Serpihan Kaca

1119 Words
“Bau apa?” tanya Jasmin yang mengalihkan pandangan dari ponsel ke arah Mario. Tiba-tiba ada suara dari arah dapur. Suara wanita yang khas di telinga Jasmin dan Mario. Nilam berteriak karena kaget terdapat asap yang menyambar ruangan dapurnya. Jasmin bergegas meninggalkan ponselnya untuk melihat keadaan yang ada di sana. Sedangkan, Mario masih sibuk membangunkan Aurora. “Mama Nilam, ada apa?” tanya Jasmin ketika Nilam telah mematikan kompor. “Beruntung belum sampai hangus. Airnya sudah habis, andai saja sampai hangus, panci Mama bisa rusak.” Nilam menurunkan panci itu dan membuka tutupnya agar bau sangit itu bisa hilang dari sambal kelapa yang telah matang. “Untung masih aman.” Jasmin mengelus dadanya. Di ambang pintu terlihat Aurora yang masih mengantuk berdiri bersampingan dengan Mario. Mereka berjalan mendekat di mana Jasmin dan Nilam sedang mengurus panci yang hampir terbakar karena kelalaian mereka bertiga. “Mam, belum terbakar kan?” tanya Aurora. “Belum,” jawab Nilam sembari mengangkat sambal untuk diletakkan di piring. “Baiklah, Aurora tidur lagi, ya.” Belum juga berjalan sebanyak lima langkah, Nilam telah berhasil meraih kerah baju tidur Aurora dari belakang. “Bersihkan dulu panci, Mama!” Nilam melepaskan kerah pakaian Aurora lalu pergi ke kamarnya. “Ra, lu sih pakai tidur segala. Sekarang, hampir terbakar panci Mama Nilam.” Jasmin mengangkat panci ke tempat cuci piring. Dia merendam dengan air yang mengalir dari keran. “Ya, habis gue merasa kantung mata gue dah melebar, sehingga kelopak mata susah buat diangkat!” jawab Aurora tanpa merasa bersalah. Mario berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan yang terlipat ke dadanya. Kaki kiri yang bertumpang kaki kanannya dengan tubuh bersender kusen pintu. “Kalian, jadi mau bikin konten?” “Astaghfirulllah!” teriak Aurora sembari mengusap wajahnya dengan air yang ia ambil dari keran. “Ya, itu menunya dibawa. Jangan lupa buat bawa perlengkapan lainnya, ya.” Mario melangkah meninggalkan dapur. Aurora menuangkan sambal yang telah matang ke wadah berwarna biru. Kemudian, ia juga memasukkan nasi ke mangkuk berwarna bening yang terbuat dari kaca. Seketika tangan kanannya terhenti beraktivitas akibat ucapan dari Jasmin yang mengingatkan akan lauk dan sayuran yang belum dimasaknya. “Astaga, rempong kali, Jas!” Aurora mengeluh sembari menaruh mangkuk ke meja terdekat. “Kalau sekarang masak, nanti Mario marah, gak?” sambung Aurora. “Lu bilang, gih!” perintah Jasmin yang masih fokus membersihkan panci yang hampir hangus akibat ulahnya dan kedua temannya. Dengan telaten, Jasmin menggosok panci itu dengan sikat khusus yang memang digunakan untuk mencuci panci yang gosong. Aurora dengan sedikit mengeluh pergi menemui Mario. Dengan langkah kaki yang tidak niat, Aurora melangkahkan kaki untuk menapaki tangga satu per satu menuju kamarnya. Dari ambang pintu, terlihat Mario yang sedang mempersiapkan segala peralatan yang akan digunakan untuk syuting. “Mario, I am Sorry, ternyata menu makananku belum lengkap. Masih harus memasak lauk sama sayurannya.” Aurora menunduk seakan tidak berani menatap Mario. Padahal, aksinya itu hanya digunakan sebagai tak-tik agar tidak mendapatkan omelan dari mulut pedasnya Mario. “Astaga, Ra! Ini sudah hampir sore. Sekarang, kamu bilang masih mau memasak?” tanya Mario dengan nada yang sedikit tinggi dan tangan kanannya berhenti bergerak dari benda berbentuk persegi berlensa yang digunakan untuk mengambil video. “Sorry,” jawab Aurora semakin menunduk. “Besok, saja. Gue harus pulang cepat karena ada acara penting,” jawab Mario sembari menggendong tasnya yang berwarna hitam. “Seharusnya, tadi jangan tidur. Lebih baik, kalau kalian menuntaskan acara memasaknya. Nanti tolong pamitkan ke Mama Nilam,” sambung Mario sembari mengacak-acak rambut Aurora langsung bergegas pergi meninggalkan rumah Aurora. Sembari mengamati punggung Mario, Aurora menyusul menuruni tangga dengan perasaan yang kecewa, sedih, marah, kesal, dan menyalahkan dirinya sendiri dalam hati. Kakinya melangkah ke arah Jasmin yang masih setia dengan panci gosong itu. Di sana, ada Nilam yang sedang duduk sembari meracik bumbu untuk menu makan malam nanti. “Ra, Mario bisa menunggu, kan?” tanya Jasmin. “Mario balik ke rumahnya.” Aurora mengambil pisau untuk membantu Nilam mengupas bawang putih, bawang merah, dan mengiris cabai. “Ra, lihat! Panci Mama jadi rusak. Terus, konten kamu saja berantakan. Jasmin, sudah biarkan saja panci itu.” Nilam beranjak ingin mencuci sayuran yang akan dimasaknya. Jasmin mencuci tangannya yang penuh kotoran hitam yang berasal dari panci. Setelah itu, Jasmin meminta maaf kepada Nilam. Peristiwa panci hangus adalah kecerobohan dari Jasmin juga, bukan hanya Aurora. Jadi, Jasmin sudah seharusnya meminta maaf kepada pemilik panci. Kemudian, Jasmin turut serta dengan Aurora yang duduk di meja makan sembari menyiapkan bumbu dapur. “Kalian belajar saja. Mama tidak mau ada masalah lagi di dapur ini.” Nilam menaruh sayur sawi ke wadah plastik yang memiliki lubang-lubang kecil agar air mudah keluar. “Mam, sudah tidak percaya sama Aurora? Artinya, aku tidak bisa memakai dapur Mama untuk syuting?” kata Aurora yang menunduk. Aurora sudah takut kalau mendapati kepercayaan dari ibunya hilang atas kecerobohannya. Selain itu, Nilam memang tipe ibu yang tidak bisa memarahi anaknya dengan kata-kata. Sebab, ia tidak ingin salah mengucap kepada anaknya. Nilam memegang teguh bahwa ucapan adalah doa yang bisa saja didengar oleh Sang Mahakuasa. “Sudah jangan tanya-tanya lagi. Lebih baik kalian belajar atau mengerjakan tugas.” Nilam meninggalkan mereka yang masih setia dengan kursi yang diletakkan di ruang makan. Sebuah ruangan yang dibagi menjadi tanpa sekat. Ruang makan dan dapur yang menyatu, akan tetapi memiliki kesan menarik dengan instrumen-instrumen yang terletak di sana. Nilam berjalan menuju halaman belakang untuk memetik daun salam. “Ra, hari ini benar-benar kacau. Semuanya berantakan, apalagi kejadian itu membuat Mama marah banget, Ra.” Jasmin berdiri lalu melangkahkan kakinya ke kamar Aurora untuk mengerjakan sesuatu yang belum selesai. “Jas, tunggu!” Aurora bergegas mengikuti langkah kaki Aurora. Sesampainya di kamar, mereka membuka ponsel masing-masing. Lain halnya dengan Jasmin yang membuka materi pembelajaran sekolahnya, sedangkan Aurora asyik dengan konten-konten yang beredar bebas di internet. “Berantakan!” lirih Aurora dengan intonasi sedikit tinggi. Jasmin menghela napasnya, lalu mematikan ponselnya untuk menyambut sebuah halusinasi yang menemani tidurnya. Baru menarik selimut, terdengar suara Nilam memanggil Aurora dan Jasmin secara bergantian. Daripada memperburuk keadaan, mereka menghampiri asal suara. Ternyata, Nilam mengajak mereka untuk menikmati makan malam bersama. “Ra, Jasmin ... Mari makan bareng-bareng.” Bram menyeruput teh hangat dari gelasnya. “Oh iya, bagaimana dengan perkembangan kontenmu, Ra?” “Tadi belum sempat membuat video malah banyak hal yang mengacaukan.” Aurora mengambil satu porsi makanan lengkap ke piringnya. “Persis kaca pecah?” tanya Bram. “Sudah, tidak apa. Namanya juga proses, kan?” “Iya, persis kaca pecah yang berantakan, Pa.” Jasmin membuka ponselnya. Di sana, ia dibuat terkejut dengan isi pesan singkat yang dikirimkan oleh Mario. Ada apa dengan Mario? Kenapa ia mengirimkan pesan yang berisi demikian? Apa ia benar-benar kecewa terhadap Aurora?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD