Bab. 2

402 Words
Pagi-pagi masih berembun, udara terasa dingin dan sejuk. Ben sudah menghabiskan tiga potong roti selai dan sebotol air mineral, dalam perjalanannya menuju ke sebuah alamat. Ben menghentikan mobil mewahnya di dekat pohon besar di depan sebuah rumah bergaya minimalis modern. Rumah itu terletak cukup jauh dari perkotaan dan masih dikelilingi keasrian alam terbuka. Kabut pagi masih tebal menutupi pandangan Ben ke arah rumah yang didominasi warna putih itu. Ben tak sabar menunggu meski sebentar, ia turun dari mobilnya dan menghilang di balik kabut. "Siapa kamu?!" jerit seseorang seraya menutup kembali pintunya dan menyibak tirai jendela, ia sangat terkejut melihat orang asing datang ke rumahnya secara tiba-tiba. Ben yang berdiri di ambang pintu mendengkus kesal. Dia sudah menakuti pemilik rumah yang mungkin saja ingin keluar. "Maaf, sepertinya saya tersesat, bisa saya minta bantuan?" Ben membuka maskernya dan memamerkan senyum ramah pada pemilik rumah. Namun tampaknya gadis tersebut masih belum percaya sepenuhnya. "KTP!" seru gadis itu cepat. "Apa?" "Kartu Identitas!" "Oh, baiklah. Tunggu sebentar." Ben merogoh dompet dalam saku jins-nya, membukanya buru-buru dan segera menunjukkannya pada gadis yang masih menatapnya takut-takut di balik kaca jendela. Melihat Ben mengangkat kartu identitas miliknya, gadis itu perlahan membuka pintu dan keluar menemui Ben. Ben berpikir bahwa ia akan berhadapan dengan gadis berperut buncit dan kedua kakinya yang membengkak seperti wanita hamil pada umumnya. Kenyataannya, ia tak melihat ciri-ciri orang hamil pada gadis yang kini sudah berdiri di hadapannya. Tubuhnya setinggi d**a Ben, ideal dan lingkar pinggang yang ramping. "Jangan bengong aja, sini KTP kamu!" Gadis itu segera menyambar kartu identitas di tangan Ben. Ben bersikap pasrah dan tidak menunjukkan penolakan apapun. Diam-diam, Ben menatap lekat wajah gadis galak yang tengah meneliti kartu identitas miliknya. Wajah gadis itu sama dengan yang ada dalam foto. "Jadi nama kamu David Jhonson?" Gadis itu meyakinkan, gerakan tangannya cepat menyibak rambut panjangnya ke belakang. Kemudian mengembalikan kembali kartu itu ke pemiliknya. "Panggil saja, Dave. Kau sendiri?" balas Ben sesantai mungkin, sembari meraih kartu dari tangan gadis di hadapannya, lalu menyimpan kembali kartu identitas miliknya. Kedua mata gadis itu melihat ke sekeliling rumah, hingga pandangannya tertuju pada mobil yang terparkir di luar pagar rumahnya di bawah sebuah pohon besar yang rindang. "Panggil aja aku, Nay. Nayla." Nayla mengulurkan tangan pada Ben, kali ini dengan perubahan ekspresi lebih bersahabat. "Senang berkenalan denganmu, Nay." Ben tersenyum kecil, erat ia menjabat tangan Nayla dan kembali melepaskannya. Nay tersenyum simpul, kemudian mempersilakan Ben masuk ke rumahnya. *** Tidak ada sesuatu yang mencolok, atau hal-hal aneh yang Ben temukan melalui matanya meneliti setiap sudut ruang. Rumah Naylah tampak nyaman, bersih dan rapi, layaknya rumah gadis pembersih dengan gaya desain sederhana tapi terkesan kekinian. Ben masih bersikap santai duduk di sofa di ruang tamu, ia tak ingin Naylah menaruh curiga. Selagi gadis itu ke dapur untuk membuatkannya minuman hangat atau sejenisnya, Ben tidak ingin melewatkan kesempatan. "Kamu suka Cappucino?" Nay datang dengan dua cangkir Cappucino dalam nampan setelah beberapa saat Ben menunggu. "Oh, tentu saja saya suka. Kapan lagi bisa menikmati Cappucino di pagi berkabut bersama gadis cantik?" Nay tak tahan untuk tidak tertawa, dan tanpa sadar pipinya terasa menghangat. "Kamu ini tukang gombal rupanya, Dave. Tapi terima kasih atas pujiannya." Nay meletakkan secangkir Cappucino di atas meja untuk Ben, dan satu lagi untuknya sendiri. "Saya yang seharusnya berterima kasih, Nay. Kau gadis yang baik, maaf sudah merepotkanmu pagi-pagi seperti ini." Ben mendesah panjang, "Apa kau tinggal sendirian?" Nayla terlihat berpikir sesaat sebelum menjawab, namun akhirnya ia mengatakan ia tinggal bersama kakak laki-lakinya. Nay juga menambahkan, meski tinggal berdua dengan si kakak, tapi ia kerap tinggal sendirian di rumah karena si kakak sibuk dengan pekerjaannya sebagai fotografer. Terlebih, akhir-akhir ini kakaknya banyak menerima job pemotretan di luar kota. Ben masih menyimak apapun yang dikatakan Nayla, gadis itu terlihat ceria dan apa adanya. Tapi bagi Ben, apa yang ditunjukkannya, bukanlah yang sebenarnya. Mata sendunya tak mampu membohongi siapapun, terlebih orang seperti Ben. "Kau punya pacar?" tanya Ben, seketika ia menyesali kenapa harus terburu-buru menanyakan sesuatu yang bersifat privasi di awal perkenalannya. Nay pasti tidak menyukainya dan Ben terkesan seperti orang tua yang tengah menginterogasi putrinya. "Sial!" maki Ben dalam hati. "Mana ada cowok yang mau sama cewek jelek kayak aku?" Nay menutup mulutnya dengan telapak tangan menahan gelak. Ben tahu gadis itu tengah menggodanya. "Kalau begitu, saya mau mendaftarkan diri sebagai pria pertama yang menyukai gadis jelek." Ben mencoba bergurau. Nayla tergelak. Sedangkan Ben sedikit menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan kecil. Pagi ini adalah pertemuan pertamanya dengan Nayla. Dari perbincangannya dengan gadis bermata sendu itu, Ben sedikit mengorek informasi mengenai dirinya. Satu catatan penting yang diketahui oleh Ben, bahwa Nayla tidak sedang mengandung. "Aris yang memberi informasi palsu atau Nayla tengah menipu?" batin Ben, mata tajamnya lurus menatap mata Nayla. "Oya, Dave. Tadi kamu bilang lagi nyasar. Memangnya kamu mau ke mana?" Nayla mengingatkan. Pertanyaan Nayla seketika menyadarkan Ben, alasan tersesat adalah hal konyol yang ada dipikiran Ben sejak awal. Tak ada pilihan lain, menjadi seorang pembunuh tidak cukup hanya pandai memainkan senjata untuk mengeksekusi targetnya, tapi juga harus pandai bermain peran. "Saya mencari alamat teman, tapi tak begitu jelas. Entah mengapa saya bisa masuk ke wilayah sini." "Siapa nama temennya? siapa tau aja aku kenal dan memang bener temen kamu tinggal di sekitar sini." Nayla mencoba membantu. "Namanya Aris." Singkat Ben. "Aris?" Alis Nayla bertaut. "Kayaknya gak ada deh nama Aris di sini. Ada juga Ariel, tuh yang rumahnya di ujung sana!" tunjuk Nayla ke sebuah rumah di balik turunan dan sederet pohon Cemara. Tak ada keterkejutan di wajah Nayla saat Ben menyebut nama Aris. Ben melihat jelas ekspresi datar Nayla. "Baiklah. Sepertinya saya memang salah tujuan," timpal Ben. Nay terlihat memaklumi. Gadis itu kembali terdiam dan menatap wajah Ben saksama. Suasana terasa canggung dan kaku, Ben tidak ingin berlama-lama, ia segera pamit setelah menghabiskan setengah Cappucino-nya. Tak lupa Ben meminta nomor ponsel Nayla dengan sopan meski sebenarnya nomor Nayla sudah ada di daftar kontak ponselnya sejak semalam. "Kapan-kapan, apa boleh saya berkunjung kembali?" tanya Ben sebelum melangkah menuju mobilnya. Nayla menggangguk. "Boleh, tapi kabarin dulu ya kalau mau ke sini. Takutnya aku nggak di rumah." Ben mengacungkan jempolnya. *** Ben menyunggingkan senyum sepanjang perjalanan pulang ke markas, dia merasa menjadi orang paling t***l sedunia. Lucunya lagi, sepeninggal Ben dari rumah Nayla ia berjanji akan menemui gadis itu kembali. "Arrg!" erang Ben gusar. Menolak tawaran membunuh seorang gadis, tapi Ben justru penasaran dengan gadis tersebut. Payahnya, Ben memikirkan hubungan Nayla dan Aris bagai serpihan puzzle berserak. Ben memungut puzzle itu satu persatu dan mencoba menyusunnya demi melihat keutuhannya. Pertama-tama, Nayla tidak hamil. Kejutan selanjutnya, gadis itu berlagak tak mengenal Aris. Mengingat nama Aris, Ben sempat ingin menghubungi pria necis itu. Tapi dengan cepat Ben berubah pikiran. Bukan Aris yang ia incar, tapi Nayla. Gadis itu seperti tengah menyembunyikan banyak hal. "Berani mengelabui, bersiaplah untuk mati, Nayla," gumam Ben sambil mempercepat laju mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD