2. Back To Hospital

1625 Words
"Selamat bergabung lagi di rumah sakit ini dokter Ricky." Presdir Liau mengulurkan tangannya pada Ricky. Dengan senang hati Ricky menerima uluran tangan Presdir Liau. Lelaki itu juga senang bisa kembali bekerja lagi di rumah sakit ini. Dia sudah bosan bekerja di salah satu rumah sakit Magelang. Rumah sakit cabang dari rumah sakit ini. "Terima kasih dok, karena dokter sudah menarik saya lagi ke sini." Ricky masih tak menyangka kalau dia benar-benar akan bekerja lagi di sini. "Kenapa? Bukankah di sana menyenangkan? Udaranya sejuk, pemandangannya asri dan gadis desa itu menyenangkan." goda Presdir Liau. "Hahaha... Dokter ini bisa saja, bagaimana pun juga saya lebih suka bekerja di sini." Ricky mengingat zaman-zaman dulu saat dia bekerja di sini. "Ya sudah, sekali lagi selamat bergabung dengan Xim Medika Hospital dokter Alvaricky Hutagalung." Ricky menganggukkan kepalanya, ini yang dia tunggu selama ini. Kembali bekerja di rumah sakit pusat Xim Medika. "Kalau begitu saya permisi dulu, dok." Ricky pamit, dia ke rumah sakit hanya untuk memenuhi janji bertemu dengan Presdir Liau sebelum dia kembali aktif bekerja di rumah sakit ini. Ricky langsung keluar dari ruangan Presdir Liau. Dia sudah ada janji dengan kedua teman baiknya di sebuah kafe dekat rumah sakit. Kebetulan satu temannya yang bernama Arya juga pulang dari tugas membantu korban longsor. Kali ini Ricky memilih mampir ke lantai tiga, melihat sebentar ruang kerjanya. "Apa sudah selesai?" tanya Ricky pada Liora. "Em... Sebentar lagi, dokter tenang saja karena saya akan menata ruangan ini persis seperti dulu." Liora tersenyum pada Ricky. "Baiklah, terima kasih sus." Ricky langsung berlalu dan meninggalkan ruang kerjanya. Dia akan turun ke bawah kemudian langsung ke kafe. "Itu kan yang tadi di lift terus bilang dia suster? Gue kayak pernah lihat tapi lupa namanya." Ricky seolah sedang berpikir keras mengingat siapa suster tadi. "Sus! Yah dia sudah masuk lift." desah Ricky ketika melihat Brenda memasuki lift. Bruk! "Aw..." ringis suster yang tak sengaja tabrakan dengan Ricky. "Maaf-maaf, saya tidak sengaja sus." ujar Ricky. "Dokter Ricky." suster tadi menatap wajah Ricky tak percaya. "Suster Riana, kamu masih kerja di sini?" "Ya masihlah dok, mau kerja di mana kalau tidak di sini." Riana sudah kembali berdiri, mana mungkin dia tidak mengenal Ricky. Dokter yang dulu pernah mendekatinya dan memintanya menjadi kekasih tapi Riana lebih memilih berpacaran dengan Danu, sopir ambulans rumah sakit. "Masih sama sopir ambulans itu?" tanya Ricky langsung ke intinya. "Masih dok, bahkan kami rencana mau menikah dua bulan lagi." ujar Riana dengan senyuman semringah. "Oh begitu... Selamat ya, saya tidak bisa lama-lama karena sudah ada janji dengan dokter Marsel dan dokter Arya." Ricky langsung pergi begitu saja meninggalkan Riana. Ricky tak mau berlama-lama dengan Riana. Lelaki itu memang sudah melupakan perasaannya pada Riana. Tapi melihat body mulus Riana membuatnya tak bisa berpaling dan berpikir jernih. *** Ricky Pov. Telinga gue brisik dari tadi mendengar mereka terus ngomongin gue yang enggak kawin-kawin. Dikira menemukan cewek yang sesuai sama kriteria gue itu gampang apa. Sekalinya ada yang gue suka, mereka enggak balik suka sama gue. Padahal gue ganteng, tajir, profesi dokter, apa pun yang mereka minta gue pasti kasih. Pewaris tunggal dari Bapak Sigit Hutagalung. Gue balik lihat Arya yang membela Marsel. "Itu, dengarkan Marsel juga. Ingat, lo sudah masuk di usia kepala tiga. Semakin tua, cewek juga semakin berpikir buat mau jadi bini lo. Paling yang ada juga janda anak dua. Mau lo tidak merasakan yang namanya perawan? Marsel saja sudah dua kali dapat virgin." Buset, si Arya kalau ngomong frontal juga dia. Enggak sangka gue, tapi benar juga sih apa kata dia. Marsel saja sudah nikah lagi, sama mahasiswi pula. Pasti masih segar banget itu cewek. Ish... Jadi terbayang kalau gue yang jadi Marsel, kagak gue biarkan dia keluar kamar sedetik pun. Gue tidak menghiraukan Marsel yang menimpuk Arya pakai tas kerjanya. Bodo amat, gue lebih baik membayangkan calon bini masa depan gue. Gue merasa mereka berdua semakin berisik. Enggak ingat apa kalau sekarang itu lagi di kafe. Dan di kafe ini banyak orang, bukan cuma mereka berdua. "Berisik kalian! Sudah sono baliklah, gue juga mau balik." ujar gue yang sudah lelah melihat mereka berdua adu mulut. "Ya sudah, gue balik dulu." gue lihat Marsel langsung pergi dari kafe tanpa mau menengok. Arya yang sudah teriak-teriak sampai telinga gue hampir budek. Tanpa mau memedulikan Arya, gue juga langsung cabut begitu saja. Sabodo dia mau teriak-teriak sampai subuh juga gue mah yang penting pulang, tidur sampai besok pagi. Surga dunia memang saat ada waktu libur begini. Seminggu pula sebelum gue balik lagi ke rumah sakit. Ricky Pov End. *** Author Pov. Ricky memasuki mobilnya, dia langsung meninggalkan kafe tempatnya bertemu dengan Marsel dan Arya. Lelaki itu sangat merindukan Jakarta, meski Jakarta terkenal dengan kemacetannya tapi Ricky betah tinggal di kota yang menjadi Ibukota Indonesia. "Marsel tadi bilang suster Brenda." Ricky tadi langsung ingat saat di kafe Marsel bilang suster asistennya yang bernama Brenda menyukainya sejak lama. "Pantesan tadi gue merasa kayak pernah lihat suster tadi. Dia yang dimaksud Marsel bernama Brenda." Ricky tertawa sendiri, dari dulu memang suster itu selalu mencuri pandang kepadanya. Tapi Ricky tidak tahu kalau suster itu menyukainya. Dan Ricky juga tahu kalau namanya Brenda. "Tapi sayang, menurut gue suster tadi kurang cantik. Kurang montok dan kurang berisi, tidak seperti suster Riana." desah Ricky. Mobilnya dia parkirkan di halaman rumahnya. Dia berniat tidur sampai besok pagi, tapi melihat Irene berdiri menyiram tanaman di halaman samping membuatnya tak yakin kalau dia benar-benar bisa tidur dengan tenang. "Cepat sekali kau ke rumah sakit?" Irene melayangkan pertanyaan yang bahkan dia tidak menoleh ke arah Ricky. "Urusannya juga cuma bentar Ma, ngapain lama-lama." ujar Ricky, dia langsung masuk ke dalam rumah. Irene ternyata mengikuti Ricky dari belakang. Wanita itu sudah seperti orang stress memikirkan putra semata wayangnya tak kunjung menikah. "Ricky, dengarkan aku bicara dulu sini." Irene mengikuti Ricky dari belakang, padahal sekarang Ricky sedang menaiki tangga. "Nanti saja Ma, aku capek. Mau istirahat." Ricky tidak mendengarkan permintaan Irene. "Kau ini, ada yang mau aku bicarakan dengan kau. Ini serius, menyangkut masa depan kau." Irene menggeram kesal karena Ricky malah menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Ricky mengambil kunci kamarnya, dia sungguh lelah dan ingin beristirahat. Dia meraba kasurnya, sudah kering ternyata. Pasti ini pekerjaan asisten rumah tangganya yang mengeringkan kasurnya dengan alat pengering khusus karpet dan spring bed. "Hah... Lelahnya." Ricky sudah berhasil menanggalkan kemeja dan celana bahannya. Ricky hanya memakai kaos oblong dan celana boxer belaka. Dia memilih berbaring di atas ranjangnya dan memejamkan mata. "Aish... Kenapa yang datang malah bayangan suster Riana terus sih?" dengus Ricky, dia bangun dari baringannya dan mengacak-acak rambutnya. Ricky mengambil laptop dan mencari koleksi film terlarangnya yang paling baru. Dia akan lebih dulu menonton itu kemudian tidur. *** Irene menyiapkan beberapa foto perempuan yang dikirimkan perusahaan kecil di bidang biro jodoh tadi pagi. Dia akan memperlihatkan foto-foto itu pada Ricky. Irene sudah sangat ingin melihat Ricky menikah dan memberinya cucu. "Nah ada delapan foto, pokoknya bagaimana pun caranya Ricky harus pilih salah satu di antara mereka." Irene kembali ke atas sambil membawa foto-foto tadi. Wanita paruh baya itu akan membuka kamar anaknya dengan kunci cadangan yang dia miliki. Tapi gerakan Irene terhenti saat samar-samar dia seperti mendengar suara aneh dari dalam kamar. Irene tersenyum licik, dia tahu apa yang sedang dilakukan Ricky di dalam kamar. Dengan gerakan pelan Irene mencoba membuka pintu kamar Ricky. Keberuntungan sedang berpihak pada Irene, kebetulan tadi Ricky mencabut kunci kamarnya. Jadi Irene akan mudah memergoki putra semata wayangnya itu sedang berhalu. Cklek!  Irene berhasil membuka pintu kamar Ricky. Wanita itu melihat Ricky duduk bersandar pada sandaran ranjang, dengan posisi tangan kanannya memegang kepemilikannya sambil memainkan dengan gerakan cepat. Di samping kiri Ricky ada laptop yang menampilkan film laknar. Lelaki itu mendesah dan tidak menyadari kalau Irene sudah berhasil membuka pintu kamarnya. "Makanya cepetan kau nikah, biar tidak terlalu sering berhalusinasi." sentak Irene yang sudah berdiri menatap kelakuan Ricky. Ricky kaget, dia langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajahnya merah padam antara malu dan marah. Ricky kelabakan karena ketahuan bermain oleh Irene. Pasti tadi Irene melihat jelas miliknya. "Mama ngapain di sini?!" Ricky gelagapan antara malu dan menahan amarahnya. "Melihat kau mengkhayal, makanya cepat kau kawin dan bikin cucu buat aku." d**a Irene naik turun sendiri, tak habis pikir dengan kelakuan anaknya itu. Ricky membenarkan celananya dengan posisi masih tertutup selimut. Dia juga menutup laptopnya begitu saja. "Mama kalau mau masuk kamar ketok dong, malu kan." dengus Ricky. "Sok-sokan kau malu segala, dulu aku yang selalu memandikan kau. Sudah biasa aku melihat milik kau itu." Irene ikut duduk di atas ranjang. "Ya kan beda Ma, dulu masih kecil. Sekarang kan sudah buluan, sudah bukan porsinya Mama lagi buat lihat." "Tak usah banyak bicara kau, mending sekarang kau pilih mana yang akan kau ajak kencan dan kau jadikan istri." Irene memberikan kedelapan foto yang dia pegang dari tadi pada Ricky. "Ah... Sudah ah, aku tidak minat sama mereka. Mendingan Mama keluar deh. Aku ngantuk Ma, mau tidur." Ricky menarik-narik tangan Irene supaya wanita paruh baya itu mau keluar dari kamarnya. "Halah, kau ini mau tidur atau mau lanjut memainkan itu?" tunjuk Irene ke bagian celana Ricky. "Ya tidurlah Ma, sudah ah... Mama ini ganggu saja." Ricky tak henti-henti mendorong tubuh Irene. "Aku tak mau tahu, pokoknya sebelum aku mati kau harus sudah nikah dan beri aku cucu." ancam Irene. "Nanti aku pesankan Mama tiket pesawat buat balik ke Medan. Besok Mama bisa balik menemani Opung di kampung biar tidak merecoki aku lagi di sini." Ricky berhasil mengeluarkan Irene dari dalam kamar. "Yak...! Anak kurang ajar kau sama Mamak kau sendiri!" teriak Irene dari balik pintu. Kali ini Ricky mengunci pintu kamarnya dan tidak mencabut kuncinya. Lelaki itu mendengus kesal, dia benar-benar malu hari ini karena Irene memergokinya. "Hah... Mimpi apa gue semalam, lagi main-main ketahuan Nyokap. Mana jelas banget lagi tadi, di depan gue." Ricky kembali membaringkan badannya ke atas kasur. "Aish... Aneh kan rasanya kalau tidak tuntas." dengus Ricky. Tangan dokter spesialis mata itu kembali meraba dan membuka celananya. Kali ini dia berharap semoga Irene tidak lagi menghancurkan fantasinya. Ricky juga kembali memutar video di dalam laptopnya. "Ok sayang, kita lanjutkan permainan kita lagi." Ricky kembali berfantasi seperti tadi. Pengalaman pertama baginya bermain-main dengan anggota tubuhnya dan ketahuan sang mama. Malu, tapi mau bagaimana lagi. Tidak mungkin dirinya membunuh ibunya sendiri hanya karena malu ketahuan saat bermain-main. Author Pov End. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD