Akhir oktober Jakarta di malam hari diguyur hujan. Air hujan yang jatuh seperti air yang ditumpahkan dari baskom begitu saja. Lanna menatap air hujan yang jatuh dari jendela apartemen. Kendaraan masih ramai berlalu lalang di bawah sana. Lampu-lampu kendaraan tampak mengesankan bagi Lanna. Dia suka sekali memperhatikan jalanan ketika hujan. Mendengar suara hujan yang damai tanpa petir dan kilat yang menakut-nakuti.
“Yah, hujan,” Kirana mengeluh kecewa.
Lanna melihat Kirana yang bersiap hendak pergi dengan dress garis-garis di atas lutut. “Mau kemana?”
“Kencan.” Jawab Kirana dengan senyum senang.
“Hujan. Nanti kehujanan, lho.”
“Biarin. Hujan-hujanan berduaan itu romantis tahu.” Kirana memanas-manasi Lanna yang memang jomblo. Lanna putus enam bulan lalu ketika dia memergoki mantan kekasihnya selingkuh dengan SPG berbadan montok. Mereka sedang bermesra-mesraan di kafe berkonsep retro di Bandung. And it’s so hurt... so much.
“Bagas udah nunggu di luar. Aku pergi ya.” Ujar Kirana.
“Siapa Bagas?”
“Gebetan akulah.”
“Oh, baru gebetan.” Kata Lanna datar.
Melihat ekspresi datar Lanna, Kirana tersenyum geli. “Kamu kalau mau makan masak mie aja ya. Kalau masih bisa nahan laper nanti aku bawain makanan.”
“Aku masak mie aja, deh. Enak makan mie malem-malem, hujan lagi.”
“Oke. Dah!”
“Hati-hati.”
Kirana mengangkat jempolnya sebelum lenyap dari balik pintu apartemen.
Lanna memilih membuat kopi instan sebelum kembali fokus menatap jalanan yang diguyur hujan. Setelah selesai membuat kopi, Lanna kembali fokus memandangi jalanan. Lampu-lampu yang menyala membuat Jakarta tampak lebih indah dibandingkan siang hari yang penuh dengan kemacetan dan panas.
Sekilas bayangan wajah pria tampan yang dipeluknya di lift itu muncul. Lanna terkesiap. Dia mengerjap-ngerjapkan mata. Dia belum sempat cerita soal kejadian di lift dengan Kirana. Kirana pasti akan tertawa mendengar cerita konyolnya.
“Kenapa aku pengin ketemu sama pria itu lagi ya?” gumamnya terheran-heran sendiri.
Pria itu memiliki dagu belah dua. Jarang sekali seorang pria memiliki dagu belah dua. Dia menawan, tentu saja, tapi pria semacam itu pasti banyak wanitanya. Sudah lumrah pria selalu memiliki banyak wanita tapi ya tentu saja di hatinya mungkin hanya ada satu. Siapa yang tahu kedalaman hati lelaki.
Lanna menyesap kopinya. Kali ini kenangan menyakitkan soal mantan kekasihnya muncul. Tentang pengkhianatan brutal itu. Pengkhianatan yang jelas ditampilkan Rey. Pria yang sudah menemaninya selama tiga tahun. Masalahnya Rey bukan tipe pria bad boy atau semacamnya. Rey adalah pria yang cerdas dan baik. Tapi entah kenapa pria itu tega mengkhianatinya dengan seorang sales promotion girl bertubuh montok dan berkulit putih. Cantik memang bahkan lebih cantik dari Lanna. Tapi kenapa Rey tidak memutuskannya terlebih dahulu sebelum menjalin hubungan dengan wanita itu. Dia lebih menghargai pria yang memutuskan hubungan terlebih dahulu lalu menjalin hubungan lagi dengan wanita lain dibandingkan harus mengkhianatinya.
“Rey kamu serius kan sama aku?” tanya Lanna saat senja mulai merayap.
“Setiap aku menjalin hubungan aku pasti serius, Lan.” Rey membelai rambut Lanna dan mengecup singkat kepalanya.
Sejak itu, Lanna yakin Rey memang mencintainya. Rey menginginkannya. Rey serius dengannya hingga dia sendiri yang melihat Rey menjemput SPG bernama Rini itu. Rini memang sering ke kampus Lanna untuk menawarkan produknya. Entah produk apa yang jelas target mereka adalah mahasiswa dan dosen.
Tapi sayang semua hanya omong kosong belaka. Rey berkhianat dan Lanna memutuskan untuk berpisah dengan Rey. Itu pilihan terbaik ketika kau tersakiti oleh seorang pria. Dan jangan pernah kembali kepada seseorang yang pernah menorehkan luka di hatimu.
Pada bulan oktober ini genap sudah delapan bulan sejak Lanna memutuskan untuk berpisah dengan Rey. Dia memblokir semua akun media sosial Rey. Dia tidak ingin melihat postingan pria yang pernah dicintainya itu dengan Rini. Dia tidak ingin tahu dan tidak ingin peduli. Biar Rey mendapatkan kebahagiaannya sendiri. Biar Lanna juga mendapatkan kebahagiaannya sendiri.
Jadi sekarang akankah Lanna mendapatkan kebahagiaannya seperti Rey mendapatkan kebahagiaannya bersama Rini?
***
Lanna
Ini adalah hari pertama aku bekerja di kantor besar di lantai 16. Kantor yang didominasi warna cream. Kantor yang sangat adem. Kantor yang—kemungkinan besar aku akan betah di sini. Aku mengenakan kemeja polos warna cokelat muda, rok span abu-abu selutut. Lipstik warna favoritku mauve on. Aku merasa cantik hari ini berkat sapuan blush on pink milik Kirana.
“Eeeeeh, ke sini, Lan.” Kirana menarik tanganku menuju ruangan My Boss. Kirana menatapku sesaat sebelum membiarkan aku masuk ke ruangan bos. Dia menatapku seakan-akan aku ini anak bebek yang akan diberikan Cuma-Cuma pada buaya.
“Kamu jangan gampang sakit hati ya, nikmati aja semuanya.”
Aku mengerutkan kening tidak mengerti.
Kirana mendorongku seraya berkata, “Sana masuk. Semangat!”
Mendadak aku meragu. Kamu jangan gampang sakit hati ya, nikmati aja semuanya. Apa maksudnya?
Aku mengetuk pintu dan suara hangat mempersilakan aku masuk.
Aku membelalak terkejut ketika masuk dan melihat pria tampan yang pernah aku temui di lift. Pria yang lengannya aku peluk erat karena lampu di lift mati. Pria yang tadi malam muncul di benakku. Dan dia adalah... bosku? Oh my God!
“Se-selamat siang, Pak. Eh, pagi, Pak.” Aku tidak tahu kenapa aku segugup ini.
Dia menatapku dari atas hingga bawah hingga atas lagi dan begitu saja terus hingga laut surut. “Kamu yang di lift itu, kan?” tanyanya datar.
“Iya, Pak. Saya mau minta ma’af. Saya phobia kegelapan, Pak.”
Hening sesaat.
“Kamu ruangannya di sana.” dia menunjuk ke kanan dengan dagunya. Ruanganku hanya dipisah pintu kaca dari ruangan bos.
“Sebelum itu, kamu foto kopi file ini.” Dia menunjuk kertas bertumpuk-tumpuk. Sekitar ribuan kertas. What?!
“Mesin fotokopi dekat dengan ruangan HRD.” Dia menatapku dengan ekspresi raja yang memerintah. Menyebalkan sekali mukanya. Dia tampan tapi kalau menatapku dengan tatapan bozzy seperti itu, jadi... pengen aku cekik, deh.
“Sekarang.” Katanya rendah namun tegas sekaligus dingin.
“Baik, Pak.” Aku mengangkat ribuan kertas itu. Berat banget. Ya ampun selesai jam berapa memfotokopi ribuan kertas begini.
“Satu jam kamu harus balik lagi. Masih ada pekerjaan lain selain fotokopi.” Katanya tanpa menatapku.
“Iya, Pak.”
Aku pergi dengan hati bergumam-gumam panjang. Ya ampun, ini baru hari pertama lho aku bekerja tapi sudah diperlakukan seperti ini. Oke, mungkin aku manja. Baiklah aku akan menuruti semua perintah bos itu. Tapi namanya siapa ya?
***
Setelah memfotokopi ribuan kertas dengan waktu lebih dari dua jam. Aku dimarahin si bos. Dia bilang aku tidak bisa mengefisiensi waktu. Aku membuang waktu padahal aku diberi waktu satu jam. Harusnya cukup karena mesin fotokopi ada tiga. Masalahnya yang dua lainnya dipakai oleh karyawan. Tapi aku tidak berani membantah. Aku hanya bisa bilang ma’af dan ma’af. Lalu dia menyuruhku duduk dan membuat dua ratus surat yang ditujukan kepada perusahaan-perusahaan yang meminta bekerja sama. Dan dua ratus surat itu isinya penolakan semua. Angkuh benar nih bos!
Harusnya aku istirahat jam 12 siang tapi karena suratnya belum selesai aku tidak boleh istirahat. Bos hanya memberiku dua sosis sebagai pengganjal perut. Ya Tuhan, kalau tidak dia bisa kan membelikan aku makanan. Dia hanya memberikan dua sosis. Astaga...
Bos yang masih belum kutahu namanya datang. Dia hanya melepas jas hitamnya membuat aku melongo dengan perasaan sedikit takut. Aku takut dia melakukan hal-hal tak terduga. Lalu jas itu dilempar di kursi kosong sebelah kanan mejaku. Dia duduk dengan ekspresi datar.
“Begini, aku butuh bantuanmu.”
“Bantuan apa, Pak?”
“Ada wanita bernama Anita. Dia datang ke sini. Tolong kamu bilang kalau saya tidak ada. Saya akan bersembunyi di ruangan kamu jadi kamu harus keluar dan bersiap-siap menunggu dia.” Katanya. Agaknya Anita ini fans fanatik si bos. Atau mungkin wanita yang semalam ditidurinya dan dia lupa membayar.
“Kamu tunggu di luar sampai dia datang. Bilang saya sedang di luar kota. Oke!”
Aku mengangguk. Bangkit dan menuruti perintahnya. Apakah berbohong juga termasuk pekerjaan seorang sekretaris?
Sesuai dengan arahan bos aku menunggu si Anita ini di luar pintu. Seorang wanita dengan heels 12 senti berjalan mendekat. Dia mengenakan dress ketat warna kuning cerah dan rambut pirang ikalnya digerai. Softlen biru cerah yang besar membuat matanya mencilak seram. Kalau matamu kecil tolonglah jangan mengenakan softlen yang begitu besar.
“Ada David?” tanyanya dengan gaya sok cantik. Dia berkali-kali menyibak rambutnya hingga aku merasa horor dan ingin segera mengakhiri pertemuan dengan wanita ini. Kalau sekali lagi menyibak rambut di depanku, aku akan menjambaknya.
Mungkin David adalah nama bosku. Oke, nama bos adalah David.
“David sedang ke luar kota. Eh, maksudku Pak David.”
“Kamu baru di sini?” tanya wanita berkaki jenjang itu. Ya ampun aku seperti berhadapan dengan tiang listrik.
“Ya.”
Dia menatapku dari bawah hingga atas dengan sebelah alis terangkat. “Kapan David pulang.”
“Emm, saya kurang tahu. Pak David tidak memberitahu saya.”
“Kamu kerja sebagai apa di sini? Sekretaris?”
“Iya.” Jawabku seraya mengangguk.
“Sekretaris yang kemarin keluar? Ya, banyak yang tidak betah bekerja dengan David. Ngomong-ngomong dia nggak akan tertarik sama kamu. Jadi, kamu jangan berharap lebih ya. David itu pacar saya. Oke! Pacar saya.” Wanita itu berbicara dengan memberi penekanan pada setiap patah kata membuat telingaku berdenyut sakit.
“Siapa nama kamu?”
“Lanna.”
“Jadi David kapan pulang?”
“Saya nggak tahu.” Kataku seraya menggeleng.
“Kamu kan sekretarisnya, masa tidak tahu. Gimana sih?” omel wanita itu.
“Bilang ke David saya hamil.” Wanita itu berkata ‘saya hamil’ seakan tidak ada beban apa pun. Seperti bilang pada orang asing bahwa, ‘saya nggak jomblo’.
Aku hanya melongo bodoh mendengar pernyataannya.
“Kalau dia pulang suruh dia mengabari saya. Saya hamil tiga minggu. Tolong beritahu dia saya sedang mengandung janin buah cinta kami.”
Lalu perempuan itu pergi begitu saja.
Hamil?
***