Terjebak Drama

1848 Words
Jerome Bratadiama, pria berusia 30 tahun yang menghela napasnya dalam karena harus pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan dan praktek pertamanya sebagai dokter spesialis jantung di Jerman. “Kenapa, Jer? Masih kesel sama Mama?” “Belum siap menghadapi beliau, Bang,” jawabnya pada saudara pertamanya yang tinggal di Jerman bersama istri dan anak-anaknya. “Bisa gak bantuin bujuk Kakek? Mau ngurus rumah sakit yang disini aja sama Abang.” “Gak, nanti lu malah makin betah jadi jomblo. Coba lu mikir dong, Jer. Kenapa Papa sama Mama bisa sampe gitu? Karena lu belum nikah di usia 30 tahun. Adek bungsu kita aja udah nikah.” Jerome hanya belum siap melangkah ke jenjang pernikahan. Melihat bagaimana Kakak dan Adiknya sudah berumah tangga dan memiliki anak sama sekali tidak membuat Jerome iri. Jaegar; sang Kakak melemparkan bantal yang membuat lamunan Jerome buyar. “Melamun gak selesaikan apapun. Makannya nikah biar gak dijodohin mulu sama Mama.” “Abang mau kemana?” “Jemput bini sama anak-anak dulu. Bannya kempes dijalan katanya.” Jerome adalah anak kedua dari tidak bersaudara. Jaegar menetap di Jerman dengan istrinya Dasha, mereka sudah punya dua anak. Shiloh si bungsu juga sudah menikah dan sekarang sedang mengandung. Kedua saudaranya tinggal di luar Negara, itu yang membuat Jerome dipaksa pulang ke Indonesia karena dia belum berkeluarga. “Lu masih gitu aja? dari tadi gak gerak?” tanya Jaegar yang sudah pulang. “Jer, nih Kakak beliin kamu minuman isotonic. Biar nanti kamu siap menghadapi cewek-cewek cantik pilihan Mama. Hahahaha, cie yang mau dijodohin.” “Palingan juga nanti ceweknya kabur lagi, siapa juga yang mau nikah sama batu.” Pasangan itu memiliki karakter yang sama, Jerome memutar bola matanya malas. Saking harusnya dia pulang ke Indonesia, sang Papa mengirimkan ajudannya untuk menjemput Jerome. Bagaimana dia bisa menolak kalau seperti ini. “Uncle, nanti datang ke sini sama Tante yaa. Jangan jomblo terus. Kata Ayah itu aib.” “Jombloooooo…..” Dua anak Jaegar yang terkadang sama menyebalkannya itu hanya bisa ditanggapi dengan helaan napas. Namun godaan di German tidak seberapa saat Jerome pulang ke Indonesia. Niat hati hendak pulang ke apartemen, tapi Mamanya sudah menjemput di bandara. “Anak Mama yang masih Joness akhirnya pulanggggg. Mama kangen banget. Pasti kamu kesepian gak ada pasangan disana ya?” “Ma, please. Disini banyak orang.” “Ganteng-ganteng gini gak punya pacar, mana dokter lagi. Masa gak ada yang mau?” Jerome memijat kepalanya, beberapa wanita muda di bandara menoleh ke arah mereka dan tersenyum menggoda. “Hehehe, Mama mau ngetest dulu seberapa ganteng kamu. Respon cewek-cewek masih sama, masih kagum liat cowok seganteng kamu jomblo.” “Udah, Ma. Ayok pulang.” menarik tangan Seline dari sana diikuti sang ajudan Papanya. “Emang serius gak ada kepincut cewek Jerman, A? Aa itu gantengnya melebihi si Abang loh. Masa gak ada yang nyantol sih.” “Ma… Aa cape mau tidur bentar.” “Nanti di rumah atuh tidurnya, A. Mama mau nanya nih, Aa kan udah beresin sekolah spesialisnya, udah praktek juga di Jerman, Pokoknya semua mimpi-mimpi Aa tercapai. Sekarang tinggal kejar kehidupan pribadi, nyari calon bini yang bisa ngurus Aa.” Satu-satunya yang bisa menghentikan sang Mama dengan… “Ggrrrrrrr….” Jerome pura-pura tidur mendengkur. “Ari si Aa. Diajak ngobrol malah tidur ih.” Jerome tetap dalam posisi memejamkan mata sampai mobil berhenti. Eh? Masa sudah sampai rumah lagi? membuka matanya pelan. “Ini dimana, Pak?” “Ini…. rumah kenalannya Ibu, Mas.” Sejak kapan Mama punya kenalan rumahnya reyot? Begitu Seline keluar, Jerome pura-pura tidur lagi. “Udah dapet, Pak. Ayok jalan lagi.” Seline tersenyum melihat benda di tangannya. “Jampi-jampi biar ini anak dapet pasangan.” Sambil memasukan sebuah kertas ke dalam saku coat Jerome. “Semoga kamu dapat jodoh ya, Nak.” Kemudian mencium kening sang anak. Jerome bertanya-tanya, Apakah dirinya benar-benar dipandang aib karena dilangkahi menikah oleh si bungsu Shiloh? *** “Aa masa mau langsung kerja?” tanya Seline kesal. “Seminggu rehat dulu, A. Rumah sakitnya juga kan punya Kakek kamu. Istirahat dulu, maen dulu sama Mama.” “Mama maennya sama Papa aja,” ucap Jerome dengan santai mengambil air ke dapur. Baru juga minum satu tegukan, dokter spesialis jantung itu dikagetkan dengan kedatangan Kakek dan Neneknya. “Manaaa cucu Kakek yang masih Joness? Sini dulu, Nak. Peluk Kakek dulu.” Jerome tidak merespon apapun ketika orang-orang itu memeluknya. Dia tertekann! Kalau saja dia bukan pewaris rumah sakit yang ada di Indonesia, Jerome tidak akan pulang. Jaegar yang menjadi dokter mengambil alih rumah sakit di Jerman, sementara si bungsu memilih meniti karirnya sebagai patalog forensic di Italia. Dia adalah tumbal di tanah air, dengan semua stigma single yang ada. Pandangan negatif, stereotip, atau penilaian buruk yang ditujukan kepada individu yang belum menikah seperti dirinya. “Aduh, Nenek. Sesak, peluknya jangan kencang-kencang.” “Nenek mau ajak kamu makan malam diluar ya. Udah lama kita gak ngumpul bareng keluarga.” “Kenapa gak disini aja?” tanya Jerome. “Lebih enak diluar,” jawab sang Kakek. “Itu hotel punya Kakek sekarang, jadi sekalian kita test makanan di sana,” “Aa capek. Mau disini aja.” “Jerome…,” ucap seseorang dengan nada penuh penekanan. Siapa yang berani menentang seorang Dekan yang kebetulan menjadi Papanya itu? “Kita semua pergi. Sana kamu siap-siap.” “Iya, Pah.” Datang pagi, sekarang malamnya harus keluar. Jerome mulai menaruh curiga kalau dirinya akan dijodohkan, karena ketika mereka datang ke restaurant tersebut, semua orang belum menyentuh makanan seolah sedang menunggu seseorang. “Ini kenapa kita nggak makan?” Tanya Jerome. “Nanti nunggu satu menu lainnya,” ucap Kakek sambil berdehem. “Aa mau ke kamar mandi dulu.” Pria itu berdiri meninggalkan meja. Barulah keluarga itu diskusi. “Ini orangnya masih dijalan apa gimana, Nek?” tanya Seline. “Iya dia lagi dijalan. Lama amat sih, udah mulai gak suka nih sama calon menantu yang kayak gini. Lelet.” “Tapi dia penyabar. Waktu Koas di rumah sakit aja nurut waktu disuruh ngitung jumlah bulu ayam,” ucap Kakek membela. “Dia pasti bakalan sabar hadapi Jerome. Jadi tunggu aja.” Tanpa mereka tahu, Jerome mendengarnya. Dia mengurungkan diri masuk ke dalam restaurant itu lagi. Gak papa, paling dipentung sama Mama, ucapnya dalam hati. Jerome mencoba menghubungi salah satu supir untuk menjemputnya. Sampai tiba-tiba ada yang mengikatkan tali sepatunya. “Mas, tali sepatunya lepas. Sini saya benerin.” Jerome menatap dengan bingung. Kok orang stress bisa masuk ke sini?? “Nah, tinggal Mas yang sekarang bantu saya. Ayok.” “Heh, kamu mau bawa saya kemana?” “Pleasee, Mas diem aja. Jangan banyak ngomong. Saya Cuma mau minta anter buat ambil tas saya.” Menarik ke dalam restaurant dan tiba-tiba menggandengnya dengan manja. “Ihh, Sayang. Itu tas aku ketinggalan disana. Kirain hilang dimana. Anterin….,” rengeknya dengan manja. Oh astaga, Jerome paham. Pasti perempuan ini tidak mau terlihat sendirian. Pasti itu mantannya!! Mana dia mengakui Jerome sebagai tunangannya lagi! Ketika hendak keluar restaurant, tiba-tiba tangan perempuan itu ditahan Mamanya. Shittttt! “Ya ampun cantik banget. Aa kenapa gak cerita kalau udah punya calonnya? Kan Mama jadi ngerasa bersalah udah atur perjodohan sama kamu ih.” “Hah?” “Kenalin, Tante ini Mamanya Jerome. Itu Papanya, dan itu Kakek sama Neneknya. Ya ampun, Tante seneng banget Jerome udah punya calon. Mana tunangan lagi ya?” Jerome menghela napasnya dalam. Kenapa hidupnya penuh dengan orang-orang aneh? *** “Kenapa Aa gak bilang?!” “Nakal kamu, A.” Leonor terdiam terjebak diantara orang-orang asing. Dia menelan salivanya kasar ketika dua wanita lebih tua itu menatapnya. “Siapa namanya tadi?” “Leonor, Bu. Kok jadi linglung sih,” ucap Seline. “Ehehehehe, cantik banget calon mantunya Mama. Sekarang masih kuliah, Nak?” “Masih,” jawab Leonor tegang. Dia ingin kabur, tapi sadar disana ada Yunda dan Satria. Mereka mungkin tidak mendengar, tapi melihat dengan jelas apa yang tengah Leonor lakukan. Diam-diam perempuan itu menatap pria yang tadi dia Tarik ke dalam. Membalas tatapannya seolah berkata, Silahkan nikmati peran. “Gimana kalian bisa ketemu? Sejak kapan?” tanya Kakek. “Ketemu waktu dia liburan ke Jerman tahun lalu, terus sisanya LDR,” ucap Jerome. Leonor kaget. Kok?! malah mendalami peran?! “Kenapa Aa gak kasih tahu kalau udah punya pacar sih?” “Dia masih kuliah, jadi gak mau terganggu sama kalian.” “Loh, kamu pikir keluarga kamu apaan? Keganggu?” tanya Nenek tidak suka. Zain sang Papah berdehem, dia masih mengamati keduanya. “Terus tunangan? Maksudnya apa?” “Aa emang udah lamar dia biar statusnya lebih resmi meskipun belum libatin keluarga. Jadi hubungan kami emang serius, tujuannya ya nikah.” Leonor merasa melayang, drama macam apa ini. “An──” ucapan Leonor terhentikan karena dicubit oleh Jerome. Dia menoleh dan mendapati wajah pria yang datar menghadap keluarganya. “Mama masih belum percaya, A. kamu selama setahun ini udah punya pacar? Udah kamu lamar juga. Kenapa gak bilang sama Mama sih, seenggaknya kamu gak dikatain Jones terus.” “Bu, tuh llihat,” ucap Zain melihat seorang wanita yang berjalan ke arah mereka. Sang Nenek langsung beranjak untuk menahannya mendekat, Seline memberikan penjelasan pada Leonor, “Maaf ya, Mama gak tahu kalau si Aa udah punya pacar secantik ini. Mana udah tunangan lagi. Mama malah niat jodohin dia sama yang lain.” “Aa maafin.” “Bukan kamu ih, Mama minta maaf ke Leonor.” Menatap dengan mata lembut lagi. Nenek juga sudah kembali, mengacungkan jempolnya. “Aman kok.” “Jadi, Leonor kuliah jurusan apa?” “Keluarganya udah tahu kalau kalian ada hubungan serius?” “Leonor siap nikah kapan? Mama siap datang ke rumah kok.” “Rumahnya dimana? Sekalian aja sekarang kenalan sama keluarga kamu ya? gimana?” Tiba-tiba saja Leonor ingin mati! Melihat semua mata itu menatapnya penuh harap, senyuman bahagia dan mendesaknya. Sialnya lagi, pria bernama Jerome ini tidak membantu apapun. Dia menatap Leonor dengan alis naik turun. “Jawab, Sayang,” ucapnya kurang ajar. Satu-satunya yang terfikirkan di kepala Leonor adalah…. “Hhnnghhh….” Memegang dadanya berakting sesak. “Saya mau ke kamar mandi sebentar.” “Leonor gak papa? Kayak sesak gitu?” tanya Seline khawatir. “Gak papa, Tante. Ke kamar mandi dulu ya… Hnghhh…” Berdiri cepat dan melangkah menunduk tanpa mengetahui kalau ada Waiter's Trolley yang membawa banyak makanan. BRUKK! “Aaaa!” Leonor jatuh dengan makanan yang mengenai tubuhnya. “Ya ampun, Nak!” “Aa, bantu Ayangnya!” Karena malu, Leonor memejamkan mata pura-pura pingsan saja. Wajahnya tertimpa kue dengan pakaian terkena saus barbeque! Mau ditaruh dimana mukanya?! “Loh loh, Leonor pingsan.” “Tadi dia sesak ‘kan? Cepat lentangkan dia,” perintah sang Kakek. “A, buka jalan napasnya dulu. Kalau gak baik langsung kasih CPR. Miringkan kepalanya.” Leonor dalam hati, Gustiiiii gue mau diapain ini? kenapa gak dibawa keluar restaurant aja? si mantan pasti liat gue lagi di bolak balik sama nih keluarga aneh. “Kakek udah siapin kamar VVIP di rumah sakit. Setelah sadar, angkut dia kesana.” Tuhaaaannn! Leonor mau menangis saja rasanya!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD