•Kesalahan Pertama•

2538 Words
"Satu kesalahan terbodoh yang pernah aku lakukan bersama perempuan yang tidak ingin aku ingat namanya." -Atta Mahesa- __________ "Kak Atta?" Vei benar-benar terkejut saat tahu laki-laki yang berada di sampingnya saat ini adalah Atta. Laki-laki itu jugalah yang telah menghabiskan malam panjang bersamanya tadi malam. Tenggorokan Vei sungguh terasa kering saat ia kembali mengingat kejadian semalam. "Kak Atta tanggung jawab, kan?" "Gak!" jawab Atta membentak. Ya, Atta benar-benar terlihat marah sekarang. Atta marah pada dirinya sendiri. Kenapa ia bisa dengan bodohnya melakukan hal yang akan disesalinya seperti saat ini. Semalam, Atta dikuasai oleh nafsu syahwatnya yang ingin dipuaskan. Dan tadi malam pikirannya seakan ikut sejalan dengan nafsunya. Sampai pada akhirnya ia melakukannya pada Vei. "Kak Atta..." Vei memanggil nama Atta lirih. Namun, Atta tak berniat untuk menoleh padanya. Merasa tak ada respons dari laki-laki itu, Vei pun memegang lengan Atta. "Kakak, bakal tanggung jawab, kan?" Atta menepis secara kasar tangan Vei. "Gak," hanya itu yang dikatakan Atta. Jika ada orang yang mengatakan Atta mempunyai hati sekeras batu maka itu benar adanya. Jika ada orang yang mengatakan Atta mempunyai sikap dingin sedingin es yang berada di kutub utara dan di kutub selatan yang tidak bisa mencair, itu juga benar adanya. Jika ada orang yang mengatakan Atta tidak punya perasaan sama sekali, itu pun benar adanya. Bagaimana bisa Atta mengatakan tidak ingin bertanggung jawab padahal ia sudah melakukan hal yang perlu untuk dipertanggung jawabkan? Vei bukan tipe perempuan yang cengeng, tapi saat ini ia benar-benar tidak bisa menahan air matanya. Air matanya menetes satu per satu dengan derasnya. Nyeri disekujur tubuhnya pun tidak sebanding dengan kenyataan pahit yang dihadapinya saat ini. Atta tetap bergeming. Mungkin sebagian laki-laki akan luruh jika ada perempuan yang sedang menangis dan akan membujuknya agar diam, tidak menangis lagi. Berbeda dengan Atta, laki-laki itu bersikap acuh tak acuh. Tidak mau tahu. "Semua yang terjadi semalam itu kesalahan," kata Atta yang membuat Vei menatapnya penuh harap. "Apa pun yang terjadi sama lo nantinya, gue nggak akan bertanggung jawab." Vei benar-benar tidak mengerti akan semua yang dikatakan Atta. Padahal dirinya sudah melakukan sebuah kesalahan yang perlu untuk dipertanggung jawabkan nantinya, tapi mengapa Atta malah tidak mau bertanggung jawab? Apa Atta menyalahkan Vei atas semua yang terjadi sekarang ini? Jelas sekali bahwa itu semua adalah kesalahan mereka berdua. Atta dan Vei. "Kenapa lo nggak mau tanggung jawab?" "Gue cuma ngelakuin itu satu kali sama lo. Dan itu pun gue secara nggak sadar." Vei masih sedikit sesenggukan, tapi ia berusaha keras meredakan tangisnya sendiri. "Seandainya kalo Kakak ngelakuin itu lebih dari sekali gimana? Apa Kakak bakal tanggung jawab?" Pertanyaan Vei itu membuat Atta diam untuk beberapa saat. "Lakuin lagi, Kak!" Vei meminta setengah berteriak. Ia benar-benar sudah hilang akal saat ini. "Lakuin lagi biar Kakak mau tanggung jawab." "Gak!" hardik Atta. "Gue semalam ngelakuin itu secara nggak sadar." Ya, memang benar semalam Atta mabuk. Dan apa yang dilakukan orang mabuk itu secara tidak sadar. Ia tanpa sadar melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Terlebih ia melakukannya dengan Vei. "Apa kalo lo ngelakuinnya secara sadar, lo bakal tanggung jawab?" ucap Vei dengan suara seraknya. "Gak!" "Lo berengsek, Kak!" bersamaan dengan makian yang Vei lontarkan, ia menampar pipi Atta keras. Sangat keras, hingga terdengar bunyi tamparan yang nyaring. Itu semua tidak cukup untuk menebus kesalahan Atta. "Tampar gue!" Atta malah semakin memajukan wajahnya. Laki-laki itu siap menerima tamparan lagi dari Vei. "Apa pun yang terjadi gue nggak akan tanggung jawab." "b*****t lo!" maki Vei lagi. Baru kali ini Vei marah. Benar-benar marah. Puncak kemarahan Vei sudah di ubun-ubun. Itu artinya, Atta benar-benar sudah keterlaluan. "Cepet pake baju lo!" Atta berdiri lalu menarik tangan Vei secara paksa dan kasar. Perlakuan Atta benar-benar kasar, sampai-sampai tangan Vei yang berkulit putih sedikit memerah karena cengkeramannya. "Anggap semua ini nggak pernah terjadi." Bulir bening tertumpuk di pelupuk mata Vei. Perempuan itu menggigit bagian bawah bibirnya untuk menahan tangisnya. Semua yang terjadi semalam sungguh menyakitkan. Masa depan Vei yang cerah seketika itu juga berubah menjadi gelap. Suram. Vei berusaha keras untuk tidak menangis. Tapi, usahanya itu sia-sia. Air matanya masih luruh membasahi kedua pipi. Hancur. Sungguh hancur. Perasaannya hancur. Masa depannya pun ikut hancur bersamaan dengan berlalunya waktu hari ini. Andai waktu bisa diputar kembali, Vei akan memilih untuk tidak pergi ke kelab yang berakhir dengan hilangnya apa yang sudah ia jaga selama ini. Berbagai pemikiran dan ketakutan muncul dipikiran Vei. ---------- "Sial!!!" tangan kanannya mengacak-acak rambut hitam miliknya. "Kenapa gue bisa sebodoh ini?" "Sial. Bener-bener sial." Atta menganggap apa yang terjadi semalam adalah sebuah kesialan yang tengah menimpa dirinya. Padahal itu jelas bukanlah sebuah kesialan. Itu adalah kesalahan murni yang telah ia perbuat. Setiap manusia di dunia ini pasti pernah melakukan yang namanya sebuah kesalahan. Dan itu lumrah adanya. "Bang Atta, gue berangkat bareng lo, ya." pintanya. "Gak!" jawab Atta ketus. "Ish," Livi mencebikkan bibirnya. "Biasa aja kali, Bang." Livi tahu kakak laki-lakinya itu selalu seperti ini. Tidak mau diajak berangkat sekolah bersama. Meskipun tahu bahwa Atta akan menolak ajakannya itu, tapi Livi tidak pernah bosan untuk mengajaknya berangkat bersama. Selesai mengikat tali sepatunya, Livi membenarkan letak lilitan tas ransel miliknya. Lalu ia berbalik menghadap Atta lagi. "Apa?" "Gue kemaren lihat Kak Vivi sama---" Livi langsung menghentikan perkataannya itu saat dilihatnya ekspresi wajah Atta berubah. Ekspresi wajah Atta saat ini sedang marah dan kesal. "Nggak jadi deh." Cepat-cepat Livi keluar dari rumahnya dan meninggalkan Atta. "Seharusnya gue ngelakuin itu sama Vivi, bukan sama cewek sialan itu." ---------- Sudah dua hari ini Vei tidak masuk sekolah dan tidak ada keterangan. Vei seperti menghilang. Itu membuat Livi dan Rahma merasa khawatir. Dua sahabatnya itu takut Vei akan melakukan hal yang berbahaya bagi dirinya. Seperti waktu itu, Vei pernah mencoba bunuh diri saat ia tahu kedua orang tuanya telah meninggalkan dirinya di dunia ini. "Gimana udah ada kabar?" Livi menggeleng. "Belum. Tuh, anak kenapa lagi sih?" "Coba lo tanya Kak Feri... mungkin dia tau keberadaan Vei." Rahma membulatkan matanya saat sosok yang sedang ingin ia tanyakan bagaimana keadaan Vei itu berjalan mendekati meja mereka berdua. "Tuh, Kak Feri..." Livi menunjuk Feri. "Lo tahu nggak?" "Nggak," jawab Livi cepat. "Kak Feri sama Vei itu kayak lo sama El." "Ya ampun... kenapa lo bawa-bawa si El lagi sih?" Rahma terkekeh. "Habisnya lo serasi banget. Kan gue jadi iri." "Boleh gue duduk?" pertanyaan itu membuat Livi dan Rahma menghentikan percakapan mereka berdua dan terfokus pada sosok laki-laki yang sudah ada di depannya sekarang. Livi dan Rahma lalu mengangguk, memperbolehkan. "Gue mau tanya sesuatu... ini tentang..." "Tentang Vei kan, Kak?" Feri mengangguk, membenarkan. "Udah dua hari ini gue nggak lihat dia keluar dari kamarnya," "Maksud Kakak?" "Gue tahu dia ada di dalam kamarnya. Dia lagi ngurung dirinya sendiri," Livi dan Rahma saling berpandangan. "Maksud Kakak apa sih? Kita nggak ngerti?" "Kayaknya dia lagi ada masalah," "Masalah apa?" "Gue juga nggak ngerti," Feri memijit pelipisnya sebentar. "Nggak biasanya dia kek gini..." "Terakhir kali kita ketemu, dia baik-baik aja kok." "Lebih baik sepulang sekolah nanti lo berdua mampir ke kosannya." "Pasti. Nanti gue bakal mampir ke sana." Rasa khawatir Livi dan Rahma terhadap Vei semakin menjadi saat tahu bahwa sahabatnya itu mengurung diri. Perihal apa yang sampai membuat ia melakukan hal seperti itu belum diketahui secara pasti. Apakah karena ia merindukan kedua orang tuanya lagi seperti waktu itu? Atau karena hal lain? Livi dan Rahma berharap waktu cepat berlalu agar mereka berdua bisa cepat melihat keadaan Vei yang sebenarnya. ---------- "Nggak usah ngikutin gue lagi!" "Lo mau ke mana?" "Mau lihat keadaannya Vei," Livi menatap tajam pada dua bola mata El. "Awas aja sampai lo ngikutin gue!" "Lo bawa hape, kan?" Livi mengangkat ponselnya ke atas, menunjukkannya pada El. "Kalo ada apa-apa lo langsung hubungi gue. Lo bisa kirim---- aww..." El merintih kesakitan. "Rewel banget sih!?" "Sakit, Liv." El memegangi pipi kirinya yang baru saja dihadiahi cubitan kecil oleh Livi. "Makanya jangan rewel... ya udah gue pergi dulu." "Inget jangan lupa hubungi gue, ya!" teriak El, karena Livi yang langsung berlari meninggalkannya. Jarak antara indekos Vei dengan sekolah memang tidak terlalu jauh. Itu membuat Livi, Rahma, dan Feri cepat sampai pada tempat yang mereka tuju. Feri mengetuk pintu kamar Vei berulang kali, tapi tak ada respons. "Kak Feri, yakin dia ada di dalam?" "Gue yakin," "Kali aja dia balik ke rumah Tante Tia lagi." Kata Livi. "Nggak mungkin Vei balik ke rumah Tante Tia lagi setelah kejadian itu." Livi mengangguk. "Iya juga sih." Kini Rahma yang ganti mengetuk pintu kamar Vei sembari memanggil namanya. "Vei... buka pintunya..." "Vei... main, yuk!" "Veira..." "Vei!!!" "Veira..." "Vei..." "Veira..." Livi, Rahma, dan Feri merasa putus asa. Sudah hampir setengah jam mereka berdua mengetuk pintu kamar Vei berulang-ulang kali. Namun, tetap saja tidak ada respons. "Mungkin dia lagi keluar." "Nggak mungkin! Gue tau dia ada di dalam. Gue yakin itu kar---" "Kak Feri, yakin? Tapi, buktinya nggak ada respons, kan?" "Mending Kakak dobrak pintunya." Usul Rahma. Feri langsung bersiap akan mendobrak pintu kamar Vei. Tepat sebelum Feri melakukan itu, pintu kamar Vei perlahan terbuka. "Vei..." panggil mereka bertiga hampir secara bersamaan tatkala melihat Vei membuka pintu kamarnya. Keadaan Vei terlihat tidak baik-baik saja. Malah terkesan sangat berantakan. Iya, berantakan. Rambut cokelat panjangnya yang biasa tergerai lembut dan rapi, sekarang berubah menjadi rambut yang kusut dan acak-acakan. Tak beraturan. Bola matanya yang memancarkan tatapan keceriaan itu berubah menjadi tatapan sayu nan sendu. Bibir mungil yang biasanya berwarna merah merekah kini berubah menjadi pucat. Vei berubah. Satu hal yang Livi, Rahma, dan Feri tahu saat ini bahwa ada sesuatu yang terjadi pada perempuan itu. Livi mengguncangkan tubuh Vei. "Lo kenapa, Vei?" Mulut Vei diam membisu. Rasanya sangat sulit untuk melontarkan kata-kata. Rasanya sulit untuk menceritakan apa yang telah terjadi dan menimpa hidupnya. Hanya air mata yang jatuh menetes tanpa henti di pipi Vei. "Ssstt... udah jangan nangis lagi." Rahma mencoba menenangkan Vei. Livi pun ikut menepuk-nepuk pundak Vei. Tangis Vei semakin menjadi. Ia tidak bisa menahan semuanya lagi. Terlalu berat rasanya jika ia tidak menceritakannya pada orang lain. Setidaknya harus ada yang bisa memahaminya. Memberinya setitik harapan untuk menjalani hidupnya kembali. Rahma dan Livi menggiring Vei masuk ke dalam kamar indekosnya yang terbilang sempit. Dengan memberi isyarat lewat matanya, Rahma memberitahukan pada Feri untuk meninggalkan mereka bertiga dalam kamar itu. Setelah pintu kamar ditutup rapat oleh Feri dari luar, barulah Vei buka suara pada dua sahabatnya itu. "Gue... gue... gue ngelakuin kesalahan terbesar di hidup gue," ucap Vei diselingi dengan tangisnya. "Lo kenapa, Vei?" "Gue... takut..." "Lo nggak usah takut. Ada kita berdua di sini." "Gue... takut... hamil..." Vei bersusah payah untuk mengatakan tiga kata itu. Bola mata Livi dan Rama terbelalak. "Maksud lo apa sih?" "Gue takut hamil," "Sebenernya apa yang terjadi sama elo, Vei?" "Gue takut hamil," Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Vei. "Cerita sama kita berdua apa yang ngebuat elo berpikiran kek gini?" "Gue takut hamil," "Cerita, Vei! Apa yang sebenarnya terjadi?" "Gue bego! Bener-bener bego!!!" Vei memukul-mukul dirinya sendiri menggunakan kedua tangannya. "Vei, stop!!!!" Livi dan Rahma mencoba menghentikan Vei. Tangis Vei semakin kencang. Tangisan itu seakan meminta sebuah pertanggung jawaban. Namun, ia sadar jika tidak ada yang mau bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Dan juga perempuan itu sadar, jika semua yang telah terjadi pada dirinya adalah murni sebuah kesalahan yang akan disesalinya sampai saat ini. "Gue kotor... gue udah nggak suci... gue hina..." "Kok bisa sih, Vei? Kok bisa?" tanya Livi. Livi benar-benar tidak mengerti apa yang sudah terjadi pada sahabatnya itu. "Gue ngelakuin itu..." Rasanya Vei belum siap untuk menceritakan semuanya pada dua sahabatnya itu. Terlebih lagi yang melakukan hal itu padanya adalah kakak dari sahabatnya. Apakah ia sanggup? "Udah... nggak usah cerita ke kita berdua kalo lo belum siap." ---------- Tuhan itu Maha pemaaf. Maha segala-galanya. Setidaknya itu yang Vei tahu. Vei tahu, jika ia meminta maaf dengan bersungguh-sungguh, sebesar apa pun dosa yang telah ia perbuat, Tuhan akan memaafkannya. Tuhan Maha pemaaf. Di waktu sepertiga malam ini, Vei berdo'a, bersimpuh memohon ampun. Vei menyadari dirinya sekarang kotor, tapi ia yakin Tuhan lebih tahu apa yang membuatnya kehilangan kehormatan yang telah ia jaga selama ini. Tuhan, jika masih ku diberi kesempatan di dunia ini, aku mohon setidaknya ampunilah dosa yang telah aku perbuat. Itulah sepenggal do'a yang terucap dalam diamnya Vei malam ini. Satu hal yang Vei tahu di dunia ini, semenyakitkan apa pun hal yang terjadi dalam hidup ini, jika masih diberi kesempatan untuk hidup, itu artinya ia harus tetap hidup. Vei selalu berpikiran untuk mencoba bunuh diri, melenyapkan dirinya sendiri agar ia tidak merasakan sakit seperti sekarang. Namun, Vei sadar jika bunuh diri tidak dapat membunuh rasa sakitnya. Rasa sakit yang ia rasakan akibat dari sebuah kesalahan yang tanpa sengaja dilakukannya itu akan tetap terasa, meskipun Vei mencoba membunuhnya berkali-kali. Karena pada dasarnya rasa sakit itu membutuhkan penyembuh. Penawar. Bukan malah sebaliknya. Vei meyakini sepenuh hati bahwa suatu saat nanti akan ada masanya ia akan tersenyum bahagia, ia akan menemukan penawar lukanya. Lalu ia bisa menjalani kehidupannya seperti sedia kala. Perempuan itu tidak mau terlalu larut dalam kesedihan yang nantinya malah akan semakin menghancurkannya. Hari ini, Vei memutuskan untuk menjalani hari-harinya seperti biasa, mencoba melupakan apa yang pernah terjadi malam itu. Walaupun itu sulit, tapi setidaknya Vei harus mencoba melakukannya. Diawali dengan lari pagi mengelilingi kompleks indekosnya, ia mulai menebarkan senyum manisnya. Namun, kali ini senyum itu berbeda. Senyum itu palsu. Karena kenyatannya, Vei tidak pernah benar-benar tersenyum saat ini. Perempuan itu masih merasakan sakit di hatinya, sesak di dadanya, pilu disetiap sela ucapannya. "Vei... lo udah sembuh?" suara khas milik Feri mulai terdengar lewat indra pendengaran Vei, membuatnya menoleh pada pemilik suara itu. "Eh, Kak Feri," jawab Vei. "Emang kapan gue sakit?" "Kan lo lagi sakit... gue tahu lo lagi ada masalah..." "Kalo masalah mah gue selalu ada. Masalah itu selalu menghantui setiap manusia di bumi ini." Feri terkekeh, tangan kanannya terjulur mengacak rambut bagian depan Vei. "Udah bisa kasih kata-kata bijak sekarang." "Kakak habis ini mau lanjut ke mana? Kuliahkah? Atau mau ngikutin jejak orang tua Kak Feri?" Feri tampak berpikir sejenak. "Antara mau kuliah sama daftar akmil sih," laki-laki itu menggaruk tengkuk lehernya. "Rada bingung sih." "Pasti lo lagi bingung... antara nurutin kemauan orang tua atau nurutin kemauan elo sendiri." "Gue pengin sih banggain ortu, ngewujudin cita-citanya. Tapi, di sisi lain gue juga pengin milih jalan hidup gue sendiri." "Lo bingung mau milih yang mana? Kalo lo bingung," Vei menunjuk ke dadanya. "Ikutin apa kata hati elo. Di situ lo pasti bakal nemu jawabannya." Feri menahan tawa di kedua pipinya. Ia tidak menyangka Vei sekarang sudah tumbuh dewasa seperti sekarang ini. Perempuan itu mencebikkan bibirnya kesal saat dilihatnya Feri menahan tawanya. Ia tahu laki-laki itu sekarang sedang menertawainya. "Dikasih tau malah senyum-senyum nggak jelas." "Iya deh iya... gue bakal nurutin apa kata hati gue." "Serah lo!" Vei berjalan cepat mendahului Feri. Dengan langkah panjangnya laki-laki itu menyusul Vei dari belakang. "Jangan ngambek, Vei!" teriak Feri dari belakang, masih mencoba menyejajarkan langkah kakinya dengan perempuan itu. "Vei, gue mau ngomong sesuatu..." perkataan Feri itu membuat Vei menghentikan langkah kakinya lalu berbalik. Kini mereka berdua saling berhadapan. "Apa?" "Gue mau nagih janji lo sama gue," Vei mengerutkan keningnya, bingung. Menurut perempuan itu, ia tidak pernah memberi janji apa pun pada Feri. "Janji? Janji apa?" "Janji kalo lo mau nyanyi waktu ulang tahun gue," Lupa akan sesuatu hal yang sebelumnya pernah ia janjikan. Vei benar-benar lupa akan janji itu. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD