NGAWUR

1131 Words
Mata kuliah sudah selesai. Asa pun sudah menghubungi Kang Gojek untuk mengantarnya kembali ke tambal ban untuk mengambil motor. Kang Gojek baru saja memberi tahu bahwa ia sudah sampai. Asa berjalan cepat dari kelas menuju gerbang belakang, tak ingin membuat Kang Gojek terlalu lama menunggu. Karena ia tahu benar, menunggu itu rasanya tak enak. Apalagi menunggu harapan palsu. Saat melewati parkiran, Asa melihat Ruma yang sedang membawa alat praktikum super besar. Ruma berjalan menuju motornya. Oh, rupanya motor Ruma diapit oleh banyak motor lain. Ia terlihat kesulitan. Ingin meletakkan alat praktikumnya dulu, tapi bingung mau ditaruh di mana. Diletakkan di atas motor lain akan berbahaya karena bidangnya tidak datar. Bisa - bisa alat praktikum itu akan jatuh. Untung lah Asa peka. Ia berlari menghampiri Ruma. Ia kasihan pada Kang Gojek yang sudah lama menunggu. Tapi sekarang, menolong Ruma adalah prioritas. Hitung - hitung sebagai balas budi atas kebaikan keluarganya tadi pagi. "Ruma!" seru Asa. Gadis itu segera menoleh. Semburat merah kembali tercipta di kedua pipinya saat melihat kedatangan Asa. "Siniin kuncinya!" pinta Asa. Ruma sudah memegang kunci itu sebenarnya. Namun kedua tangannya juga tengah memeluk alat praktikum. Asa segera mengambil kunci itu dari telapak tangan kanan Ruma. Dengan cekatan Asa sedikit menggeser motor yang ada di kanan kiri motor Ruma. Setelah tersedia cukup ruang untuk Asa, ia segera memasuki ruang itu, dan mulai mengeluarkan motor Ruma. Asa tak ingin menghentikan kebaikannya sampai di situ. Ia ingin menyalakan motor Ruma sekalian. Supaya gadis itu bisa langsung jalan nantinya. Sayang, Asa sudah menekan tombol starter berulang - ulang. Tapi motor Ruma tak kunjung menyala juga. Asa tak mau menyerah. Ia bergegas naik pada motor itu. Asa hendak melakukan kick starter, alias mau nyelah montor kalau dalam bahasa Jawa. Asa berkali - kali menginjak kick starter, namun motor hitam ini tak mau menyala. Bensin motor ini masih banyak, tapi kenapa mesinnya tak mau hidup juga? Asa sampai berkeringat hanya karena ingin menyalakan sebuah motor. "Uhm ... Asa ...," panggil Ruma. Asa tak segera menoleh. Sejujurnya ia malu ... ia merasa payah karena tak bisa membantu Ruma menyalakan motornya. "Asa ...." Ruma memanggil sekali lagi. Asa akhirnya menoleh dengan tampang kelelahan dan penuh sesal. "Iya, Ruma?" "Uhm ... kamu turun dulu." "Tapi ...." "Nggak apa - apa. Kamu turun dulu aja." Asa memutuskan untuk menurut. "Ehm ... minta tolong bawain ini dulu, ya!" Ruma menyerahkan alat praktikumnya pada Asa. Asa segera menerima alat itu. Seketika Asa memekik tertahan. Astaghfirullah, ternyata alat praktikum ini sangat berat. Kedua lengan Asa serasa mau copot saking beratnya. Tapi, bagaimana Ruma bisa kuat sekali membawa benda ini sedari tadi? Mesin motor tiba - tiba berderu halus. Asa mendelik. Masyaa Allah, luar biasa! Ruma bisa menyalakan motornya dalam sekali kick starter! Asa tak percaya apa yang terjadi. Bagaimana Ruma bisa melakukannya? Sementara Asa .... Mau ditaruh mana mukanya? Harga dirinya sebagai lelaki telah hancur lebur tak bersisa. Ruma turun setelah berhasil menyalakan motornya. "Makasih, ya, Sa," ucapnya seraya mengambil kembali alat praktikum dari Asa. Asa merasa sangat lega karena akhirnya benda yang hampir memutuskan lengannya sudah enyah. Sekarang Asa justru salah fokus pada senyuman Ruma. Kali pertama Asa melihat senyum itu. Senyum yang indah. Senyum tulus yang diberikan oleh Ruma atas pertolongan Asa. Asa diam - diam berharap dapat melihat senyum itu lebih sering. Semoga saja. "Ah, lupa!" seru Ruma tiba - tiba. "Sa, boleh minta tolong lagi?" "Minta tolong apa, Ruma?" "Tolong ambilin karet ban aku." "Karet ban?" Asa terlihat bingung. Ia membatin untuk apa Ruma bawa - bawa karet ban ke kampus? Tapi ia belum berani melontarkan pertanyaan itu. "Di mana aku harus ambil?" tanya Asa akhirnya. "Itu." Ruma menggunakan dagunya untuk menunjuk karet ban yang dijepit di bawah setir motor. "Uhm ... buat apa karet bannya?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar juga. Asa tak segera menyerahkan karet ban yang sudah diambilnya. Ingin tahu jawaban Ruma dulu. "Buat nali alat praktikum ini di belakang. Biar nggak jatuh," jawab Ruma. "Jadi kamu mau bawa alat ini naik motor? Sendirian?" Ruma mengangguk. Sedangkan Asa menggeleng. "Nggak ... nggak .... Bahaya! Iya alatnya nggak jatuh karena ditali. Tapi bisa - bisa malah kamu yang jatuh nanti." "Nggak apa - apa. Nggak akan ada yang jatuh. Udah biasa, kok." "Udah biasa gimana? Lagian kenapa alat praktikumnya dibawa, sih? Kenapa nggak ngerjain di kampus aja?" Ruma diam, terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan Asa. Asa merasa telah salah melontarkan pertanyaan sampai - sampai Ruma tak mau menjawab. Asa berusaha untuk mengalihkan pembicaraan supaya tak ada kecanggungan lagi. "Gini aja, deh. Biar aku yang bawain alat praktikumnya." Ruma justru semakin diam kali ini. Ia bahkan tak lagi berani menatap Asa. Asa lagi - lagi menyadari kesalahannya. Harusnya ia berbicara secara lengkap, tidak setengah - setengah, supaya Ruma tidak salah paham. Pasti Ruma mengira bahwa Asa akan membawakan alat praktikumnya, yang mengakibatkan mereka harus berboncengan. Sementara Ruma tak mau melanggar peraturan dari Abah. "O - oh ... aku tadi udah pesen ojek online buat anter aku ambil motor. Karena tambal bannya deket rumah kamu, jadi kita, kan, searah. Aku bawain alat praktikum ini naik gojek. Kamu bawa motor kamu sendiri," jelas Asa akhirnya. Raut Ruma terlihat lega sekarang. "Tapi, Sa, apa ngga ngerepotin?" "Nggak lah, kan searah." "Takutnya kamu buru - buru mau ngapain gitu." Ruma benar. Ia memang sedang buru - buru. Pertama agar tidak diomeli Kang ojol, kedua agar tidak terlambat kerja paruh waktu. Tapi tidak apa - apa. Biar lah Kang ojol mengomel. Biar lah ia terlambat kerja. Yang penting Ruma tidak kesulitan dan aman. "Nggak, kok. Kamu tenang aja," jawab Asa seraya tersenyum. "Makasih, ya, Sa." Keinginan Asa terwujud. Ia baru saja melihat senyuman Ruma sekali lagi. *** Asa tersenyum menatap langit - langit kamar. Ramzi yang sedari tadi mengamatinya semakin dibuat heran. "Sa, udah malem, woy! Tidur!" "Lo kalo mau tidur, ya, tidur aja! Nggak usah ngurusin gue!" Asa kesal karena lamunan indahnya terganggu oleh suara Ramzi yang berisik. "Padahal gue perhatian sama lo. Tapi lo tega jahat sama gue!" Ramzi cemberut maksimal. Ia mengubah haluan berbaringnya membelakangi Asa. "Njir, jijik banget lo pakek sok ngambek segala?" Asa terbahak melihat reaksi Ramzi. "Aku nggak mau ngomong sama kamu. Aku marah sama kamu!" Ramzi sengaja memanja - manjakan gaya bicaranya. Asa semakin tertawa keras, meski sesungguhnya ia merasa mual. Ingin muntah karena sikap Ramzi yang nggilani alias menjijikan. Ramzi berbalik menghadap Asa lagi. "Eh, tapi gue tanya serius. Lo kenapa aneh banget hari ini? Senyam - senyum nggak jelas. Sarap lo, ya?" "Enak aja ngatain gue sarap!" "Lha terus?" Ramzi berpikir keras. "Oh, gue tahu. Lo pasti lagi jatuh cinta, kan?" Ramzi mengakhiri pertanyaan ngawurnya sembari tertawa lepas. Sungguh pertanyaan itu tadi hanya sekadar main - main untuk menggoda Asa. Originally ngawur! NGAWUR! Namun reaksi Asa .... Raut wajahnya menjadi serius. Jatuh cinta? Benar kah ia sedang jatuh cinta? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD