Bab. 8

1099 Words
   Sudah lama sekali Ben tidak memperhatikan penampilan, terakhir ia mencukur rambut dan merapikan bulu-bulu di wajahnya saat menghadiri pesta seorang teman beberapa bulan lalu. Mau tak mau Ben harus tampil rapi saat itu.   Sudah sepekan Ben dengan gaya rambut barunya, lebih pendek dan terlihat keren. Ben sendiri mengakui bahwa ia lebih semangat dan percaya diri. Tapi kesan mengerikannya agak berkurang, ia tak terlihat seperti penjahat berdarah dingin, tapi seorang model pria yang tampan.   Ben kembali fokus dalam misinya, beberapa email masuk, menugaskannya untuk bekerja. Salah satunya, perintah datang dari seseorang pria muda yang menginginkan seorang temannya mati. Satu foto terlampir, Ben segera meng-klik gambar yang ia terima.   Teerkejutnya Ben saat melihat foto siapa yang ia lihat.   "Aris?!"   Ben nyaris tak percaya si necis itu jadi targetnya sekarang. Tatapan Ben langsung tertuju pada biodata dan informasi tentang si necis yang tertera di bawah gambar. Sebenarnya Ben sudah mengetahui profil Aris diawal perkenalannya, namun Ben melihat informasi agak berbeda dari orang yang mengirim pesan.   Aris Adisutomo Nugroho Wijoyo, pria asal Yogyakarta. Ia putra bungsu dari Bapak Suyatno Nugroho Wijoyo, pemilik salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Aris lulusan Universitas Jepang, kini bekerja sebagai desainer sekaligus peraga busana dari hasil karyanya sendiri. Merek baju yang dirancangnya sudah go internasional dan banyak diminati dari kalangan menengah ke atas sampai para selebritas.   "Amazing!" Ben berdecak kagum. Bahkan Ben baru menyadari siapa si necis itu sebenarnya.   Dari pertama kali pertemuan singkatnya dengan Aris, Ben sudah menebak-nebak Aris bukanlah pria muda sembarangan. Mulai dari penampilan necisnya, paduan warna hitam keabuan yang serasi  dengan aksesoris yang ia kenakan seperti topi dan warna tali sepatu. Kini Ben tahu, seorang perancang sudah pasti pandai memperhitungkan detilnya. Termasuk alasan dibalik mengapa ia menginginkan Nayla tewas.   Sulit bagi Ben mengambil keputusan. Ia harus membuat janji pertemuan dengan orang yang telah mengiriminya pesan email. Ben harus bicara padanya mengenai misi terkait.   Pesan balasan dari Ben sudah terkirim, Ben berharap pria itu datang menemuinya tepat waktu dari waktu yang sudah Ben tentukan. Setelahnya, Ben kembali menyusuri beberapa platform untuk mendapatkan lebih banyak informasi mengenai Aris. Orang terkenal sudah pasti jadi ajang pembahasan.   ***   Fakta yang Ben temukan dalam sebuah video, Aris mengumumkan rencana pertunangannya dengan artis cantik berdarah Melayu. Ben tak banyak kenal artis-artis tanah air, tapi melihat gadis yang menggandeng mesra lengan Aris.   Hal aneh yang Ben lihat dari sorot mata Aris, ia tampak tertekan dari sebelumnya--saat pertemuannya tempo lalu. Ben tersenyum seperti dipaksakan dan tatapannya kosong. Suatu kejanggalan bagi Ben, mengapa ia seakan kehilangan energi dan kepercayaan diri.   Baru saja Ben ingin melanjutkan penelusurannya mengenai masa lalu Aris, seketika ponselnya yang ia letakkan di atas meja bergetar. Sebuah pesan chatt dari Nayla.   "Dave, kamu masih marah, ya? Aku minta maaf sudah bikin kamu kecewa. Serius, aku kangen kamu."   Ben mengembuskan napas berat.  Ia kembali meletakkan ponselnya di meja. Mengabaikan pesan Nayla.   Fokus Ben kembali pada layar laptopnya, ia harus mendapatkan informasi lebih tentang Aris. Sayangnya, tak ada berita apapun tentang hubungannya dengan Nayla.   Ben mengingat, Aris pernah mengatakan kalau Nayla adalah mantan kekasihnya. Seharusnya Ben tidak kesulitan mencari apa yang ingin ia ketahui. Kejanggalan kembali Ben temukan. Hubungan Aris dan Nayla tak ketahui publik.   "Drrrtt."   Ponsel Ben kembali bergetar. Sepertinya Nayla masih merongrongnya karena merasa menyesal.   "Apa setiap wanita seperti itu?" pikir Ben, menatap nama pengirim pesan tanpa membukanya.   Ben malas menanggapi pesan Nayla, ia belum tertarik bicara mengenai cinta, kerinduan atau semacamnya saat ini. Informasi tentang Aris belum sepenuhnya ia dapatkan. Dalam beberapa menit, Ben menyandarkan tubuhnya di kursi dengan kedua mata menatap lurus ke layar laptop. Sebuah ide muncul, Ben harus segera bertindak.   ***    Hiruk pikuk Jakarta seakan tak pernah lelah. Di antara ramainya kendaraan lalu lalang membelah jalan, Ben mengendari motor kesayangannya dengan memakai jaket kulit hitam melaju kencang, menembus angin menuju ke suatu tempat.   Tidak sulit bagi Ben mencari orang yang ingin ia temui. Kedatangannya bukan untuk melenyapkan orang tersebut, tetapi untuk kepentingan yang lain.   Di depan sebuah rumah tingkat yang besar dan luas--rumah bergaya Eropa modern--di dalam sebuah komplek elite, Ben menghentikan motornya. Rumah itu ketat penjagaan, beberapa security tengah fokus menjalankan tugas.   Ben tidak heran melihat banyaknya pria berseragam itu di setiap sudut rumah. Tentu saja mereka dilengkapi berbagai alat dan senjata. Aris bukan pria sembarangan, ia anak dari seorang pengusaha besar, desainer terkenal dan calon keluarga artis. Namun, tak ada persoalan sulit bagi Ben menghadapi petugas-petugas keamanan itu, ia bukan seorang perampok atau pembunuh berotak payah.   "Cari siapa, Bang?" tanya seorang security saat sadar Ben berdiri di depan gerbang, menyilangkan tangan di d**a.   "Aris, pemilik rumah ini," jawab Ben dibalik masker hitamnya bercorak tengkorak.   Security itu menatap Ben seksama dari cela gerbang besi yang membatasi mereka.   "Nama anda siapa?" tanya security itu lagi. Beberapa temannya yang lain terus melihat dari posisi mereka masing-masing.   "Katakan saja pada Aris, bahwa Ben ingin menemuinya." Mata Ben berkilat, ia tak suka terlalu lama menunggu dengan proses bertele-tele.   Security itu meninggalkan Ben, ia bicara pada beberapa temannya tentang orang asing di depan gerbang yang ingin menemui Aris, tuan mereka.   Kemudian salah satu dari—petugas lainnya lagi-- mereka kembali menghampiri Ben dari balik gerbang. Ia berkata dengan logat jawa yang kental, "Aden Aris lagi ndak di rumah, Mas. Mas e bisa datang besok sekitar jam 10 pagi."   "Ke mana dia pergi?" tanya Ben penuh selidik.   "Kami juga ndak tau, Mas. Tapi biasanya sih ke Kafe calon istrinya atau lembur di workshop," jelas si security itu santun.   Ben terdiam sesaat. Ia tengah menimbang, mungkin ini kesempatan Ben untuk menanyakan tentang Nayla.   "Apa Anda mengenal gadis bernama Nayla?" tanya Ben, membuat wajah security berjenggot tipis itu ragu.   "Yo kenal, Mas, wong dia suka datang ke sini. Ada apa, toh?"   Ben tidak segera menjawab, ia agak ragu untuk kembali bertanya. Ben berpikir sebaiknya ia kembali.   "Memangnya Mas ini siapanya Aden Aris sama Mbak Nayla, Yo?" Security itu mulai mengamati Ben dengan tatapan meneliti. Memang sudah tugasnya bertanya pada tamunya itu demi keamanan tuannya.   "Saya temannya Aris dan juga Nayla."   "Oalaaah, teman toh." Security itu terkekeh. Walaupun sebenarnya ia sendiri masih ragu. Ben tidak menunjukkan sikap bersahabat yang baik. Ia terkesan dingin dan kaku.   “Mungkin ada pesan untuk Den Aris, Mas. Biar nanti saat beliau pulang bisa saya sampaikan.”   “Tidak, tidak. Biar nanti tidak saya hubungi langsung saja. Terima kasih.”   Ben segera berlalu meninggalkan rumah mewah Aris. Melajukan motornya dengan cepat, menerobos angin malam dan membelah jalanan yang tampak lengang.   Kali ini ia gagal menemui Aris. Tapi Ben sudah memikirkan ia akan menemuinya besok malam. Malam ini Ben menghentikan motornya di depan sebuah bar, ia ingin menemui seseorang di dalam sana. Orang yang mungkin bisa sedikit meringankan pekerjaannya.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD