Gara-gara Bola

1244 Words
Hari ini, pelajaran pertama adalah olahraga. Adeeva sebenarnya agak malas, tapi Tata justru sangat antusias. Di lapangan belakang, siswa-siswa baru dari kelas X sudah mulai berkumpul, mengenakan seragam olahraga yang masih terlihat baru. "Gue rasa sekolah ini bakal seru banget," gumam Tata sambil melipat tangan di d**a. Adeeva mengangguk kecil. Sekolah ini mungkin memang akan menjadi tempat baru yang penuh kejutan, pikirnya. Tapi, ia tidak menyangka bahwa hari itu akan menjadi awal dari cerita panjang yang mengubah hidupnya. "Namanya Agam." "Serius? Udah kenalan langsung? Itu namanya?" Adeeva mengangguk kecil sambil tersenyum tipis. Mereka baru saja selesai kelas, berjalan beriringan menuju lapangan untuk pelajaran olahraga. "Gimana? Suka?" tanya Tata dengan mata menyipit curiga. "Lumayan sih. Ganteng." "Ah, lo mah siapa aja pasti dibilang ganteng!" Tata meledek sambil tertawa. Adeeva ikut tertawa kecil. Percakapan mereka terhenti sejenak ketika sekelompok teman sekelas mulai mengobrol heboh di dekat mereka. Salah satu cowok, Zikri, mendengar pembicaraan itu. "Siapa yang ganteng? Gue, ya?" goda Zikri sambil melirik tajam. Kedua alisnya terangkat. Konyol memang. "Ngimpi aja, lo!" balas Tata, langsung memancing tawa teman-teman lain. Di tengah keramaian itu, kelas X2 akhirnya berkumpul di lapangan. Tidak hanya mereka, beberapa kelas lain juga sudah bersiap-siap. Di ujung lapangan, Tata mencolek lengan Adeeva sambil menunjuk dengan heboh. "Deev, liat tuh! Dua cowok baru kelas XI. Gila, cakep banget!" bisik Tata dengan semangat. Adeeva menoleh, matanya tak sengaja bertemu pandang dengan salah satu cowok itu. Cowok berwajah tegas dengan rambut rapi itu hanya menatap sebentar sebelum mengalihkan pandangan. Tapi teman di sebelahnya, yang kelihatan lebih santai dan murah senyum, malah balas menatap Adeeva sambil tersenyum lebar. "Dia senyum! Dia senyum!" Tata langsung heboh, tak menyadari bahwa banyak teman cewek lainnya juga melihat hal itu. Adeeva hanya terkekeh pelan, walau jantungnya mendadak berdegup lebih cepat. Tapi sebelum sempat mencerna perasaan itu lebih jauh, suara peluit guru olahraga menghentikan khayalan mereka. "Dengar ya, pilih satu cabang olahraga yang paling kalian kuasai. Nilai diambil dari yang terbaik," kata guru mereka. "Pak, kalau nggak bisa semuanya gimana?" tanya salah satu siswa iseng. "Berarti nggak usah ikut kelas olahraga!" balas si guru, disambut keluhan protes yang penuh tawa dari para siswa. Lapangan voli di sekolah siang itu dipenuhi sorak sorai dan suara bola yang memantul keras di udara. Langit cerah, matahari bersinar terang, membuat bayangan para pemain terlihat jelas di atas lantai semen yang bercampur pasir halus. Di sekeliling lapangan, beberapa siswa duduk di bangku panjang, bertepuk tangan dan memberikan semangat kepada teman-teman mereka yang sedang bermain. Di sisi lain, pohon-pohon besar menjulang, memberikan naungan teduh di beberapa sudut, sementara daun-daunnya bergoyang lembut diterpa angin. Adeeva berdiri di belakang garis lapangan, mengenakan seragam olahraga yang sedikit kebesaran untuk tubuh kurusnya. Rambutnya yang diikat rapi mulai sedikit berantakan karena ia terus bergerak mengejar bola. Ia tidak terlalu percaya diri, tetapi ia tahu bahwa voli adalah pilihan yang paling aman dibanding cabang olahraga lainnya. Meski belum terbiasa, ia bertekad untuk berkontribusi dalam permainan. Bola pertama datang dari lawan. Bola itu meluncur tinggi di udara, memantul tepat di atas net yang terbentang di tengah lapangan. Mata Adeeva membulat, mencoba mengukur arah datangnya bola. Ia melangkah maju, mengangkat kedua tangannya, lalu dengan sedikit ragu menepuk bola itu menggunakan pergelangan tangannya. Bola berhasil meluncur kembali ke lapangan lawan, meski jalurnya agak melenceng. "Tanganmu bagus, Deev! Terus begitu!" seru Tata dari sampingnya, tomboy multitalenta yang tampak begitu santai menghadapi permainan ini. Tata melompat dan memukul bola yang datang berikutnya dengan mudah, mencetak poin untuk tim mereka. Adeeva hanya bisa terkagum-kagum melihat keluwesan Tata bermain. Ketika giliran Adeeva lagi, ia mencoba lebih berani. Bola kembali datang ke arahnya, kali ini lebih rendah. Ia menundukkan tubuh sedikit, fokus sepenuhnya pada bola itu, lalu mengayunkan kedua tangannya ke atas. Bola melambung, melintasi net, dan jatuh di sudut lapangan lawan. Pukulan itu tidak sempurna, tetapi cukup untuk membuat bola melewati garis batas. "Good job, Deevv!" teriak Tata sambil melayangkan senyum lebar. Namun, ada harga yang harus dibayar. Adeeva melirik tangannya yang mulai memerah. Kulitnya terasa panas dan sedikit berdenyut. Ia mengusap-usap pergelangan tangannya, mencoba mengurangi rasa sakit. Meski begitu, senyumnya tidak pudar. Ada rasa puas dalam dirinya karena berhasil memberikan kontribusi untuk tim, meski hanya sedikit. Di luar lapangan, beberapa siswa lain mengobrol santai sambil menikmati suasana siang itu. Ada yang bersandar di pagar besi yang mengelilingi lapangan, ada pula yang sibuk dengan ponsel mereka. Beberapa guru olahraga berdiri di pinggir lapangan, mengawasi permainan dengan pandangan penuh perhatian. Adeeva kembali ke posisinya, mencoba mengabaikan rasa nyeri di tangannya. Ia tahu ia mungkin tidak akan menjadi pemain terbaik di lapangan ini, tetapi ia merasa bangga karena berani mencoba. Dan di tengah hiruk-pikuk permainan, ia melirik Tata, yang terus memberikan semangat kepadanya, membuatnya merasa bahwa ia tidak sendirian di sini. "Tuh, lo bisa juga, kan," ujar Tata setelah pertandingan selesai. "Lihat nih tangan gue, merah semua!" keluh Adeeva sambil memperlihatkan tangannya. Permainan voli selesai, dan perhatian mereka beralih ke pertandingan sepak bola antar kelas X dan XI yang berlangsung di lapangan sebelah. Adeeva dan Tata ikut menonton dari pinggir lapangan. "Deev, itu yang namanya Athaya, kan?" tanya Tata sambil menunjuk seorang cowok yang sedang menggiring bola dengan lincah. Adeeva mengangguk. "Iya, kayaknya dia." Ia tak terlalu perduli dengan cowok itu. Ya cakep sih. Ia tak akan menampik. Tapi maaf, menurutnya nih, wajahnya kurang bersahabat. Lapangan sepak bola siang itu masih dipenuhi sorakan riuh. Pertandingan antar kelas berlangsung dengan semangat tinggi, dan Athaya, pemain andalan, menjadi pusat perhatian. Langkahnya lincah, dengan kontrol bola yang nyaris sempurna. Beberapa siswi yang menyaksikan di pinggir lapangan mulai ribut memuji setiap gerakannya, memberikan semangat yang hampir terdengar seperti pujian berlebihan. "Dia jago banget!" bisik salah seorang siswi dengan mata berbinar, sementara yang lain mengangguk antusias. Di tengah keramaian itu, Adeeva duduk santai di bangku pinggir lapangan bersama Tata. Mereka asyik mengobrol, membahas sesi voli yang baru saja selesai. Adeeva sesekali mengusap tangannya yang masih terasa perih akibat memukul bola. "Deev, bahu lo masih sakit nggak?" tanya Tata sambil memperhatikan wajah temannya. "Nggak, kok. Udah mendingan. Tapi serius, tadi voli seru banget. Walau tangan gue agak kapok sekarang," jawab Adeeva sambil terkekeh kecil. Namun, tawa mereka terhenti ketika suara sorakan dari lapangan memuncak. Perhatian Tata teralih ke arah Athaya, yang bersiap menendang bola. Adeeva, meskipun tidak sepenuhnya fokus pada pertandingan, ikut melirik ke arah lapangan. Athaya sedang menyiapkan tendangan dengan ekspresi penuh konsentrasi. Tubuhnya tegap, kakinya ditarik ke belakang, dan dalam hitungan detik, bola itu ditendang dengan kekuatan penuh. Bola meluncur cepat, seharusnya mengarah ke gawang. Tetapi, arah bola melenceng tajam. Entah karena perhitungan yang kurang tepat atau gangguan dari pemain lawan, bola itu justru meluncur deras ke pinggir lapangan, tepat ke arah Adeeva dan Tata yang sedang duduk. "Deev, awas!" teriak Tata dengan suara panik. Adeeva, yang semula asyik mengobrol, terkejut saat melihat bola melesat ke arahnya. Mata bulatnya melebar, tetapi semuanya terjadi terlalu cepat. Bola itu menghantam bahunya dengan keras, disertai bunyi *thump!* yang membuat beberapa orang di sekitar mereka terdiam sejenak. Tubuh Adeeva terhuyung ke belakang akibat benturan tersebut. Keseimbangannya goyah, dan sebelum Tata sempat menahan, Adeeva sudah jatuh dari bangku tempatnya duduk. Ia meringis sebentar, mencoba berdiri, tetapi tubuhnya terasa berat. Pandangannya buram, dan detik berikutnya, ia kehilangan kesadaran. Adeeva pingsan di sana, di tengah kekacauan kecil yang tiba-tiba terjadi. Sorakan di lapangan berubah menjadi keheningan canggung, kemudian diiringi bisikan dan suara-suara khawatir dari kerumunan. Beberapa siswa mulai mendekat untuk melihat apa yang terjadi, termasuk Athaya, yang sudah menghentikan langkahnya begitu menyadari kesalahan tendangannya. "Deev! Adeeva!" Tata panik, diikuti teriakan heboh teman-teman lainnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD