Ayah Dan Kakek, Lebay!

1615 Words
Mentari memandang rumah Hardy dari balik jendela, namun bukan rumah ataupun penghuninya yang ia pikirkan. Mentari sedang sangat kesal dengan ayah serta kakeknya, pikirannya dipenuhi dua orang tersebut. Perempuan itu menarik napas panjang lalu mengembuskannya seolah sedang membuang kekesalannya. “Kenapa mereka suka sekali melarangku?” geramnya. Aish, ia bukan anak kecil yang harus sangat diawasi. Ia sudah berumur sembilan belas tahun, sudah di penghujung usia remajanya. Beberapa bulan lagi ia akan berulang tahun ke dua puluh, usia dimana ia sudah seharusnya diperlakukan layaknya seorang wanita dewasa, bukan gadis remaja belasan tahun seperti sekarang. “Kenapa juga mereka membuatku terlihat bodoh?” Mentari hendak mengacak-acak rambut pendeknya namun yang ia lakukan hanya mengusapnya perlahan. “Tapi untuk apa juga aku malu? … oh, hanya karena Kak Hardy disitu. Bukan berarti aku harus menjaga image kan?” Tapi seharusnya aku menjaga image sebagai perempuan anggun, bukan seperti tadi. Mentari kembali mengembuskan napas berat. *** Hardy tertawa geli saat mengingat Mentari. Perempuan itu lucu dan menggemaskan. Ia menduga, Mentari berusia empat belas atau lima belas tahun. Seandainya Bening selalu bersamanya, mungkin tingkah Bening pun tidak jauh beda. Hanya saja sekarang usia gadis itu sudah sembilan belas tahun, bisa jadi sekarang Bening jauh lebih kalem dan anggun. Hardy tidur telentang di atas ranjang kecilnya. Ia memandang sarang laba-laba sambil mengira-ngira seperti apa rupa Bening sekarang. “Aku yakin kamu sangat cantik, Dek. Pasti sulit menjagamu dari mata laki-laki. Bening, kuharap semua baik-baik saja.” Hardy mengembuskan napas berat, ia merubah posisi tidurnya miring ke kiri. Lima belas tahun lalu, ia pasti sedang memandang Bening jika tidur dengan posisi ini, dulu ia jengkel setengah mati saat harus tidur memandang Bening, tapi sekarang ia sangat merindukan gadis itu. *** Mentari duduk di kursi sambil memandang jalanan, lima bulan ia harus mendekam di rumah tanpa melakukan apapun kecuali ke rumah sakit untuk control tiga bulan lalu dan kemarin saat ia menjemput ayahnya. Mentari sangat bosan sekali, sampai kapan ia harus berada dalam sangkar emas yang dibuat kakek dan ayahnya? Rudi tersenyum saat melihat Mentari yang moodnya sedang buruk. Mudah sekali mengenali perasaan perempuan itu, Mentari seperti sebuah buku terbuka, mudah sekali melihat isi hati melalui ekspresi mukanya. “Kamu kenapa lagi, Tari?” Rudi mendekati Mentari, ia memandang gadis itu dengan senyum yang segera dibalas dengan bibir mengerut. “Aku bosan, Kakek.” Mentari menggesekkan satu kaki ke lantai, melampiaskan kebosanannya. Ia ingin sekali merasakan liburan ke suatu tempat, mungkin pantai atau gunung. Bahkan jika hanya diajak ke pasar minggu pun Mentari mau, asalkan keluar dari tempat yang sangat menjemukan ini. “Ini semua demi kesehatanmu, Tari. Kamu ingat pesan dokter kan?” Rudi mengerti apa yang dirasakan Mentari. Ia pun pasti bosan jika hanya terkurung di rumah seperti ini, tetapi kan Mentari sudah mendapat keleluasaan dengan boleh keluar rumah, meski jaraknya cukup dekat. “Maafkan aku, Kek. Habisnya, aku bosan sekali.” Mentari meletakkan kepalanya di pundak Rudi. Ia mengembuskan napas berat untuk entah ke berapa kalinya. “Ehm, bagaimana jika hari ini kita memancing?” Ide itu tiba-tiba saja tercetus di kepala Rudi. Mentari tersenyum senang, ia menyambut ide luar biasa dari kakeknya. “Tentu saja, Kek. Ayo!” Mentari bangkit, ia menarik kedua tangan kakeknya, memaksa pria itu untuk segera pergi bersamanya. Semangat Mentari menular ke Rudi. Pria itu ikut senang saat melihat senyum kembali menghiasi wajah cucunya. “Kakek harus mengambil alat pancingnya dulu. Kamu bersiap-siaplah!” Rudi meninggalkan Mentari untuk mengambil peralatan mancing yang selalu ia simpan di gudang. Mendengar ide memancing baru saja diucapkan Rudi, Yanto hanya bisa geleng-geleng. Ayahnya terobsesi dengan pancing sampai-sampai Rudi memiliki sebuah tempat pemancingan yang harus dikelolanya. Yanto berpikir ada baiknya Mentari menikmati hari ini dengan memancing. Perempuan itu bisa refreshing di tempat yang menyegarkan namun tidak terlalu bising dan ramai orang. Sampai sekarang, Yanto masih terlalu khawatir jika Mentari berada di tempat yang terlalu ramai. Tiga bulan lalu ia masih ingat, Mentari menjadi demam setelah melakukan perjalanan jauh menuju rumah sakit dan harus menginap di rumah pegawainya selama beberapa hari sebelum kembali ke Solo. “To, jaga cafeku ya!” pesan Rudi. “Baik. Kalian bersenang-senanglah! Bawakan banyak ikan untuk makan malam kita!” pesan Yanto kepada anak perempuannya. “Oke, Ayah.” Mentari menyatukan jempol dan telunjuk membentuk huruf O. Ia semakin tidak sabar untuk segera memancing bersama kakeknya. Hari yang sangat cerah secerah rona wajahnya, semoga hari ini benar-benar memuaskan dahaganya akan sebuah liburan yang menyenangkan. Rudi sudah menyiapkan semua ia perlukan. Joran dan semua koleksi umpan buatan telah ia masukkan ke dalam kotak penyimpanannya. Ia hanya perlu sebuah topi untuk melindungi kepala dari sengatan matahari dan sebuah alas untuk mereka duduk disana. Rudi berpikir sambil memancing pasti seru jika mereka menikmati makan siang bersama. Piknik di dekat sungai bersama cucunya pasti akan menyempurnakan harinya. Yanto membuatkan bekal untuk makan siang mereka yang diletakkan di dalam rantang susun empat serta dua botol minuman yang disimpan di dalam sebuah tas. Tas itu dijinjing Rudi di tangan kanan sementara peralatan memancingnya ada di sebelah kiri. Ia melarang Mentari membantunya, ia pikir berjalan ke sungai saja pasti akan membuat cucunya cukup lelah sekalipun jarak sungai itu tidak terlalu jauh, hanya sekitar lima menit berjalan kaki dari rumah, tapi tetap saja Rudi tidak mau Mentari terlalu memforsir tenaganya. Mentari mengenakan kaos berwarna merah muda serta rok hitam selutut. Perempuan itu memakai topi hitam untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari namun Rudi memiliki ide lain, pria itu membawa payung merah untuk melindungi cucunya dari sengatan matahari. Ia memaksa Bening membawa payungnya, membuat perempuan itu mengerucutkan bibir namun tetap menuruti perintah Rudi. Mentari membuka payungnya, ia menggenggam payung kuat-kuat, melangkah keluar menuju tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya adalah hal yang sangat seru dan ia tidak sabar untuk segera ke tempat itu. Rudi tersenyum sambil mengangguk-angguk, melihat semangat dan keceriaan Mentari adalah kebahagiaan baginya. Mereka berjalan beriringan, namun saat di depan rumah Hardy, Rudi memandang pria itu sedang berada halaman rumahnya. Rudi berpikir pasti akan lebih seru jika membawa anggota pasukan memancing lainnya. Lagipula ini hari minggu, hari dimana sebagian besar orang menikmati liburannya dan ia yakin Hardy juga sedang menikmati liburnya. Ia memandang jam tangan, angkanya menunjuk sepuluh pagi. Ia berpikir Hardy memang seperti kebanyakan orang yang libur di hari minggu. “Hardy, apa kamu tidak ada kerjaan hari ini?” Rudi menyapa tetangganya, membuat pria itu memandang Rudi dan juga Mentari. “Oh, Pak Rudi. Saya…” “Minggu yang indah. Ikutlah mancing bersama kami!” ajak Rudi, tidak memberi Hardy pilihan lain selain menyetujui ajakannya. Hardy diam, hari ini seperti biasanya ia akan mencari Bening ke pelosok Solo. Tetapi melihat Rudi yang terlihat tulus dan melihat Mentari yang sepertinya berharap ia ikut. Ia berpikir tidak ada salahnya ia ikut memancing bersama mereka. Lagipula ia bisa memasak ikan-ikan itu untuk makan siang dan sore. Hardy menunduk untuk menyembunyikan senyumnya, tiba-tiba ia teringat kisah masa lalu dimana ia dan Bening sering sekali mencari ikan di sungai. “Ayolah, Har. Kamu jangan cari dolar terus,” paksa Rudi. Tentu saja itu hanyalah sebuah paksaan yang terdengar seperti rajukan anak-anak. “Baiklah, Pak. Tapi saya tidak punya pancing.” “Aku bawa dua. Kunci rumahmu! Kita berangkat sekarang!” Rudi menggerakkan dagu, mengajak Hardy segera pergi bersamanya. Seperti kerbau dicocok hidungnya, Hardy segera menuruti keinginan Rudi. Membuat Rudi tersenyum penuh kemenangan. Bergaul dengan Hardy dan juga Bening membuatnya merasa sepuluh tahun … tidak, dua puluh tahun lebih muda. Ia ingin terus bersama dua orang itu untuk menyerap jiwa muda mereka, tentu saja bukan bermakna harfiah karena ini bukan dunia fantasy. Berjalan beriringan, Mentari berada di sisi kanan Rudi sementara Hardy berada di sisi kirinya. Rudi menoleh, memandang Mentari yang tiba-tiba membisu, tidak seperti biasanya dimana Mentari suka bercerita banyak hal. Pria itu tersenyum kecil, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang dirasakan Mentari terhadap Hardy … apakah itu cinta? Ah, terlalu dini untuk menyimpulkannya. Suara aliran anak sungai yang menubruk bebatuan, membentuk jeram-jeram mulai terdengar dan semakin lama semakin keras seiring langkah mereka yang semakin mendekat. Spot memancing di sungai ini adalah di sebuah batu yang sangat besar. Spot yang selama ini menjadi favoritnya Rudi. Pria itu menggiring cucunya serta Hardy menuju ke batu besar dengan kerikil-kerikil terhampar bak permadani yang ada di sekitar batu tersebut. Aliran anak sungai cukup deras, namun aliran sungai di depan batu justru tenang dan disitulah terdapat banyak ikan-ikan besar yang siap untuk mereka pancing. Dengan jajaran batu yang seolah membentuk sebuah kolam alami itulah, ikan-ikan lebih suka menyembunyikan diri di ceruk-ceruk bebatuan. Mentari berdiri di tengah batu besar, memandang alam sekitar yang sangat-sangat indah. Jajaran pohon pisang dengan buah pisang yang telah menguning, menggelantung di pohonnya membuatnya ingin memetik dan menikmati buah itu, serta jajaran pohon randu yang meneduhkan. Tempat ini benar-benar tempat yang sangat sempurna. Mentari memandang kakeknya yang sedang mempersiapkan alat pancing bersama Hardy. Bersama pria yang tiba-tiba membuatnya merasa tenang dan merasa terlindungi. Entah mengapa, Mentari merasa … merasa … seperti kembali ke rumah yang sangat nyaman. Kak Hardy Mentari menoleh, entah mengapa ia merasa mendengar suara anak kecil tiba-tiba memenuhi kepalanya. Namun suara itu tidak terlalu jelas, seperti nyata namun terasa seperti bayangan. Apakah itu nyata? Seseorang memanggil nama Hardy dengan sebutan kakak. Apakah tempat ini berhantu? Mentari menggeleng, ia memilih duduk di sebelah kakeknya yang sudah melempar joran ke sungai. Duduk sambil memeluk lututnya, suara-suara memanggil Hardy dengan sebutan kakak membuatnya merasa sedikit pusing, namun sebisa mungkin Mentari menahan rasa itu dan terus memfokuskan pandangannya pada sungai yang jernih. Melihat seekor ikan yang cukup besar mengambang di dekat sebuah batu, Mentari menunjuk ikan tersebut sambil berkata, “Kakek aku mau ikan itu.” Kakak, aku mau ikan itu Terkejut dengan sebuah bayangan yang tiba-tiba hadir dalam pikirannya, Mentari terkejut. Bayangan apa ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD