Bab. 10

1456 Words
Cukup lama Ben menenangkan Natalie, wanita itu sangat menikmati kebaikan Ben malam ini. Ia sudah berhenti menangis sejak tadi tapi masih tetap menenggelamkan wajahnya di d**a Ben. Natalie memang sulit ditebak, emosinya berubah-ubah. Ia terlalu mudah memercayai seseorang hingga kadang sering dimanfaatkan. Bukan kali ini saja ia gagal dalam jalani pernikahan dengan laki-laki Asing, sebelumnya Natalie sempat dinikahi pria kaya asal Amerika yang akhirnya meninggalkan Natalie dengan alasan Natalie tidak memberinya seorang anak. Pernikahan yang baru seumur jagung itu berakhir kandas. Tidak butuh waktu lama akhirnya ia menikah kembali untuk kedua kalinya. Kenyataan pahit, ia kembali dicampakkan. Entah apa yang salah, wanita itu benar-benar frustasi dalam hal asmara. Selera Natalie cukup tinggi, ia menginginkan laki-laki bule kaya raya. Ben pernah mengingatkan bahwa pria lokal tidak buruk bila wanita itu mau. Banyak pengusaha sukses yang menginginkan Natalie, wanita itu cantik dan menarik, sudah pasti tidak terlalu memalukan bila ia bersanding dengan orang-orang kaya lokal. “Natalie,” panggil Ben, “Are you okey?” Kepala Natalie terangkat. Ia menjauhkan tubuh dari d**a Ben dan tersenyum kecil. “Im okey, don’t worry. Thanks, sudah meminjamkan dadanya untukku.” “Berjanjilah untuk jadi wanita yang kuat. Yang mencintai diri sendiri.” Ben mencoba memberi semangat. Dilihatnya kedua mata cantik di hadapannya berkaca-kaca. “O, ya, saya harus mencari Noel sekarang.” “Aku temani, ya. Mungkin agak sulit menemukannya kurasa. Noel mungkin sedang bersama dengan d para gadis itu.” Tawa Natalie terdengar sumbang, Ben tak yakin perasaannya sudah membaik. “Oke.” Ben beranjak, ia mulai menyibak orang-orang yang sibuk berjoget. Perut Ben terasa mual saat melewati orang-orang itu, bau keringat bercampur aroma parfum berbaur menciptakan aroma tak sedap. Ben melangkah cepat-cepat menaiki tangga menuju lantai atas. Bangunan club ini agak rumit dimengerti. Seperti sebuah bangunan rahasia. Memiliki banyak ruang dan lorong-lorong gelap, kecuali ruang utama tempat para pengunjung berpesta ria. “Tempat yang payah!” rutuk Ben, “Bagaimana bisa Noel sangat betah di tempat tak sehat seperti ini.” “Ini tempat terbaik di banding club lain yang pernah aku kunjungi. Di sini tidak ada CCTV keamanan. Ini tempat paling bebas dan menyenangkan. Noel mengatakan itu padaku kemarin malam.” Suara Natalie terdengar membuntuti Ben. Ben menoleh sebentar, melihat Natalie berjalan tersaruk mengikuti langkah cepatnya. Heels yang ia gunakan seperti tidak nyaman digunakan. “Kalau begitu, seleranya payah.” Natalie tergelak. Tidak hanya Noel, dia pun tak kalah payahnya dengan sahabat Ben itu. Natalie membawa Ben ke lantai tiga. Di lantai itu memiliki banyak lorong-lorong kecil yang di sisi kiri-kanan terdapat pintu-pintu kamar yang rapat. Natalie menunjukkan Noel bisa saja bepetualang di salah satu kamar. Tangan Natalie meraih pergelangan tangan Ben, menuntun pria itu menuju ke salah satu kamar. Hal paling menyenangkan memang tak harus ada aturan di club ini. Orang-orang bisa menggunakan fasilitas sebebas-bebasnya dengan catatan tidak merusak bangunan atau melakukan tindakan kekerasan. Happy Night memang diperuntukkan untuk mereka yang senang bersenang-senang. “Ini kamar kosong, untuk apa kita ke sini?” Ben mengerutkan dahinya, melihat ke seluruh ruangan yang mirip dengan kamar inap. Ia merasa ada yang tidak beres dengan sikap Natalie. Benar saja, Natalie berhasil menarik tubuh Ben masuk ke kamar, dan menutup pintunya rapat-rapat. Bibirnya menyeringai, ia seperti wanita haus akan belaian. “Kiss me, please,” desah Natalie, menempelkan tubuhnya ke tubuh Ben yang bersandar di dinding. Wanita itu sedikit menekan dan menempelkan bibirnya ke bibir Ben lalu turun mengecup leher. Tubuh Ben merinding dibuatnya. Natalie sudah tidak waras. Wanita itu seperti ular yang siap menggelung dan menelannya hidup-hidup. “Berentilah, Natalie. Kau sudah menjebak saya!” Ben masih di posisinya. Sedang wanita di depannya sudah beberapa kali mendesah karena gairah tak tertahan. Ben segera mendorong tubuh Natalie kasar hingga kaki jenjang wanita itu mundur beberapa langkah. Ia menatap Ben penuh kebencian. “Sadarlah, kau tidak tahu sedang menggoda siapa? Saya bisa saja menghabisimu bila saya mau, Natalie. Saya tidak tertarik b******a saat ini. Lakukanlah pada laki-laki lain bila kau sudah tak tahan.” Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ben, tangan Natalie gemetar dan terasa panas. “Tega kau bilang begitu, Ben! Aku mau melakukannya karena aku mencintaimu. Kau memang tak punya perasaan, Ben!” Natalie mulai terisak. Ia merasa malu karena Ben sudah menolak. Ben menjambak rambutnya kuat-kuat, wanita memang biang masalah. Rahang Ben mengeras dan pipinya terasa panas. “Jangan menangis seolah sayalah yang bersalah. Selamat tinggal Natalie. Perlu kau ingat, saya tidak mencintaimu.” Tanpa banyak kata, Ben segera meninggalkan ruangan payah itu. Ia tak ingin gegabah dalam melakukan sesuatu. Ben hampir saja terjerat rayuan Natalie, tapi Ben sadar, banyak musuh yang menggunakan wanita sebagai umpan. Bukan Ben tidak tahu, beberapa musuh Ben mengenal Natalie dan sering menyewa wanita itu sebagai jebakan. Hanya saja di hadapan Natalie Ben berlagak bodoh dan tak tahu apa-apa. *** Ben baru saja keluar bar, ponsel di saku jaketnya bergetar. Tak perlu menunggu untuk menerima panggilan Sam, Ben sudah menebak ada sesuatu tidak beres. “Ben, sebaiknya lo cepet pulang. Markas ada yang bakar.” Sam menginformasikan. “Sial! Dari mana kau tahu?” tanya Ben gusar. Terdengar Sam berdecak kesal. “Ben, apa itu penting?” “Ya, cukup penting.” Sam tidak menjawab, ia terpaksa mematikan ponsel setelah mengatakan agar Ben cepat pulang jika tak ingin barang-barang pentingnya ikut hangus. “Ada masalah?” Tiba-tiba Noel muncul. Ia menatap Ben serius. “Dari mana saja kau? Saya hampir mati dicekik Natalie.” Noel tergelak. “Hanya laki-laki bodoh yang menolak pesona seorang Natalie. Wanita itu meraung saat kau tinggalkan di ruangan itu dan mengumpatmu habis-habisan. Apa yang dia katakan? Kau banci! Hahaha!” Noel kembali terbahak, ia merasa puas sudah membuat Ben kesal. Kekesalan Ben saat ini bukan karena ocehan Noel, pikirannya berpusat pada pembakaran yang dilakukan musuh pada markasnya. “Saya tak peduli apapun tentang wanita itu. Sekarang bersiaplah, ikut saya sekarang!” perintah Ben pada Noel kemudian. *** Ben melajukan motornya dengan cepatan tinggi, diikuti Noel dari belakang. Keduanya seperti dua orang yang sedang mengikuti kompetisi balap. Kurang dari satu jam, Ben dan Noel akhirnya tiba di markas. Separuh markas Ben sudah habis terbakar. Membuat Ben terus berpikir, untuk apa mereka melakukan tindakan konyol itu. “Hei, Noel. Apa kabar, Bro?” sapa Sam, merangkul Noel erat. “Seperti yang kau lihat. Sehat, dan semakin tampan, kan?” Sam terkekeh, lama ia tak jumpa Noel. Laki-laki itu memang semakin bersemangat kelihatannya. Soal ketampanan, Sam mengaku kalah. Buktinya, pesona Noel membuat para gadis tak lelah memujanya. “Saya akan memeriksa CCTV-nya.” Sam dan Noel menoleh ke arah Ben, yang memeriksa kanera tersembunyi di bagian ruangan. Beruntung kamera dan perangkatnya tidak ikut terbakar. “Genius, Ben. Sebaiknya kita segera memeriksanya,” timpal Noel bersemangat. Ben kembali memeriksa bagian-bagian ruangan yang terbakar. Ruang markas Ben memang tidak terlalu besar, terdapat satu ruangan besar, dan dua ruangan kecil tempat menyimpan peralatan dan perlengkapan yang Ben butuhkan saat bekerja. Memang ia tak menyimpan semuanya di sana, sebagian Ben simpan di ruang kerja rumahnya. Markas hanya tempat pertemuan penting dengan orang-orang yang ingin membutuhkan jasanya atau tempat untuk berkumpul bersama teman-teman. Di markas ini pula banyak musuh yang mengakhiri hidupnya, mati di tangan Ben. “Kau kehilangan banyak senjata, Ben.” Noel terlihat berjingkrak di dekat ruang penyimpanan senjata yang sudah terbakar. “Saya rasa mereka hanya menggertak.” Ben mengusap wajahnya kuat-kuat. Ia melirik Sam yang berdiri tak jauh darinya. “Sam, apa kau baik-baik saja?” “Oh, yah. Aku masih shock soal kebakaran ini. Yah.” “Hemm, kau terlihat pucat, Kawan.” “Gue baik-baik aja. Maaf Ben, gue nggak bisa berlama-lama karena ada perlu dengan seseorang. Tadi rencananya gue mau ketemu Lo sebentar, tapi ternyata ada yang nggak beres di sini,” jelas Sam, ia tak terlihat seperti biasanya, Sam tampak gelisah. Dahi Ben mengernyit. “Baiklah, thanks untuk bantuanmu malam ini, Kawan. Jika tidak mungkin tempat ini akan habis terbakar.” Sam tersenyum miring. “Noel, cabut dulu yak!” serunya, melambai ke arah Noel. Noel hanya mengangguk dan melempar senyum kecil ke arah Sam. Lalu mengamati punggung laki-laki itu yang melangkah mendekati motornya. Suara mesin motor mulai berisik dengan kepulan asap yang pekat. Sam sudah meninggalkan lokasi. “Sial!” Ben menendang ujung kursi di depannya. Ben menyesali mengapa ia begitu ceroboh akhir-akhir ini. Ben merasa ia memiliki musuh dalam selimut sekarang. Noel cepat mengambil posisi duduk di kursi kosong di samping Ben. Ia ikut menyimak rekaman yang tersambung di layar ponsel Ben. “Gelap. Sepertinya mereka mengetahui keberadaan CCTV-nya. Saya yakin orang-orang itu pemain profesional. Cara mereka nyaris sama seperti yang pernah saya lakukan.” “Apa orang-orang itu ada hubungannya dengan Sam?” tanya Noel, masih menatap layar ponsel yang gelap. Ben menghela napas berat. “Itu tugasmu untuk menyelidikinya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD