BAB 2

1345 Words
Suara jam dinding terdengar memenuhi ruangan yang terasa amat sepi. Elizabeth hanya bisa menautkan jari-jemarinya untuk mengusir rasa gugup yang membelenggunya. Jane ibu Elizabeth baru saja sampai beberapa saat lalu dan dia hanya pasrah mendengar semua penjelasan dari saksi dan korban. Ya korban karena dari semua penjelasan yang berada di ruangan itu, semuanya sama-sama mengatakan bahwa Elizabethlah yang memulai semua pertikaian itu. “Lalu hukuman apa yang harus diterima Eliz?” tanya Jane dengan ragu-ragu. “Keluarkan dia!” suara itu terdengar penuh amar terdengar dari ambang pintu. Ayah Amanda datang. Ayah Amanda merupakan salah satu orang yang berpengaruh di pack dan dapat dikatakan mencari gara-gara dengan Amanda sama saja dengan mencari mati. “Dia…dia masih terlalu kecil untuk tidak bersekolah.” suara Jane terdengar bergetar. Sosoknya benar-benar terlihat sangat menyedihkan apalagi dengan tubuh yang tak terurus itu. Ayah Amanda tertawa dengan penuh ejekan. “Anak kecil mana yang sampai melikau putriku dan dua orang temannya yang lain? Dan apa kau buta dengan luka yang putrimu akibatkan pada putriku?!” Jane terdiam mendengarnya, dia hanya bisa mengigit bibirnya tak tahu harus bersikap bagaimana lagi. Jane melirik Elizabeth yang hanya bisa menundukkan kepalanya. Elizabeth baru saja memasuki junior high school dan sekarang sudah akan dikeluarkan, cemoohan demi cemoohoan akan semakin Jane dengar setelah kejadian ini. Di kota kecil yang berisikan semua anggota packnya, Jane bisa apa, hidup di luar pack pasti akan sangat susah baginya dan terlalu beresiko karena packnya memiliki banyak musuh dan kota kecil ini hanya sedikit manusia asli yang sial karena tinggal di wilayah ini, mereka kadang tidak tahu bahwa mereka berada di wilayah yang di isi oleh para manusia serigala. Beberapa kejadian diluar nalar memang terasa menakutkan bagi manusia yang tinggal di sini dan karena itu sudah banyak yang pindah karena tidak nyaman. “maaf, maaf, maaf….” hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Jane. “Bukan aku yang memulainya.” suara kecil Elizabeth membuat ayah Amanda memandangi lekat-lekat. “Sudah cukup Eliz, kamu sudah bersalah!” potong Jane tak suka dengan pembelaan anaknya itu. Saksi mata sudah menjelaskannya secara rinci dan semua korbanpun menjelaskan hal yang sama. Elizabeth yang memulainya dan hal itu membuat Amanda mencoba membalas perlakuan anaknya, namun ternyata Elizabeth kembali menyerangkan aksinya hingga perut Amanda memar karena tendangan. “Tapi aku memang….” “Minta maaf pada Amanda, Eliz!” potong Jane yang membuat Elizabeth terdiam. Saat pandangan mata Elizabeth mengarah ke Amanda dia melihat gadis itu tersenyum kecil ke arahnya. Senyum yang sangat menyebalkan baginya, senyum yang penuh rencana jahat. Tangan Elizabeth seketika terkepal saat itu hingga buku-buku jarinya melukai telapak tangannya. “maaf, aku minta maaf.” lirih Elizabeth saat itu juga. Suaranya terdengar bergetar menahan tangis. “Permintaan maaf diterima namun sanksi tetap harus berjalan.” ucap ayah amanda. Miss Watson berdaham sebelum berucap, “Aku tidak bisa langsung mengambil tindakan untuk mengeluarkannya, tapi sebelum itu Elizabeth harus menerima skorsing hingga waktu pemberitahuan keputusan.” Bagi Elizabeth semua ucapan miss Watson hanyalah kalimat basa-basi karena sejujurnya saat ayah Amanda menginginkan itu maka itu akan terjadi. Tak ada yang bisa diganggu gugat. Setelah itu Elizabeth hanya bisa tertunduk mengikuti langkah ibunya yang keluar dari ruangan miss Watson. Mereka pulang dan sepanjang perjalanan ke rumah hanya suara langkah yang terdengar. “Bu, maaf.” lirih Elizabeth pelan. “Diam Eliz!” Mata Elizabeth penuh dengan genangan air mata, dia sudah tak bisa menahan semuanya. Dia yang melihat punggung ringkih ibunya yang bergetar membuat air matanya jatuh begitu saja. Sepanjang jalan menuju rumah Elizabeth hanya bisa menangis dalam diam. Saat mereka telah sampai di dalam rumah Jane terduduk di sofa, meja di depannya dipenuhi oleh bekas bolot minuman. Dia meneguk sisa alkohol yang di minumnya semalam. Setelah menenggak habis minuman itu dia mengalihkan pandangannya ke arah Elizabeth yang diam di tengah ruangan. Jane tertawa miris meratapi nasibnya yang semakin lama semakin hancur. Tanpa segan dia melempar botol minumannya, sontak saja Elizabeth menutup matanya hingga dia kembali membukanya saat mendengar suara pecahan itu nyari terdengar di sampingnya. Serpihan kaca itu mengenai kakinya membuat Elizabeth merintih pelan. “Kau ingin mengahancurkan hidupku seperti apalagi Eliz?!” tanya Jane dengan suaranya yang meninggi. Jane memeras surai panjangnya, kepalanya sakit sekali rasanya dengan semua masalah yang silih berganti menimpanya.   “Bu….” “Aku kecewa denganmu Eliz.” Tangis Elizabeth kembali pecah namun kali ini dia tanpa ragu menangis dengan keras. Menangis sejadinya hingga napasnya terasa sesak. Di sela-sela tangisnya dia terus berucap dengan lirih bahwa dirinya tak pernah memulai semua pertikaian yang terjadi. Elizabeth benar-benar tak bisa membendung kesedihannya. Dia selalu diam selama ini ketika mengalami perundungan. Dia selalu dikucilkan semenjak ibunya mulai berubah. Ya, ibunya berubah derastis setelah kepergian ayahnya. Ibu yang selalu memeluknya dengan hangat itu sudah tidak ada lagi, tergantikan oleh ibu yang suka minum setiap malam dan tidak memperdulikannya. Jane yang melihat tersebut mengusap wajahnya dengan gusar. Cobaan apalagi yang menimpanya saat ini. Tak bisakah ayah dan anak ini tak membuat hidupnya menjadi lebih rumit? "Kamu hanya bisa menangis, menangis dan menangis! Kau tahu penderitaan Ibumu ini setelah Ayahmu meninggal ah?!" teriaknya dengan marah. “Aku bahkan sudah tidak mengenalimu lagi, bu.” Setelah itu Elizabeth keluar dari rumahnya. Dia berlari menuju hutan di belakang rumahnya. Di sana dia memiliki satu tempat rahasia yang biasanya menjadi tempat berkeluh kesahnya. Sebuah bukit kecil dengan hamparan rerumputan hijau dan jika musim semi tiba bunga-bunga liar dengan indahnya bermekaran memenuhi sebagian tempat di sana. Elizabeth bertransformasi menjadi sosok serigalanya. Berlari dengan kencang sekencang-kencangnya. Rasanya tubuhnya akan remuk karena sedari tadi dia telah menggunakan tenaganya dengan berlebihan. Napasnya terdengar berat, Elizabeth benar-benar tidak kuat lagi. Bukitnya sudah terlihat jelas dan dia tak boleh menyerah sampai di sini. Saat setelah sampai di bukit tubuh serigala Elizabeth lantas jatuh di hamparan rerumputan. Tubuh serigala Elizabeth itu berbaring dengan tak nyaman hingga akhirnya berubah menjadi tubuh manusia lagi dan setelah itu berbaring terlentang menghadap langit biru yang perlahan menjadi ke orangean. Tangannya terulur ke depan, dia melihat pergelangan tangannya berwarna kebiruan. Luka di sekujur tubuhnya baru terasa sakitnya sekarang. Luka cakaran di pipinya mengering namun masih terasa amat sakit, jika dia bukan manusia serigala mungkin dia tak akan setahan ini setelah mendapat luka yang seperti ini. Namun, jika dia bukan dari keluarga manusia serigala dia tidak mungkin akan mengalami ini bukan? “Ya, seharusnya aku tidak dilahirkan dari keluarga seorang manusia serigala.” Lirihnya pelan sebelum tidur menyamping dan memeluk lututnya. Elizabeth berbaring hingga tertidur, dia tertidur cukup lama di sana hingga bulan berada di puncaknya. Saat matanya terbuka, Elizabeth memandang bulan yang tampak lebih besar dan lebih bersinar. “Bulan purnama.” Ucapnya dengan suara yang lemah. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik dibanding tadi ternyata tidur cukup membantu memulihkan tenaganya namun rasa lapar tak dapat dibendung lagi.   Bergegas Elizabeth pergi dari sana. Sinar bulan yang terang membantunya menyusuri jalan tanpa takut. Bulan berbaik hati memberinya penerangan. Dia ingat di dekat sini ada sungai dan dia sudah terlalu malas untuk pulang ke rumah. Jika pulang ke rumah Elizabeth hanya akan mendapat amarah dari ibunya lagi karena saat malam ibunya akan selalu mabuk-mabukkan dan dia tak bisa membayangkan pukulan seperti apa yang akan dia dapatkan nantinya. Suara gemerisik air terdengar dari kejauhan, Elizabeth semakin mempercepat langkah kakinya menuju ke sumber suara. Sungai bebatuan dengan aliran air yang tidak terlalu jelas akhirnya terlihat, tanpa ragu Elizabeth berlari menuju aliran air yang sangat menggiurkan itu. Kota yang dikelilingi pegunungan dan hutan yang masih sedikit polusinya membuat Elizabeth tak takut meminum air langsung dari sungai. Saat aliran air itu melewati tenggorokannya Elizabeth benar-benar merasakan kelegaan. Matanya memandang pantulan bulan yang tampak di atas aliran air. Dia melempari bayangan bulan itu dengan sebuah batu hingga tercipta riakan air karenanya. “Bukankah kau terlalu kejam memberikan jalan hidup seperti ini padaku?” Jemari kecilnya memainkan aliran air yang terasa sejuk saat menyentuh kulitnya itu. “Moon Goddess kau benar-benar kejam padaku. Sekarang aku ragu apakah kamu benar-benar ada atau hanyalah omong kosong.” ujar Elizabeth dengan suara lemahnya. Semakin hidup terasa menyedihkan bagi Elizabeth terkadang dia sampai berandai-andai tentang semuanya, dan semua angan-angan semu itu benar-benar terasa menyakitkan. Semakin Elizabeth menginginkan kehidupan yang normal, kenyataan yang tidak bisa dirubah membuatnya merasakan perih. Lagi dan lagi air mata itu mengalir, hari ini dia benar-benar sangat menyedihkan. Akankah hari esok akan sama? Atau bahkan lebih buruk lagi? Di tengah kemelut hatinya Elizabeth memutuskan untuk beristirahat lagi di bawah naungan pohon rindang yang tak jauh dari aliran sungai, cukup aman dan nyaman untuk dirinya tidur di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD