2

1178 Words
Pagi gerimis, Qinay menengok ke luar jendela. Dia mengembuskan napas berat melihat langit yang gelap. Rencana bersepedanya gagal total. Padahal bersepeda adalah salah satu cara untuk bisa bertemu Enoach. Akhir-akhir ini dia jadi ingin sering melihat Enoach, walaupun di akhir pekan. Semua gara-gara perasaannya yang berubah jadi cinta. Qinay kesal sendiri dengan perubahan perasaannya sejak Enoach terang-terangan cerita bahwa Enoach menyulai Silvi. Saat itu pula dia merasakan cemburu dan dengan cepat menyadari perasaan tak rela yang berarti cinta. Walau dia terkadang ragu dan sering menampik perasaannya itu agar tak berkelanjutan. "Argh.... kenapa jadi begini, sih? Apa coba yang bikin gue berdebar gini? Emang cakep tapi kan gue udah biasa banget lihat dia. Masa iya sekarang cuma dilihat dia, gue mendadak kayak ayam kena ayan begini jadi salah tingkah," ucap Qinay pada diri sendiri, tangannya sibuk memilin gorden, dan matanya tertuju pada jendela kamar Enoach yang berada di depannya. "Ini gila! Kenapa gue jadi suka? Ck... menyebalkan!" "Suka?" Qinay terperanjat, menoleh ke belakang dan mendapati Enoach berdiri tegap di depannya. Seolah ada badai menggelegar yang membuatnya ketakutan. "Noy, ini nggak seperti yang lo denger kok." "Gue denger lo bilang suka." Rasanya kaki Qinay tak bertulang, dia ingin menenggelamkan diri ke bumi. Takut dan mendadak bibirnya kelu. Merutuki diri sendiri yang punya perasaan lain terhadap sahabatnya. Qinay yang jarang menangis bahkan dia sampai lupa kapan teralhit menangis, saat ini ingin menangis. Teriak sekencang mungkin. Kecewa pada dirinya sendiri yang jatuh hati pada sahabatnya. "Maaf, Noy," ucap Qinay lirih. "Ngapain minta maaf, Nay? Gue kan bukan pacar lo. Gue malah seneng kalau ada yang lo suka. Siapa orangnya?" "Hah?" Qinay mencerna ucapan Enoach cukup lama karena perasaan takut dan kecewanya mengambil alih otaknya. Kemudian barulah dia sadar bahwa Enoach tak tahu siapa yang dia suka. Senyum kelegaan terukir di bibir Qinay. "Ya ampun, Noy. Hampir aja gue jantungan karena kaget. Ngapain lo ke sini?" "Jangan ngeles. Siapa yang lo suka, Nay?" "Gue nggak lagi suka siapa-siapa, kok. Cuma keinget drama Korea semalam. Lo ngapain ke sini?" "Bosen di rumah nggak ada orang. Daddy sama mom udah pergi dari subuh buat reuni." "Tumben lo nggak ikut?" "Gue udah terlanjur punya janji." Hati Qinay bahagia Enoach lebih memilih bersepeda dengannya daripada ikut reuni orang tuanya. Ada kupu-kupu di perutnya yang menggelitik. "Akhirnya siang nanti gue nonton sama Silvi," ucap Enoach seraya duduk di sofa biru di samping Qinay. "Oh, nonton? Jadi?" balas Qinay terbata. Perasaannya tak bisa digambarkan lagi, tapi dia tetap memamerkan senyumnya. Berharap senyum itu menciptakan keikhlasan dan perasaan lebih baik. Cintanya salah, itu kata yang terus dia ucapkan dalam hati. "Akhirnya semalam gue berani ngajak dia." "Nah, gitu dong. Terus ngapain ke sini?" "Lo nanya gue begitu udah tiga kali lho. Emang nggak boleh gue ke sini?" "Bukan gitu. Emang lo nggak mau siap-siap dulu?" "Gue bukan cewek, nggak perlu dandan. Lagian ini masih jam 7. Gue mau numpang sarapan. Yuk, makan." "Duluan deh, gue nyusul." "Ok, duluan ya. Tadi kayaknya enak banget mami lo masak nasi goreng." "Hmm..." Sepeninggal Enoach, Qinay memegang dadanya. Berkali-kali dia mengambil napas panjang dan menengadahkan wajahnya. Mencegah matanya berkaca-kaca. Sebelum turun tangga kembali dia menepuk-nepuk wajahnya agar ekspresinya biasa saja. Tak lupa dia tersenyum lebar saat mendekati meja makan. "Pagi, Mi," seru Qinay, ceria. "Pagi, Sayang. Kok mukanya gitu? Sedih karena ujan?" "Ah, Mami tahu aja. Qinay bete gagal sepedaan." "Itu tandanya disuruh istirahat di rumah, bukan main terus. Lagian ada Noach." "Halah cuma Noach, Mi. Nggak ada Nay, dia juga biasa di sini." "Gue kan nemenin tante, Nay. Mami lo sendirian di rumah lo malah main mulu." "Kan udah ada lo yang jagain mami," balas Qinay yang kini nyengir karena dapat jitakan dari Enoach. "Udah belum berdebatnya, nih? Mami udah laper. Bisa dimulai makannya?" "Maaf, Tante." "Mari makan," seru Qinay, menyendok telor mata sapinya yang masih meleleh. Kegiatan sarapan pagi yang biasa tapi setelah dicermati, mungkin hal ini lah yang membuat hati Qinay berubah. Kebersamaan yang lama menumbuhkan benih bernama cinta yang seharusnya tak ada. Qinay menghentikan suapannya, mengamati Enoach beberapa saat lalu menunduk saat mata Enoach menanyakan 'kenapa?'. Semakin dipikir Qinay jadi bingung, ini cinta atau karena kebiasaan jadi ada rasa-rasa cemburu itu datang. Takut saat orang yang biasanya bersama kemudian memiliki seseorang yang akan menemani setiap saat, dan itu bukan dia. "Lo kenapa?" "Memang kenapa?" tanya balik Qinay, menoleh saat Enoach menyolek lengannya. "Ngelihatin gue mulu." "Jangan kegeeran deh. Tuh mulut belepotan." "Masa?" tanya Enoach lalu  menyeringai. "Noach! Ih, apaan sih? Minggir nggak? Kotor tahu," seru Qinay seraya mendorong wajah Enoach yang berusaha mengelap mulutnya dengan kaos yang Qinay kenakan. "Mih, Noach nih!" Noach tertawa lepas saat berhasil membuat Qinay manyun dan kesal. Menggoda Qinay membuat harinya menyenangkan. Sementara Klara, maminya Qinay hanya menggeleng pelan, sudah biasa melihat kelakuan anaknya dengan Enoach sejak dulu. "Tuh, jadi kotor kan," omel Qinay berusaha tetap memperlihatkan ekpresi kesal walaupun sebenarnya hatinya sedang berdebar dan bibirnya ingin tersenyum lebar. Kaosnya pun sama sekali tak kotor karena sebenarnya bibir Enoach tak belepotan. *** Terlalu peduli terkadang menyakitkan. Seperti yang dialamai Qinay. Bukannya menghindar malah mendekati sumber rasa sakit. Dia sedang membantu Enoach memilih pakaian untuk ngdate pertama kali. Bukan cuma cewek yang bingung saat mau pergi kencan. Enoach juga mengalaminya, dia mau Silvi terkesan pada lencan pertama. "Gue udah ok belum?" "Yup..." balas Qinay, mengacungkan kedua jempolnya. "Untung ada lo. Thank you." "You are welcome." Qinay tersenyum lebar, memakaikan topi pada Enoach yang terlihat sangat tampan dengan kaos putih dibalut jaket baseball berwarna biru. Betapa beruntungnya cewek yang dicintai Enoach. Selain tampan, Enoach jelas sangat baik, ramah, bukan tipe cowok cool yang sok misterius. Tapi Enoach juga bukan playboy yang suka tebar pesona. Qinay mendesah membayangkan sosok Enoach yang super perfect di matanya. "Ok, gue pergi dulu. Doakan sukses!" "Eh, sukses apanya? Lo bukan mau nembak dia kan?" "Bukanlah. Sukses nontonnnya maksudku. Muka lo kenapa shock begitu?" "Ya shock lah, baru ngajak nonton kirain mau nembak." "Ngajak nonton aja dag dig dug. Gue belum siap jantungan, masih muda," balas Enoach, menepuk puncak kepala Qinay. "Ih... suka banget sih nepuk kepalgue. Emang gue adik lo?" "Lo emang adik gue, gue kan lebih tua." Semangat Qinay makin meredup. Bukan sekadar friendzone, kali ini juga kakak adik zone. Hobi cewek memang mendekati rasa sakit. Udah tahu nyakitin masih aja bergaya sok kuat. Seperti Qinay sekarang, dia menyesal tapi juga tak ingin melewatkan. Dia harus tahu perkembangan hubungan Enoach dengan Silvi demi memenuhi hasrat kepo-nya. "Lo nggak mau pergi ke mana gitu?" tanya Enoach, menyambar kunci mobil di atas meja. "Enggak di rumah aja, mau baca." "Nanti pulang gue bawain komik deh." "Seriusan?" "Tapi bayar." "Idih, kirain dibeliin. Katanya kakak tapi gitu sama adiknya." Enoach terbahak, kembali menepuk punvak kepala Qinay. "Bercanda, nanti gue beliin. Sebagai ucapan terima kasih udah bantu gue di kencan pertama dan ngerelain biskuit coklat buatan tante buat kukasih Silvi." "Kalau itu mah komiknya jangan cuma satu." "Tunggu aja abang pulang, Dek. Lo bakal ikut happy," balas Enoach bergaya seperti kakak. Kebodohan lain dari Qinay siang ini, merelakan coklatnya untuk Enoach berikan kepada Silvi. Dia tertawa miris saat kembali ke rumahnya. "Gue memang bodoh," gumam Qinay.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD