39. | Saling Memaafkan

1202 Words
“Lo dari pluto sana, ha?!” Bagas mengomel di detik pertama Chindai terlihat oleh matanya. “Melewati jutaan meteor di angkasa, menjelajah bintang-bintang, mampir ke bulan, jenguk satelit bumi, melayang di udara, baru sampai SMA Rajawali?” Chindai bersandar di dinding sambil memangku dagu, berhadapan langsung dengan seseorang—Bagas yang hari ini mendadak sangat alay. “Gue ngantuk, Kak, ya, Kak.. Bagus dongeng lo, Mama aja enggak bisa buat gue tidur walaupun dia cerita lima cerita Cinderella pas kecil.” Bagas mendengkus tatkala Chindai menguap lebar. Ia menggerakkan tangannya menutupi mulut gadis itu. “Napas lo bau,” guraunya saklek. “Heh, kurang ajar! Mana ada, ya!” “Gue bercanda, oi!” “Kentut lo bau,” balas Chindai tak mau kalah. “Kayak lo pernah dengar dan tahu pas gue kentut, Ndai.” “Dikasih tahu Kak Rio. Wlek!” Bagas manggut-manggut sejenak, lalu mendesah jengah. “Lo punya tameng yang menceritakan semua tentang gue.” Benar, kan, keduanya pasti saling menjatuhkan. Chindai menendang siku kaki Bagas hingga terkesiap. Jelas saling mengibarkan bendera perang. “Gue enggak minta, dia yang cerita.” “Dan lo kepo.” “Enggak. Memangnya lo artis?” “Aliando aja lewat, Ndai.” “Idih, percaya diri banget.” “Lo ke mana aja?” tanya Bagas selepas ingat keterlambatan Chindai. Jika masih beradu argumen, diyakini sampai esok pun tidak akan selesai. “Gue dari pluto, melewati jutaan meteor di angkasa, menjelajah bintang-bintang, mampir ke bulan, menjenguk satelit bumi, melayang di udara, baru sampai SMA Rajawali. Oh, gue juga sempat bertarung sama black hole. Kalau gue kalah, sekarang kita enggak ketemu dan gue tersumbat di sana.” “Melawak, Ndai?” “Lo yang duluan!” ujar Chindai bergelora. “Bagas lebay!” “Inai.” Begitu yakin perpustakaan tidak berpenghuni selain mereka, Bagas maju merapat pada Chindai. Ia tersenyum, lalu menyejajarkan wajah keduanya. Ide gila guna mengerjai Chindai benar-benar hendak dilakukannya. “Kita … kita dekat banget,” ujar Chindai, gelagapan. Napasnya tercegat dalih merapalkan doa-doa yang dihapal, sekalian mengharapkan pingsan sebagai jalan pintas. Terlebih lagi di detik-detik Bagas kian menempelkan dirinya. Astaga. “Kenapa kalau dekat banget?” “CCTV.” Bagas menahan tawa yang dapat meledak kapan saja. Demi apa pun, baru begini Chindai sudah terlihat sangat menggelikan dengan ekspresi takut yang tak mampu juga ditutup-tutupi sang empu. Makin iseng lah Bagas menggeretak gadis itu. “Bagus, dong, enggak ada orang. CCTV jadi saksi.” “M-mau ngapain?” “Menurut lo?” “Bagas, lo—” “Apa, Chindai?” “D-dekat banget, Gas.” Chindai menutup netra serta mengulum bibir pucatnya. Ia hendak pasrah, tetapi akal sehatnya menolak. “Buka mata lo, Ndai.” “Enggak.” “Chindai.” Setelah memastikan keberanian dalam taraf full, satu hentakkan di kaki tiba-tiba dihadiahkan Chindai spesial teruntuk Bagas. Detik berikutnya, laki-laki itu diibaratkan Chindai sedang memeragakan jurus pencak silat yang sering terlihat di televisi. Tidak sampai di situ, ringisan Bagas tak kalah menyeruak. “Inai, lo—” “Apa?” Bagas terduduk mengenaskan di dinginnya lantai, bergegas melepaskan sepatu. Ia berdesis menahan sakit, dilanjut memijat sela jari-jari kaki kanannya yang bengkak luar biasa. Salah Bagas di mana hingga penderitaan semacam ini menimpanya? “Nyeri banget!” Bagas tidak lupa untuk membuka kaus kaki, lalu melempar tepat sasaran mengenai wajah Chindai. Ia langsung memuji dirinya sendiri. Bangga. “Ih, Bagas, jorok!” “Mending kaus kaki gue baru dicuci, enggak bakal bau. Kaki gue lecet, nih. Lo sarapan apa, sih, pakai tenaga kuda lumping begitu?” “Beling,” ucap Chindai ngawur. “Amit-amit, Ndai. Lo enggak punya duit apa? Tante Ayu harus gue kasih tahu kalau lo main kuda lumping tiap malam Jumat.” “Kurang ajar. Dasar, lemah!” “Lo yang kurang ajar.” Bagas berdecak dongkol. Keinginannya mengobrol santai, tertawa, menyelesaikan kesalahpahaman yang mungkin tersisa …, justru berganti rasa sakit akibat tenaga gadis berponi pendek di depannya. “Tenaga kuda lumping!” “Dasar, m***m!” Chindai satu-satunya gadis yang mampu menantang, bahkan menyakiti fisiknya. Kemudian, sekarang gadis itu juga mengatai Bagas … sangat frontal. “Ha? m***m?” “Lo pengin cium gue, kan?” “Tunggu!” Bagas mengerjap kaget, bola matanya nyaris loncat. Ia syok, mulutnya menganga siap dimasukkan lalat yang terbang hilir mudik. Segera mungkin Bagas pun beranjak dan memegang pundak Chindai tanpa mengindahkan nyeri di kakinya yang tak berbalut apa pun. “Coba ulang tuduhan lo.” “Lo m***m, pengen cium gue,” ucap Chindai dalam satu tarikan napas. “Ih, Kak, mending tadi gue ogah ke sini ketemu lo!” Semenit Bagas membutuhkan jeda untuk menetralisir jantungnya berdegup kuat karena terkejut. Selanjutnya, ia menuntun Chindai duduk bersila di depannya. Bagas tak khawatir, CCTV yang disebut Chindai sesungguhnya mati. Ia sudah menanyakannya pada penjaga perpustakaan. “Gue enggak kepikiran ke situ.” Ingat, Inai-nya Bagas tak lagi lugu. “Lalu?” “Gue cuma mau bilang, lo sekarang berani panggil gue tanpa embel-embel ‘Kakak’. Kapan gue m***m sama lo, sih, Ndai?” Chindai tampak berpikir beberapa saat. “Gue enggak sadar …, Kak.” Benar, menyebut ‘Kak’ tampaknya lumayan aneh. Atau hanya terbawa suasana? Tangan Bagas menangkup wajah Chindai alias meremas pipi chubby gadis manis tersebut. Inai-nya memberontak, tetapi Bagas tidak berhenti. “Siapa yang m***m?” “Lo!” “Siapa gue tanya?” “Nathaniel Bagas Saputra!” Chindai menggigit tangan punggung Bagas, membuat sang empu menjerit keras dan menjitak keningnya. “Sakit, Inai! Lo salah sarapan, gue harus telepon Tante. Sini ponsel lo, pinjam!” “Ogah!” “Lo belajar dari siapa kata-kata m***m, cium, dan lain-lain?” “Lumrah, kan?” Bagas mengerang gereget, serta-merta menarik lengan Chindai agar bisa dipegang olehnya. “Enggak boleh frontal begitu, apalagi ke cowok lain.” “Kenapa?” Sekarang Bagas kembali percaya, Inai-nya benar-benar lugu. Bingung juga sisi mana yang menggambarkan Chindai secara aktual dan faktual. “Enggak boleh.” Chindai menggembungkan pipi, bibirnya pula ditekuk ke bawah. Lihat, dengan mudah juga ia bisa bersikap seperti ini. Sampai-sampai Chindai lupa jika beberapa hari kemarin sulit sekali mendapat kesempatan seperti ini. “Gue marah tahu, Kak.” “Kak lagi?” “Gue marah tahu, Bagas.” Bagas yang memasang kembali kaus kaki dan sepatunya mendongak. Ia cekikikan sebentar. “Kenapa lagi? Bukannya puas buat gue kesakitan?” “Lo kenapa ngamuk-ngamuk di jurnalis?” “Lo tahu?” “Lo pikir tanpa forum sekolah, mulut-mulut orang juga hilang?” Chindai beranjak sambil membersikan pantatnya dari kotoran debu yang menempel. “Lo selalu paksa gue nurut, tapi lo enggak pernah dengar apa kata gue, Bagas.” “Maaf.” “Maaf terus.” Bagas menyusul Chindai dengan sabar, berusaha membujuk. Ia sadar jika kemarin pun terlampau emosi. “Sekali itu doang, Ndai, janji. Ayo, kita ngomong serius pulang sekolah nanti. Ada yang mau gue omongin.” “Kumpul ekstrakurikuler musik.” “Minggat.” Kala Chindai menatap tajam, Bagas meralat ucapannya, “Izin ke Rio.” “Untuk apa?” “Gue mau ajak lo ngomong pasal itu, salah satunya, tapi malah hal yang enggak jelas kita lalui barusan. Enggak apa-apa, gue senang juga.” “Urus izin gue ke Kak Rio.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD