4

1329 Words
Qinay mondar-mandi di depan rumah Arzee. Ingin melihat kondisi Arzee tapi juga takut dia bakal diusir seperti dulu. Cukup lama dia mempertimbangkan hingga akhirnya dia memilih putar badan untuk kembali ke rumah. "Lho, Qinay?" "Tante..." sapa Qinay melihat tante Giva -mamanya Arzee baru masuk ke dalam pagar dengan tentengan belanjaan yang cukup banyak. "Tante baru belanja?" "Iya nih, tadi arisan pulangnya mampir swalayan. Kamu baru datang atau sudah mau pulang?" "Mmm..." "Masuk lagi aja yuk, tante beli bakso lho. Kamu kan suka banget bakso." "Tapi--" "Tapi kenapa? Kamu ini nggak pernah main lagi. Masa tante terus yang main ke rumahmu. Ayolah, bakso lho ini? Yakin mau nolak bakso? Qinay nyengir, dia membantu membawakan belanjaan itu masuk ke dalam rumah. Kalau sudah ditawari bakso, dia suka lupa segalanya. "Ngapain lo di sini?" tanya Arzee pada Qinay yang sedang menyiapkan bakso di mangkok. "Ak, aku diajak tante makan bakso. Bukan mau ketemu lo, kok. Jangan geer," balas Qinay lalu mencibirkan bibirnya. Lega waktu tahu Arzee meninggalkannya begitu saja. Dia tak mau bertengkar dengan Arzee sementara ada mamanya Arzee di dekat mereka. "Jangan didengerin omongan Zee, main aja ke sini. Anggap aja Zee nggak ada, oke oke?" "Ok, Tante. Tapi Zee sekarang nyebelin. Padahal niatku kan mau jengukin dia, Tante. Mau minta maaf. Tapi dia gitu sekarang kalau sama aku." "Memang minta maaf kenapa?" "Itu Tan, tadi siang aku ngelempar bola ke kepalanya Zee terus Zee jadi minisan, terus jadi izin pulang sekolah duluan. Maaf ya, Tante?" "Lho, tadi dia bilang pulang cepet karena sekolah ada rapat besar jadi murid dipulangkan cepet." "Zee bilang gitu, Tan?" "Iya. Jadi yang bener yang mana nih?" "Tan, aku ke kamar Zee boleh? Aku mau minta maaf." "Ya, susulin aja sana. Biar baksonya Tante yang bawa ke meja makan." "Makasih, Tan." Dengan langkah mengendap Qinay mendekati kamar Arzee. Sangat pelan dia membuka pintu kamar Arzee yang sedikit terbuka. Dia melihat Arzee yang tengah memetik gitar dengan sesekali bersenandung. Qinay menegakkan badannya bersandar di balik dinding kamar Arzee. Dia senyum-senyum sendiri mendengar suara Arzee dan petikan gitar Arzee. Lalu dia mengintip lagi tapi kali ini Arzee sudah ada di hadapannya. "Ngapain, huh?" Gelagapan, Qinay salah tingkah karena takut sekaligus kaget ketahuan mengintip oleh Arzee. "Anu, itu. Itu baksonya udah siap, iya baksonya udah siap." "Jangan berani-berani masuk kamarku." "Aku tahu, ganti kelamin dulu baru boleh masuk." "Minggir! Ngapain masih di sini?" "Ih.... nyebelin banget sih! Kenapa nggak seklaian aja tadi gegar otak biar amnesia?" gerutu Qinay tak lagi ingin minta maaf, keburu kesal sendiri. Dia meninggalkan Arzee begitu saja. "Habis makan bakso cepet pulang! Males banget aku lihat lo di sini." Qinay menghentikan langkahnya, membalikkan badan kembali mendekati Arzee. Dia sedang emosi tingkat dewa sekarang. Setelah jarak mereka dekat, Qinay berjinjit menghadapkan wajahnya tepat di depan wajah Arzee. "Aku tadinya mau minta maaf. Untung aja nggak jadi. Kalau aku jadi minta maaf aku bakal nyesel seumur hidup. Dasar cowok nggak berperasaan! Sana jadi homo kalau nggak mau sama cewek." "Ah, jangan-jangan lo memang homo. Aku bilangin tante biar lo tahu rasa." "Siapa yang homo?" Suara mama Arzee mengagetkan keduanya. Qinay dan Arzee sama-sama mematung menoleh ke arah mama Arzee. "Kamu homo, Sayang? Mama salah denger kan? Kamu gaul sama siapa sih?" tanya mama Arzee bertubi-tubi mendekati Arzee. "Enggak, Ma. Nay aja yang asal ngomong nggak diatur. Aku normal kok." "Tapi Mama nggak pernah lihat kamu sama cewek, kamu kan udah 17 tahun. Mama aja nggak tahu kamu punya pacar. "Ma, di mana-mana orantua seneng anaknya nggak pacaran. Ini mama malah heboh aku nggak punya pacar." "Itu jaman dulu, sekarang beda. Mama lebih takut anaknya homo daripada punya pacar. Kamu punya pacar mama masih bisa ngontrol. Kamu homo mama bisa stroke mendadak." "Mama berlebihan." "Pokoknya kamu harus punya pacar. Sama Nay aja, jadi mama tenang dan bisa ngontrol kalian." "Ma... jangan aneh-aneh." "Tante...." ucap Qinay melongo speechless. Bagaimana bisa Mama Arzee nyuruh dia pacaran sama Arzee? Bakala perang dunia tiap hari. "Nay, kamu mau kan sama Zee? Dia ganteng, tinggi, anak basket, dia bisa bahasa Jerman sama Inggris. Anak Tante ini recommanded banget buat jadi pacar." Wajah Qinay makin melongo, jelas aja Arzee bisa bahasa Jerma karena papanya Arzee masih ada keturunan sana. Diliriknya Arzee yang sepertinya biasa aja. Tak ada ekspresi kaget atau marah. "Mau kan, Nay?" "Ma, aku bukan barang yang nggak laku. Kalau Nay nggak mau jangan dipaksa." "Nay mau kok. Iya kan, Nay? Kamu tega anak tante satu-satunya jadi homo?" Qinay menelan salivanya. Seperti makan buah simalakama. Menolak tak enak hati, menerima sama artinya membuka pintu peperangan. Pacaran dengan Arzee? Mimpi saja dia tak pernah. Bisa akur sebentar aja udah syukur. "Tan..." "Iya, Nay?" "Itu..." "Apa Nay?" "Dia suka cowok lain, Ma. Nggak usah dipaksa," ucap Arzee. "Siapa? Noach? Gantengan juga anak Tante, Nay." "Bukan, Tan. Bukan. Iya, iya aku mau," jawab Qinay ketakutan, jangan sampai ekspresi wajahnya bisa ditebak oleh Arzee. "Nah, kan, Qinay pasti mau. Tante lega, yaudah ayo kita makan bakso." Lagi-lagi Qinay nyengir seperti biasanya. Dia langsung melihat ke arah lain saat matanya bertemu pandang dengan Arzee yang menatap tajam padanya. *** Niat hati minta maaf malah dapat bakso sekaligus pacar. Qinay mengacak-acak rambutnya frustasi. Sepulang dari rumah Arzee dia mengurung di dalam kamar, duduk dengan tangan tak henti-hentinya mengetuk meja, memikirkan kejadian beberapa saat yang lalu. Mengiyakan berpacaran dengan Arzee. Sedangkan dia mencintai cowok lain. Dia tidak mempermasalahkan hatinya karena dia memang berniat membuang perasaan itu. Yang dia permasalahkan bagaimana dengan Arzee? Apa yang sebenarnya dirasakan cowok tak berperasaan itu? Kenapa diam saja tapi juga tak memperlihatkan ekspresi senang atau menghargai usahanya menutupi kehomoan cowok itu? "Menyebalkan! Dasar cowok nggak berperasaan. Aku nggak akan mengakui dia pacarku. Aku yakin dia juga nggak mengakuiku. Hobinya kan nyuruh aku ganti kelamin," uacp Qinay sendirian. "Ah, sudahlah. Ngapain mikirin dia. Dia aja nggak mikirin aku." Qinay melongok jendela melihat jendela Enoach, senyumnya mengembang mendapati jendela Enoach terbuka. "Noy, Noy. Lo di kamar? Noy..." "Apa Nay?" balas Enoach yang langsung memunculkan kepalanya di balik jendela. "Lo lagi ngapain?" "Ngerjain tugas matematika, kenapa?" "Rajin amat. Itu kan tugas buat minggu depan." "Nggak pa-pa. Weekend besok aku mau jalan lagi sama Silvi jadi kukerjain sekarang." "Oh...." "Eh, lo jadi jengukin Zee nggak?" "Hah?" "Lo jadi jengukin Zee nggak?" "Oh, jadi." "Udah minta maaf?" Qinay menggeleng lesu, bukan karena gagal meminta maaf tapi dia masih memikirkan weekend-nya besok akan sepi. Karena Enoach sudah punya rencana dengan Silvi. "Berantem lagi?" "Enggak, kami malah punya rencana bersepeda bersama." "Benarkah? Aku ikut kalau gitu." "Katanya lo mau pergi dengan Silvi. Pergi sama dia aja." "Kita kan sudah lama nggak bersepeda bertiga. Lo mau bersepeda pagi atau sore?" "Pagi," jawab Qinay cepat. Dia tahu Enoach paling malas bersepeda di pagi hari. "Cocok, aku pergi dengan Silvi sore." "Tumben, biasanya kalau nggak aku paksa nggak mau sepedaan pagi." "Kan ini bertiga. Udah setahun lebih kita nggak main bertiga. Kalau aku nggak sama lo aja ya aku sama Zee aja mainnya. Nggak pernah bertiga lagi." "Iya sih. Tapi...." "Aku line Zee deh. Sekalian mau pinjem stik PS-nya. "Eh nggak usah. Aku aja yang bilang." "Kenapa?" "Ya nggak pa-pa. Biar aku jadi akrab lagi aja sama Zee. Kan bisa buat alasan gitu aku ng-line dia," balas Qinay. Sebenarnya dia hanya takut kebohongannya terbongkar. Kalau sebenarnya dia tak ada janji bersepeda dengan Arzee. Buru-buru dia berlari mengambil ponselnya menghubungi Arzee. Mencari kontak Arzee dan berharapa nomor Arzee tak ganti. Dia bernapas lega saat telponnya tersambung. "Halo, Zee." "Siapa?" "Ck, nomoru gue lo hapus ya? Ini aku Nay." "Ada apa?" "Hih, lembut dikit kenapa. Besok Sabtu pagi sepedaan yuk!" "Aku diem aja tadi bukan berarti aku mau berperan jadi pacar yang mau lo suruh-suruh. Sepedaan aja sendiri." "Aku kan ngajak bukan nyuruh. Negative thinking mulu. Salah terus aku di matamu." "Udah ceramahnya? Aku sibuk." "Ih... Pokoknya besok Sabtu wajib sepedaan. Awas aja nggak mau. Aku bom kamarmu," seru Qinay mulai naik darah. "Cerewet," balas Arzee lalu memutuskan sambungan. "Ishh... malah dimatiin lagi. Aku harus ke rumahnya sebelum Enoach ngobrol sama Zee dan aku ketahuan bohong."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD