan ibunya, Pustin pun setuju! Keesokan harinya. Pustin menghampiri sahabatnya yang sedang bekerja di sebuah pabrik roti pada saat jam pulang kerja. Pria itu menyapa Pustin dengan riangnya. Mereka pun saling berjabat ala lelaki, menyatukan tangan dengan cara menekuk siku kemudian menautkan jemari. "Apa kabarmu, Pustin?" tanya Scott. "Sehat, aku sehat sekali." "Syukurlah! Oya, aku dapat informasi katanya pemerintahan akan membuka lowongan menjadi sipir dan eksekutor. Kau berencana daftar?" tanya Scott. "Menurutmu, aku bisa?" "Pasti. Kau pasti bisa." "Haha." Pustin malah cengengesan. "Kau ikut juga?" tanyanya balik. "Ah, kau tau kan kalau aku lemah." "Haha." Cara Pustin tertawa terkesan meledek. "Hei, jangan begitu. Kalau tertawamu seperti itu, kau buat aku semakin tertantang," sahut Scott. "Kalau begitu, kau kejar aku. Jika kau menang maka kau bisa mendaftar," ajak Pustin, menantang sahabatnya serius. Scott menerima tantangan tersebut. Pustin membuat garis di tanah dengan sebuah batu. Garis itu adalah awal dari titik lari mereka. Pustin menunjuk ke arah pohon besar di ujung jalan. "Siapa lebih dulu tiba di sana, dia yang menang." "Oke!" Scott dan Pustin memasang ancang-ancang berlari. Pustin menghitung mundur dari satu, dua, tiga! Dua pria itu langsung mengerahkan tenaganya untuk mencapai pohon beringin yang berukuran sangat besar tersebut. Langkah mereka diusahakan secepat cheetah, tapi ternyata tidak bisa sejauh itu. Mereka mulai melalui jalanan yang ramai, menerobos para warga yang sedang beraktifitas. Scott kalah. Pustin sudah memimpin jauh beberapa langkah darinya. "Pustin! Mengalah lah pada sahabatmu!" jerit Scott. "Haha, kakimu terkilir? Kenapa lari keledai jauh lebih kencang darimu?" tanyanya sambil bercanda. "Hahaha," sahutnya dan mengakhiri langkah sebelum tiba di pohon yang telah disepakati. Scott menyerah, meski lambat dia tetap meneruskannya. Pustin tidak mendengar langkah Scott mengejarnya lagi. Pria itu menoleh dan melihat temannya tertinggal jauh. Pustin berhenti, napasnya tersengal-sengal sedikit. "Hah-hah-hah, Dasar lemah! Percuma ayahmu sekuat itu, tapi anaknya malah selemah ini," gumamnya sendiri dan meminta Scott menghampirinya dengan santai. Tangannya diayun ke arah tubuhnya sendiri. Di tengah perjalanan, Pustin melihat ada sepeda yang melaju kencang ke arah kanan. Menurut perhitungan, dia akan menabrak Scott dalam hitungan detik. Masalahnya bukan pada sepeda itu, tetapi pada anak yang didudukkan dalam box keranjang di stang sepeda itu. Bisa terjadi dua kemungkinan, pertama anak itu terbang, kedua anak itu tersungkur dan menabrak orang lain. Pustin segera mengejarnya dan mencoba menjerit pada Scott. "Berhenti!" jerit Pustin Scott tidak mengerti maksudnya menjerit, terus saja dia melangkah dengan cepat. Sepeda dari kiri juga semakin dekat dan Pustin berharap bisa tiba tepat waktu. Pustin berlari sekuat tenaga, detik-detik berharga itu pun tiba, Pustin mengambil anak tersebut dari keranjang dan menolak tubuh Scott ke belakang dengan kakinya. Gedebuk! Scott terjatuh, ibu dari bayi itu keterusan kemudian berhenti secara paksa menggunakan rem tangan. Sedangkan bayi yang digendongnya terkejut dan hanya diam saja menatap ke segala arah. "Oh, Tuhan! Terima kasih, Pustin!" ucap Scott pada sahabatnya setelah menyadari kalau Pustin menyelamatkan nyawa seorang anak. "Kau harus melihat ke sekitar kalau jalan atau berlari! Bagaimana jika kau menabrak sepeda Nyonya itu hingga menjatuhkan bayinya?" bentak Pustin bernada tinggi. Sontak orang-orang menghampiri mereka. Ibu si bayi juga mendekat, meminta maaf pada Pustin. "Aku juga minta maaf. Aku juga salah karena tidak melihat kiri kanan," aku wanita yang membawa bayi itu. "Ada apa ini?" tanya seorang pria berkumis lebat dan seram, datang dari arah tenggara. "Ah, tidak, Pak! Hanya salah paham saja," bela Pustin agar Scott tidak kena masalah demikian juga wanita itu. "Buat terkejut orang saja!" gerutu masyarakat yang melihat. "Iya! Aku sudah jantungan melihatnya." Mereka sontak meminta maaf dengan sedikit membungkuk. Scott dan wanita itu saling meminta maaf. Namun, tatapan Scott malah terlihat aneh. Sebab, Scott Jatuh hati pada pandangan pertamanya. Wanita berambut merah cokelat itu pun tersenyum kemudian mengalihkan perhatian dengan cara mengambil bayi dari tangan Pustin. "Saya Tantie, belum menikah. Ini anak kakak saya," ucapnya memperjelas status. Entah untuk Pustin ataupun Scott. "Ooh." ucap Pustin dan Scott bersamaan, lalu saling menatap. Pustin melirik Scott, sepertinya mereka saling suka. Scott berkenalan lebih dekat sementara Pustin memilih menjauh saja dan membiarkan alam menyelesaikan yang telah terjadi. Lagi pula, Scott seorang duda beranak satu. Istrinya meninggal setahun yang lalu dan membesarkan anaknya seorang diri. Selama dia bekerja, anaknya dititip ke tetangga terdekat saat dirinya bekerja. Beberapa menit kemudian. Pustin mampir ke rumah Scott dan menemui putranya. Anak yang memiliki usia sama seperti anaknya itu memeluk Pustin dengan erat. "Hai, anak tampan! Kau tidak nakal hari ini kan?" tanya Pustin pada Gerald, putra Scott. "Tidak, tentunya aku jadi anak baik. Papa akan marah bila aku jahat," jawab anak berumur 5 tahun itu. "Haha, benar! Jangan jadi jahat, tetaplah menjadi baik." Scott meminta Gerald turun dari gendongan Pustin dan masuk ke kamarnya. Gerald anak yang penurut, langkah kecilnya dengan cepat ke arah kamar. "Apa kabar papamu?" tanya Pustin. "Minggu depan keputusan pengadilan. Aku rasa dia akan bebas," jawabnya. Pustin tersenyum miring. "Dia sudah menjalani hukumannya. Benar kan?" "Ya, lagipula keluarga korban tidak pernah menggugat hasil pengadilan. Aku rasa papa tidak akan lama lagi bebas." "Kau tidak pernah berniat menemui keluarga korban kejahatan papamu?" "Untuk apa? Aku bisa dibunuh oleh mereka. Pasti ada dendam dalam hati keluarganya. Padahal papaku tidak sengaja melakukannya." "Kau sudah lihat bukti, kenapa masih bilang papamu tidak bersalah?" "Karena aku yakin kalau papa tidak membunuh Felix." Pustin menggenggam cangkirnya saat Scott menyebut nama 'Felix'. Mulutnya mengulum sendiri, matanya mengayun sendu bercampur emosi. "Kau tidak melihat kejadiannya, mungkin ada sesuatu yang tak kau ketahui." "Haha, sudahlah. Biar hukum yang menyelesaikannya. Aku sangat merindukannya." Pustin tersimpul miring lagi. "Kapan rencanamu menjenguknya ke penjara?" "Besok. Kau mau ikut?" "Oke, aku akan ikut." "Sip! Pustin, aku harus memberi makan Gerald, memandikannya kemudian menidurkannya. Sampai ketemu besok, aku akan menunggu di depan restoran tempat kau bekerja jam 2 siang." Pustin mengerti, pamit dari Scott dan mengambil topinya yang sempat digantung di balik pintu. Pustin keluar, memakai topi tadi kemudian mengeluarkan rokok dari kantungnya. Ujung rokok disulut api sebelum kakinya melangkah ke arah restoran. Sepedanya dia parkir di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD