Bab 4

1508 Words
Rinai hujan tampak saling berkejaran di kaca jendela sebuah kamar bernuansa merah muda, sejurus dengan linangan air mata di pipi kami berdua, hanya dia yang menguatkan ku saat ini, saat seluruh dunia seolah memusuhiku. Aku bersyukur masih ada Aira yang mau menampungku sementara di rumahnya, walaupun aku harus tetap menyembunyikan kehamilanku. Ku tekadkan diri untuk tidak lagi menitikkan airmata, aku harus kuat menjalani hidup yang pastinya akan terasa lebih berat. Hamil tanpa suami dan belum pernah menikah pasti akan jauh dari kata mudah. "Kamu harus kuat ya Nan, aku akan selalu ada buat bantu kamu, sementara kamu bisa tinggal di sini dulu sebelum kamu dapet tempat kost." "Terima kasih ya Ai ... Aku nggak tau apa jadinya kalau kamu juga nggak mau nerima aku." "Iya Nan, udah ah kamu jangan banyak fikiran nggak baik buat kesehatan kamu dan janinmu." "Iya." Tok ... Tok ... Tok. Suara ketukan di pintu kamar Aira. "Ai, di panggil mama suruh makan, ajak temen kamu sekalian." Suara seorang lelaki terdengar dari balik pintu. Aku memang bersahabat baik dengan Aira tetapi belum mengenal semua keluarganya, hanya dengan ibunya saja aku sudah beberapa kali bertemu. "Iya Bang, tunggu bentar," Aira menjawab tanpa membuka pintu. "Sekarang hapus airmata kamu, terus kita makan, aku kenalin sama papa dan abangku." "Iya, aku cuci muka dulu ya," aku segera masuk kamar mandi yang terletak di sudut kamar ini. Aira menungguku sambil memainkan gawainya, setelahnya kami keluar bersama. Di meja makan sudah ada tiga orang yang menunggu kami, tante Sofia mamanya Aira, dan dua orang lelaki berwajah mirip hanya berbeda usia saja. "Kinan, kenalin ini papa ku," Aira memperkenalkan aku pada papanya, Aku mencium tangannya penuh hormat, hampir menetes airmata teringat kini aku sudah tidak bisa mencium tangan bapakku lagi, "Saya Kinan om, temen kerja Aira." "Nama saya Rudi Darmawan, panggil saja Om Rudi." Om Rudi tersenyum hangat. "Nah kalo yang ganteng ini, Abangku satu-satunya namanya Ricko Darmawan." "Kinan." "Ricko." Kami berjabat tangan dan saling melempar senyum. "Oh jadi di sini yang ganteng cuma Abang kamu Ai, papa nggak?" Om Rudi melempar canda. Aira melotot sambil mengibas kedua tangannya, "nggak, nggak bukan gitu maksudnya, papa juga ganteng, dulu waktu masih muda." "Jadi sekarang papa udah tua, nggak ganteng lagi?" Om Rudi terus meledek Aira. "Ya ganteng tapi dikit, banyakkan di Bang Ricko." "Tapi buat apa ganteng kalo masih jomblo?" sindir Om Rudi pada anaknya. "Papa apaan sih, biarin jomblo yang penting ganteng!" sanggah Ricko. "Ya itu berarti gantengnya Abang kamu nurunin papa! Udah ah buruan makan, nggak enak sama Kinan. Ada tamu malah kalian ribut-ribut sendiri," Tante Sofia menengahi "tapi bener juga sih, makanya buruan Rick cari pacar!" Ricko merengut sambil menyendok nasi menaruh di piringnya. Lalu kami semua tertawa, melanjutkan makan malam penuh kehangatan. Aku sedih sekaligus bahagia, sedih karena seharusnya kehangatan keluarga sendiri yang ku rasakan, tapi bahagia bisa di terima di sini. Selama makan, aku dan Ricko yang tidak banyak bicara hanya mendengarkan Aira bercengkrama dengan mama dan papanya, Aira memang gadis yang periang, sedangkan Ricko ... Mungkin jaim, hanya beberapa kali pandangan kami bertemu atau tepatnya ku pergoki dia melirik ke arahku. Aira memang benar, dia tampan ya wajar saja dia mewarisi ketampanan papanya yang masih memiliki garis keturunan timur tengah dari kakeknya itu ku ketahui saat ku tanya darimana dia bisa memiliki hidung mancungnya itu. Menurut cerita Aira, Ricko bekerja di luar kota hanya pulang beberapa bulan sekali, kepulangannya kali ini agak lama karena harus menunggu proses perpanjangan kontrak kerja yang memakan waktu hampir satu bulan jadi dia manfaatkan untuk menetap sementara di rumah orang tuanya. Setelah tiga hari menginap di rumah Aira, akhirnya hari ini aku pindah ke rumah yang ku sewa tidak jauh dari kantorku. Aku memang memilih hari Minggu untuk pindahan. "Kinan ... Sorry banget ya, aku nggak bisa nemenin kamu pindahan," Aira menangkupkan kedua tangannya di depan d**a "aku janji ntar pulang dari rumah Gilang--pacar Aira langsung ke kontrakan kamu deh." "Iya deh ...," aku pura-pura merengut. "Iya tapi mukanya di tekuk gitu, ntar aku bawain kamu pizza deh." kini di mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersama. "Iya Ai, aku nggak apa-apa. Aku kan nggak mau ganggu moment spesial kamu, dikenalin sama calon mertua." "Oohhh makasih sayang akoh ..." dia berhambur memelukku "kamu di temenin Bang Ricko kan?" Aku hanya mengangguk, tadi Ricko memang menawarkan diri mengantarku, selama menginap di sini kami mulai dekat karena sering ngobrol, benar Aira bilang dia memang Abang yang baik dan asik. "eehhemm ... Kalian nih apa-apaan sih, Kinan kan cuma mau pindah, tapi kalian peluk-pelukannya kayak nggak bakal ketemu lagi aja!" Ricko berdiri di ambang pintu kamar menyandarkan bahunya di sisi tiang pintu sambil satu tangannya berkacak pinggang. "Ish Abang ganggu aja!" "Lagian kalian peluk-pelukan terus. Kayak ... Iihhh ..." Ricko menggidikkan badannya, geli. "Ih Abang apaan sih, aku tuh normal buktinya aku punya pacar!" Aku hanya menggelengkan kepala, selalu menyaksikan adik dan abang yang meributkan hal-hal kecil tapi semua itu tanda kalau mereka saling perduli dan menyayangi. "Ya kamu punya pacar ... Kalau Kinan?" Aira tersenyum lebar "iya dia nggak punya pacar, Abang juga. Berarti cocok tuh kalian ... Udah pacaran aja." Aira segera keluar mendengar suara mobil Gilang berhenti di teras rumahnya. "Yuk Nan," ajakan Bang Ricko menghentikan aku yang sedang menertawakan tingkah Aira. "Ayo kemana?" "Pacaran, tadi kata Aira kita disuruh pacaran!" "Hhaahh ..." "Hahaha ... Bercanda! Katanya mau dianterin pindahan." Suara Bang Ricko menjauh, keluar kamar meninggalkanku yang masih melongo. Apa-apaan sih Aira menyuruh aku dan Abangnya melakukan hal yang nggak mungkin terjadi, mana mungkin Bang Ricko mau menerima keadaanku yang telah berbadan dua. Dan keluarga ini, mereka sudah terlalu baik padaku aku takut untuk berharap lebih. Apalagi kalau mengingat keluargaku sendiri saja tidak lagi bisa menerimaku, mana mungkin ada keluarga lain yang bisa menerimaku apa adanya. Cukuplah untuk saat ini aku fokus memperbaiki hidupku sendiri saja, masalah cinta tidak akan ku fikirkan lagi. Tin ... Tin. Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku, segera aku keluar, di teras sudah ada Tante Sofia dan Om Rudi sedang Bang Ricko sudah menunggu di dalam mobil. "Kamu hati-hati ya Nan, ada gadis tinggal sendiri di kontrakan." kata Om Rudi saat aku menyalaminya. "Iya, Om terima kasih ya Kinan udah diterima dengan baik di sini." "Kamu harus sering-sering main atau nginep di sini lagi ya sayang ...," Tante Sofia menarikku dalam dekapannya. "Pasti Tante, Kinan pamit dulu ya ..." ku cium punggung tangannya. Kami saling melambaikan tangan saat Bang Ricko melajukan mobilnya perlahan. Lalu hening sepanjang perjalanan. Bang Ricko tidak langsung pulang setelah aku sampai rumah kontrakan, melainkan menyempatkan waktunya yang memang selalu luang untuk membantuku beres-beres. Belum begitu banyak barang di sini hingga tidak terlalu banyak pula yang kami bereskan hanya pakaian dan beberapa perabot dapur dan peralatan makan yang baru aku beli saja. "Nan," aku menoleh pada Bang Ricko yang tengah sibuk menata piring pada rak kecil "aku serius lho dengan ajakanku tadi!" "Ajakan apa?" tanyaku tidak mengerti, mengingat dari tadi kami membicarakan banyak hal. "Ajakan pacaran!" "Hhaahh ... Abang nggak usah bercanda! Nggak lucu." "Ih kamu nggak denger, Abang bilangkan abang serius." kini dia berdiri tepat di hadapanku dan meraih tangan kosongku. "Aku nggak bisa." ku tarik kembali kedua tanganku dari genggamannya lalu membalikkan badan agar tak lagi berhadapan dengannya. "Kenapa?" tanyanya. "Aku nggak sebaik yang Abang kira." "Mengenai apa?" "Semuanya, masa lalu dan masa depan aku nggak ada yang baik, Abang nggak akan bisa nerima aku." "Karena anak kamu?" "Abang tau?" Entah kenapa Bang Ricko hanya tersenyum melihat keterkejutanku, belum sempat kudapat jawabannya sudah terdengar suara cempreng Aira dan Gilang mengucap salam. Aira, pasti dia yang sudah bercerita pada Abangnya, tapi kenapa? Biar kutanya besok saja di kantor sekarang waktunya tidak tepat. Aku melewati hari-hariku dengan lebih baik sekarang aku sudah bisa menata perasaanku sendiri, keseharianku habiskan untuk berkerja. Tidak ada yang curiga dengan badanku yang sudah mulai melar, aku sadar tidak mungkin selamanya aku bisa menutupi kehamilanku, dan aku juga sadar aku bisa kehilangan pekerjaanku kalau sudah ketahuan hamil tanpa pernikahan. Karena bagaimanapun di sini hal itu adalah hal tercela yang pastinya sulit di terima termasuk oleh perusahaan tempatku berkerja tapi sebelum hal itu terjadi aku sudah mempersiapkan diri mempersiapkan mental dan tabungan tentunya. Meskipun tidak terlalu banyak tapi tabunganku kurasa cukup untuk biaya hidupku, untuk biaya persalinan dan bayiku sampai aku bisa mendapat pekerjaan lagi nanti. "Hheehh ... Bengong aja, makan siang yuk." Suara Aira menyadarkan aku dari lamunan. "Iya, ayok sekalian ada hal yang mau aku tanyain sama kamu," Aira mengernyitkan dahi, tak mengerti "serius!" "Ada apa sih?" wajahnya semakin bingung. Kami berjalan bergandengan sepanjang koridor kantor. "Say kamu duluan ya aku ke toilet dulu," titah Aira sambil melepaskan tanganku. "Aku tunggu di lobi ya." aku berkata sambil menuruni anak tangga, pandanganku tetap tertuju padanya hingga tanpa sadar aku tergelincir, aku terjatuh melewati beberapa anak tangga. Aira berteriak histeris memanggil namaku dan beberapa rekan kerja yang lain segera berhambur menolong. Aku merasakan aliran hangat di bagian bawah tubuhku, perutku juga sakit. "Ya Allah ... Kinan, kamu berdarah!" Aira merengkuh tubuhku. "Ayo cepet bawa ke rumah sakit!" "Iya cepetan!" Riuh teman-teman yang lain saling bersahutan, dan aku kehilangan kesadaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD