SETUJU

1251 Words
"Ruma." "Hm?" "Kapan - kapan aku ajak makan mau?" Ruma menatap Asa sekilas. "Maksudnya, Sa?" Asa yakin Ruma sudah paham maksudnya. Hanya saja gadis itu sedang melakukan sebuah sarkasme. "Kita keluar berdua, terus kita makan bareng." Asa menjelaskan keinginannya dengan sabar. "Sa, aku nggak pernah ngelakuin hal seperti itu sebelumnya. Aku ngerasa nggak bisa ngasih keputusan sendiri. Gimana kalau kamu ke rumah, tanya sama Abah." Kedua mata Asa membulat. Woah ... Ruma benar - benar lain dari pada yang lain. Untuk mendapatkan hati gadis ini, diperlukan usaha lebih. Apa pun tentangnya, terasa jauh lebih menantang. Asa suka segala hal yang membutuhkan perjuangan. Karena jika pada akhirnya berhasil, rasanya akan jauh lebih membahagiakan. "Oke, aku bakal bilang sama Abah." Asa segera mengambil keputusan tanpa ragu. Kali ini Ruma yang terkejut. Ia tak menyangka kalau Asa akan setuju begitu saja. "Uhm ... Asa ... sekalipun Abah ngasih izin, kita tetep nggak boleh boncengan berdua. Kan bukan muhrim kata Abah. Apa itu nggak masalah?" Asa berpikir lagi - lagi. Tantangan demi tantangan tak terduga datang silih berganti. Asa terkejut tentu saja. Tapi ia tak boleh membiarkan keterkejutan itu berlarut - larut. Asa harus berpikir cepat dan tepat. Ia tak boleh gagal. "Ruma ... gimana pun hasilnya nanti, yang penting aku akan usaha dulu. Misal berhasil alhamdulillah. Misal belum berhasil, aku bakal usaha lagi. Banyak jalan menuju Ruma, kan?" Asa terkikik, bukan karena candaannya yang lucu. Tapi karena pemuda itu sadar betul akan kegaringan guyonannya. Ruma tersenyum karenanya. "Roma, Sa. Bukan Ruma." "Roma itu tujuan orang lain. Kalau tujuan Asa, ya Ruma." Kedua pipi Ruma memerah untuk ke sekian kalinya ... berkat seorang Asa. *** Syukur lah, rencana Asa untuk mengajak Ruma makan di luar berhasil dengan mulus. Hanya saja ... ada sedikit bonus. Abah, Umi, Haru ... semuanya ikut. Pada akhirnya Asa tetap tak dapat membonceng Ruma. Ia disarankan untuk membonceng Haru oleh Abah. Mana Asa bisa menolak? Kemudian Abah menbonceng Umi dengan motor posnya. Sementara Ruma mengendarai motornya sendiri. Asa sebenarnya bingung mau mengajak mereka semua ke mana. Andai saja ia hanya bersama Ruma, ia bisa merasa leluasa. Duh ... ada Abah, ada Umi. Asa jadi serba salah. Asa akhirnya berhenti di depan sebuah restoran ayam geprek. Semoga saja pilihannya sesuai dengan selera keluarga Ruma. Asa tak mau jika belum - belum ia sudah membuat mereka semua illfeel. "Rumah makan lesehan, tapi bagus banget ya, Mi, tempatnya." Abah menatap ke segala penjuru arah. Dengan komentar singkat itu, sudah cukup untuk sedikit menghalau kegalauan Asa. Semoga saja rasa makanan di sini cocok dengan lidah Abah. "Abah mau pesen apa?" tanya Asa setelah mereka semua duduk, dan menerima buku menu. "Abah jadi bingung. Menunya kok banyak banget." Abah membolak - balik buku menu. "Umi juga jadi bingung ini." Umi ikut - ikutan. Asa pun kembali menggalau. "Dek Haru pengin makan apa?" Asa coba bertanya pada Haru. Bukannya menjawab, Haru malah menatap Ruma di sebelahnya. Ruma sedang konsentrasi membaca tiap menu yang tertera. "Gimana kalau kita pesennya sama semua aja? Ini ada paket ayam tanpa tulang plus sambal bawang plus es teh. Khusus Dek Haru, sambal bawangnya diganti saus madu. Gimana?" "Wah ... ya udah, Abah setuju!" seru Abah segera. "Umi juga setuju aja," sahut Umi. "Dek Haru gimana?" Ruma meminta konfirmasi dari adik satu - satunya. Haru mengangguk sembari tersenyum. Asa pun tersenyum. Senyuman penuh kelegaan. Untung ada Ruma. Ruma memang paling top. Ada sebuah rahasia yang sedang Asa sembunyikan saat ini. Tapi ia tak mau merusak suasana dengan jujur sekarang. "Ya udah, kalo gitu aku pesen dulu." Asa membungkuk hormat sekilas, lalu pergi menuju meja pesanan. *** "Nak Asa, mohon maaf sebelumnya. Bukannya Abah mau introgasi atau apa. Abah cuman mau nanya." Abah berbicara sembari membuat suapan besar dengan tangannya. "Uhuk ... uhuk ...." Asa tersedak sengaknya sambal bawang, ditambah ucapan Abah yang tiba - tiba. Bikin deg - degan. Asa segera menenggak segelas penuh es jeruknya sampai habis. "Tanya apa, Bah?" Abah mengunyah asyik makanannya, sambil sesekali menyeka keringat saking pedasnya. Suasana berubah tegang, bahkan Asa, Ruma, dan Umi sudah berhenti makan sama sekali. Hanya Haru yang masih asyik makan karena belum mengerti. "Begini ...." Abah berdeham setelah menelan makanannya. "Kamu tadi berniat ngajak makan Ruma ... apa alasannya?" Napas Asa tercekat. Aduh ... sebuah serangan mendadak. Asa sudah tahu suatu saat akan mendapat pertanyaan semacam ini. Tapi ... tidak secepat ini juga kali! "S - saya ... saya rasa ... saya suka sama Ruma, Bah." Asa menjawab jujur meski terbata - bata. Abah mengangguk - angguk. Kedua pipi Ruma kembali memerah. Asa sudah mengakui perasaannya. Ruma bahkan tak bisa mempercayainya. "Lalu kamu mau menunjukkan perasaan suka kamu dengan ngajak dia makan berdua aja? Begitu?" tanya Abah lagi. "Uhm ...." Asa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung harus menjawab apa. "Berarti Nak Asa nggak ada bedanya dengan pemuda zaman now pada umumnya," lanjut Abah. "M - maksud Abah?" "Nak Asa tahu, jika ada sepasang laki - laki dan perempuan yang bukan muhrim ataupun mahram, berdua - duaan, akan ada orang ketiga ... yaitu setan." Asa mendengarkan kata - kata Abah dengan baik. Ya, ia sudah pernah dengar tentang hal itu. Tapi ayolah ... Asa hanya ingin mengajak Ruma makan bersama. "Entah itu pacaran ...," lanjut Abah. "Entah itu boncengan, entah itu ngobrol, entah itu cuman sekadar makan." Abah seakan bisa membaca pikiran Asa. Asa menunduk malu. "Lalu ... aku harus gimana, Bah?" "Ya ... kalau Nak Asa benar - benar sayang sama Ruma, serius suka sama Ruma, harus ada sebuah pembuktian." "Maksudnya, Bah?" "Sebuah proses yang dinamakan ijab kabul. Setelah itu, Nak Asa bebas mau melakukan apa saja dengan Ruma. Abah nggak lagi berhak ikut campur." Asa mendelik saking kagetnya. Ya Tuhan ... Asa bahkan masih 20 tahun. "T - tapi, Bah ...." "Kenapa? Kamu masih muda, kamu belum punya kerja, kamu masih kuliah?" Abah mendaftar kemungkinan - kemungkinan pernyataan yang akan Asa ucapkan." "Abah ... aku ... aku belum siap," ucap Asa akhirnya. Abah mengangguk. "Ya sudah, berarti hubungan kamu dan Ruma cukup sampai di sini." Abah mengambil keputusan telak. "Perlu Nak Asa tahu, dosa sekecil apa pun yang dibuat oleh seorang anak gadis, hal itu akan menyeret sang Ayah ke neraka. Abah nggak mau, hanya karena kehadiran kamu, Ruma jadi terlibat dalam banyak dosa. Abah bahkan belum berhasil membuat putri Abah menutup aurat. Sudah kamu tambah beban lagi." Baik Asa ataupun Ruma, dua - duanya menunduk dalam. Sama - sama menyesali perbuatan masing - masing. "Sekarang semua tergantung Nak Asa. Keputusan sepenuhnya di tangan Nak Asa. Jika Nak Asa mundur, Abah akan lanjut mendidik anak Abah sendiri. Jika Nak Asa maju, Abah akan menyerahkan lanjutan tugas untuk membimbing Ruma, pada Nak Asa sepenuhnya." Asa mengepalkan kedua tangan saking bingung dan tegangnya ia saat ini. Ia ingin mundur, tapi di lain sisi juga tak bisa melepaskan Ruma begitu saja. Saat ini benak Asa dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Orang tuanya menaruh harapan besar padanya. Bagaimana reaksi mereka jika tahu Asa akan menikah sekarang? "Nak Asa mau kasih keputusan sekarang, atau Nak Asa perlu waktu untuk berpikir?" Abah menunggu beberapa menit. Tak kunjung ada jawaban dari Asa. "Baik ... Abah rasa Nak Asa perlu waktu. Kalau begitu, sekarang Abah dan semuanya pamit. Terima kasih untuk makan malamnya. Jika Nak Asa sudah ada jawaban, silakan datang ke rumah." Ketika Abah beranjak, Umi, Haru, dan Ruma ikut beranjak. "Abah tunggu!" Asa buru - buru mencegah kepergian mereka. "Ada apa Nak Asa?" "Saya setuju." "Maksudnya setuju?" "Saya setuju untuk menikahi Ruma. Saya akan melanjutkan tugas Abah untuk membimbing Ruma, sebagai seorang suami." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD