Bab 2

1048 Words
Seminggu sudah berlalu sejak peristiwa kematian Jane, dan hari ini keluarga baru dapat mengambil jenazahnya dari kepolisian. Tangisan memenuhi sebuah rumah mewah bak istana. Terlihat sanak keluarga menangis atas kepergian Jane. Tidak, tangisan itu tak pernah hilang dari dalam rumah itu walau satu minggu telah berlalu. Keluarga masih saja menangisi kepergian Jane, apalagi saat melihat kondisi jenazah Jane yang mengenaskan. Mereka masih tak dapat memperayai bahwa Jane pergi begitu cepat dalam kondisi yang benar-benar mengenaskan. Polisi pun masih dalam mengungkap motif dan pelaku pembunuhan Jane. Mata Jenie terlihat bengkak karena menangis terus menerus. Dia duduk beberapa meter dari jenazah Jane yang telah di bungkus kain kafan. Matanya nanar melihat tubuh kaku milik kembarannya. “Jenie, ayo mendekat ke tubuh Jane,” ajak salah satu sanak keluarganya, tapi Jenie menolak. Dia masih tak percaya jika Jane meninggalkannya secepat ini. Hidupnya terasa mulai sepi sejak kepergian Jane. Tak ada lagi teman tidur dan teman ngobrolnya di kala sepi. Perlahan air mata Jenie kembali turun membasahi pipi cantiknya. Beberapa sanak saudara memeluk Jenie erat seolah turut merasakan apa yang Jenie rasakan. “Sudahlah Jen, ikhlaskan kepergian Jane,” kata seorang tantenya Jenie. “Kenapa Jane harus ninggalin Jenie, Tante? Apa Jane marah sama Jenie?” “Sssttt... jangan bicara seperti itu Jen.” “Tapi kenapa Jane ninggalin Jenie?” “Sudah Sayang semua takdir.” Jenie memeluk tubuh Tantenya dan membenamkan wajahnya di pelukan sang Tante. Perlahan tubuh kaku Jane di angka dan di masukkan ke dalam keranda untuk di makamkan di sebuah pemakaman keluarga. Jenie dan keluarga serta sanak keluarganya mengiringi jenazah Jane dengan penuh kesedihan dan luka yang mendalam. Tak ada yang tak sedih kehilangan keluarga yang di cintainya. Semua terluka, dan semua bersedih untuk Jane. Langkah kaki Jenie mengiringi keranda yang di dalamnya ada saudara kembarnya. Dia masih saja menangis tak rela kehilangan saudara yang selalu bersamanya sejak masih di dalam kandungannya. *** “Jane...,” teriakan Jenie pecah saat tubuh kaku Jane di masukan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Jenie meronta hampir masuk ke dalam peristirahatan Jane hingga beberapa orang menahan Jenie agar tak melakukan hal itu. “Jane... jangan tinggalkan Jenie,” kata Jenie masih dengan tangisan yang begitu memilukan hati siapa saja yang memdengarnya. Jenie terus dipegangi agar tak melakukan hal yang di luar batas. Namun Jenie terus meronta dan berusaha untuk masuk ke dalam peristirahatan Jane. “Jane... kita selalu sama-sama sejak kita dalam kandungan Mama, sekarang pun kita harus sama-sama Jane,” kata Jenie dengan tangis yang semakin keras memberikan luka yang semakin dalam di hati sanak keluarganya. Tante Tian, adik dari Ibu Sofia memeluk Jenie dengan erat. Membiarkan Jenie menangis di pelukannya dan tak mengizinkan Jenie melihat tubuh Jane yang mulai di tutup dengan tanah merah. “Tante kenapa Jane pergi?” tanya Jenie dalam pelukan Tante Tian. Tak ada yang bisa dikatakan Tante Tian untuk menjawab pertanyaan Jenie karena dia sendiri tak tahu harus menjawab bagaimana. Hanya belaian lembut yang bisa Tante Tian berikan untuk Jenie. Dia mencoba menguatkan Jenie atas semua yang menimpa pada Jane. Kini tubuh indah Jane telah beristirahat di tempat yang seharusnya. Perlahan Tante Tian melepaskan pelukannya pada tubuh Jenie dan membiarkannya melihat gundukan tanah merah yang menyembunyikan saudara kembaranya. Bruk... kaki Jenie melemas hingga tak mampu menopang tubuh proporsional Jenie.  Jenie terduduk tepat di samping pusaran saudara kembarnya dengan air mata yang masih saja terus mengaliri kedua belah pipi putihnya. Berulang kali Jenie mengelus nisan Jane dengan penuh kasih seolah dia sedang mengelus tubub Jane agar Jane tertidur dengan lelap. “Jane tidur yang lelap ya, Jenie akan nemenin Jane di sini,” kata Jenie membuat semua keluarga menangis karena mendengar perkataan Jenie. Jenie menaburkan bunga di atas pusaran Jane. Lengannya dengan halus meratakan semua bunga agar menutupi tanah merah yang menyelimuti tubuh saudara kembarnya. “Jane, kamu suka bunga kan? Jenie selimutin kamu pakai bunga ya. Besok kalau bunganya sudah layu, Jenie bawakan lagi yang banyak buat Jane,” kata Jenie. Kembali tangis semakin dengar mengalir di pipi semua orang. Semuanya memahami bagaimana perasaan Jenie yang selalu bersama-sama dengan Jane. Jenie lahir 5 menit sebelum Jane. Dia sangat memanjakan Jane sehingga selalu menemani Jane kemana pun Jane pergi. Dimana ada Jane, maka di sana ada Jenie. Tapi di malam yang naas itu, Jenie tak dapat menemani Jane pergi dari rumah karena dia sedang ada tugas kuliah yang harus segera di selesaikan. “Jane, maafkan Jenie yang tak menemani Jane di malam itu,” sesal Jenie sambil mengelus nisan Jane. “Jen, kita pulang yuk,” kata Ibu Sofia sambil merengkuh tubuh Jenie dari belakang. “Tidak Ma, Jenie mau nemenin Jane di sini, Jane pasti ketakutan dan kesepian kalau sendirian.” “Jane tak akan ketakutan sayang, Jane sudah tenang.” “Gak Ma, Jenie mau  nemenin Jane seperti biasanya.” “Ayo sayang kita pulang.” “Tapi Jane, Ma.” “Sayang....” “Jenie gak mau pulang tanpa Jane, Ma. Jenie udah jahat sama Jane. Jenie membiarkan Jane pergi sendirian, Ma.” Ibu Sofia merangkul tubuh putrinya dan mencoba menenangkan tangis Jenie. Ibu Sofia sangat memahami perasaan putrinya karena selama ini Jane dan Jenie memang selalu bersama. “Ayo, Sayang, Jane akan menangis jika melihatmu seperti ini,” kata Ibu Sofia. Akhirnya Jenie mau pulang dengan dipapah oleh Ibu Sofia dan Tante Tian. Tapi wajah Jenie selalu menatap ke arah dimana saudara kembarnya kita terbaring dengan tenang. Jenie masih tak dapat mengikhlaskan kepergian Jane. Dia masih tak percaya jika Jane telah pergi untuk selamanya. Keluarga Jane telah menjauh dari kompleks pemakaman saat lima orang pria berpakaian serba hitam mendekati pusaran dimana Jane berada. Salah satu di antara mereka membawa sebuket mawar merah yang sangat indah. Mawar merah itu berjumalah 19, sesuai dengan usia Jane saat ini. Tak lupa dia membawa sebuah kotak kecil yang terbungkus dengan rapi. “Baby, selamat jalan semoga kamu tenang di sana,” kata seorang di antara mereka. “Loe nyesel, Bro?” tanya pria bertatto scorpion. “No... Maaf Baby, kamu terlalu banyak tahu,” kata pria pertama. Setitik air mata jatuh ke pipi pria itu. Dia menangis? Tapi menangis untuk apa? Apakah dia mencintai Jane hingga menangis atas kepergian Jane? Cinta? Jika Cinta tak mungkin dia akan menghilangkan nyawa gadis yang di cintainya. Lalu untuk apa dia menangis atas seseorang yang tak pernah berarti dalam hidupnya?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD