27. | Obrolan?

1297 Words
Khayalku bersamamu terlampau tinggi ’tuk tergapai. Namun, aku hanya bisa berusaha berhenti berangan. Tidak salah, kan, harapku ini? Terdengar lucu, biarlah. Doakan saja semoga cepat hilang. Aku juga sudah lelah mengharapkanmu. *** “Itu si manis, kan, Gas?” Bagas menoleh cepat ke arah objek yang ditunjuk Karel dan sontak membenarkan tebakan tersebut. Ia ikhlas digeret Karel dengan semangat menghampiri Chindai yang sedang mengunci pintu kelas, masih tak menyadari keduanya. Akan tetapi, sesuatu tidak terduga kembali melibatkan dua insan seakan telah jalannya. Lebih daripada refleks, Bagas mendekat. Netranya berkilat bersamaan gerak-gerik Chindai yang hampir terhuyung. Bagas menahan tubuh gadis itu semampunya. Seperti dejavu, tetapi saat ini ia lebih tahu caranya bertahan. Pada akhirnya, detik-detik berlalu hanya diisi keheningan dan acara saling menatap satu sama lain. Masih di posisinya yang sama, Bagas merasakan jantungnya bertalu-talu. Dalam beberapa saat ia juga tidak mampu berkata apa pun, begitu pun Chindai yang tidak jauh berbeda. Tak mengacuhkan Karel yang melongo di belakangnya, sejenak Bagas berpikir untuk menikmati meskipun tidak lama. “Maaf.” Bagas diam, belum berniat merespons. “Kak Bagas, maaf.” Seseorang berponi pagar yang direngkuhnya tersebut berusaha mengalihkan pandangan. Sadar lengannya mulai pegal, Bagas mengarahkan Chindai tegak. Namun, ia tergerak meremas punggung Chindai, menyalurkan hasrat—untuknya pun sangat membingungkan nafsi. “Ndai ….” “I-iya, Kak?” Melihat Chindai menahan napas, Bagas memilih menggagalkan niat dan mundur selangkah agar memberi kesan jarak. “Lo mau ke mana, hem?” “Kumpul ekstrakurikuler musik, Kak.” Karel menggaruk pelipisnya. Jauh di luar agenda, bukan ini yang diinginkannya. Meski tontonan sekarang cukup menarik diperhatikan, tetapi mulutnya berdesis sebab permainan Bagas yang menurutnya terlalu kuno. Setia menunggu, Karel menyandarkan belakang tubuhnya di dinding terdekat. Lagi pula, kenapa mesti canggung begini, sih? “Di kelas gue?” tanya Bagas berlanjut. “I-iya, Kak.” Chindai sebaik mungkin mengulas senyum kendati resah. Di bawah tilikan tajam Bagas, ia berujar kembali, “Bukannya Kakak kumpul OSIS?” “Senang gue enggak ikut?”’ “Ha … enggak, Kak.” Senyum miring ditunjukkan Bagas begitu jawaban yang dikeluarkan Chindai itu terdengar keblangsakan. Jiwa jahil Bagas muncul, tanpa ragu-ragu menyahut, “Enggak jadi. Gue entar ikut kumpul ekstrakurikuler musik.” “Iya, Kak.” “Apa enggak usah?” “Kalau repot, mending enggak usah. Kak Rio dan Kak Michelle, kan, ada,” kata Chindai lugas. Ia mengerti Bagas mencoba memancingnya, sehingga jalan satu-satunya adalah balik meladeni dengan elegan. “Sebenarnya, lo enggak mau gue di sana.” “Suuzan,” titah Chindai saklek. “Kalian bahas apa, sih?” Karel berseru jengah sesudah sekian lama menonton. Ia geleng-geleng kepala menghadap kedua insan tersebut. Bertemu Chindai … alih-alih cuci mata, malah disuguhi perdebatan ajaib. “Maaf, Kak.” “Enggak perlu, Manis.” Karel mesem mencurigakan setelahnya. Dengan tatapan penuh arti, ia mengamati wajah Bagas dan Chindai bergilir. “By the way …, hem, lama-lama gue lihat kalian mirip. Kayak kembar.” “Ngawur!” Bagas spontan saja memukul kepala Karel menggunakan buku yang dibawanya. Jika dibiarkan, dipastikan akan melebar ke mana-mana, terlebih ia enggan Chindai kian jauh terkontaminasi otak tidak beres Karel maupun Randa. “Mending lo duluan ke ruang OSIS, gue susul nanti.” “Modus!” “Bacod pakai d!” Karel memelet lidah sebelum kembali merespons Chindai. Menangkap langsung rona merah terang itu, ia terkekeh geli. “Manis, chat gue balas, dong.” “Iya, Kak. Semalam Chindai enggak buka handphone.” Nyatanya, bohong. Hanya Bagas yang tahu Chindai memiliki dua nomor, sukses membuat laki-laki itu tersenyum bangga diam-diam. Ia tidak menanggapi, membiarkan kepercayaan diri Karel melambung. “Sip. Gue tunggu, Manis!” “Pergi lo, Rel Kereta!” “See you, Manis. Saranghae!” Bagas meredam kemarahan seiring Karel berlalu dengan tawa yang menggelegar di sepanjang koridor lantai satu gedung kelas sepuluh. Selanjutnya, Bagas balik dalam menelaah Chindai yang turut mendongak ke arahnya. “Kak.” “Iya, Ndai?” “Gu-gue izin ke kelas lo, Kak.” “Silakan.” Chindai tersenyum salah tingkah, di mana Bagas sedikit pun tidak berpaling dari wajahnya. Penampilan laki-laki itu benar-benar memukau di balutan jaket organisasi, sehingga terlalu sayang dilewatkan. Namun, mengingat masalah terselubung keduanya, Chindai menahan diri. “Iya, Kak. Permisi.” Memperhatikan langkah Chindai hingga menghilang di pandangannya, Bagas tak bergerak. Ia malah mengusap kasar tengkuknya yang hangat sembari bergumam pelan, “Dia suka enggak, sih, sama gue?” *** “Kak Rio dan Chindai lagi dekat?” “Enggak tahu,” balas Bagas, serta-merta menyesali keberadaannya sendiri. Saban komentar Michelle membuatnya mendadak muak. “Mereka cocok.” Kemarin-kemarin, Bagas-lah yang setiap saat berada di dekat Chindai di jam ekstrakurikuler. Mengobrol, bercanda, bahkan menggosipkan Rio. Namun, keadaan berbanding tiga ratus delapan puluh derajat. Rio di depan sana asyik mengacak rambut Chindai, dan sang empu nyaman serta tersungging manis. “Gas!” “Hem.” “Lo kenapa, sih?” “Lo yang kenapa?” Kemudian, Bagas menoleh dan langsung merasa bersalah sebab Michelle terkejut atas teriakannya. “Maaf.” “No problem.” Michelle tersimpul, enggan memperpanjang. “Kita sudah kenal lama, enggak mungkin gue sakit hati.” Bagas mengangguk cuek. Mata nyalangnya menyipit, meneliti Rio menggenggam kepalan Chindai sebelum berbisik. Setengah hati Bagas menekuk jari-jari kakinya di dalam sepatu, takut melakukan perkara tak senonoh—minimal menampar pelaku pemancing kemarahannya itu. “Gue lagi suka sama junior kita.” “Si cantik ekstrakurikuler musik.” “Kalau lo memperhatikan gue pas kumpul, pasti tahu.” “Chindai cantik, kan?” Bukan hanya opini, rupanya betul jikalau Chindai merupakan gadis yang berhasil merebut takhta di hati Rio. Setidaknya, pendapat Bagas selama saling mengenal. Tak lama kemudian, Rio beranjak membiarkan Chindai yang anehnya langsung menunduk lesu, menenggelamkan diri di lipatan tangan. Bagas bertahan tak menuruti keinginan hati untuk menemui, lalu menghibur. Ia masih sangat peduli dengan gadis bernama lengkap Gloria Pandanayu Chindai. “Bagas.” “Rio?” “Gue minta tolong samperin Chindai, dong.” “Gue, Yo?” Bagas menaikkan sebelah alisnya, tidak menutupi keterkejutan. Jalan pikiran Rio tak bisa ditebak. Jelas-jelas menyukai Chindai, tetapi menyuruhnya. Sangat tidak dapat dipercaya meskipun di sisi lain disyukuri. Namun, apa Rio betul-betul tidak merasa takut Chindai benar-benar dijadikan Bagas hak paten? “Buruan. Please, gue mau nemuin Pak Adi dan rapat petinggi ekstrakurikuler. Siapa tahu Chindai sadar kalau sama lo,” kata Rio menerangkan. “Tolong juga lo gantiin gue di sini. Kayaknya angkatan lima belas takut sama lo daripada gue.” “Lo kata Chindai pingsan habis ketemu lo?” Bagas menggerutu, tak ayal menurut. Banyak sesuatu yang mengganjal dan memusingkan kepala, sehingga sementara Bagas tidak ingin terlalu menekan otaknya traveling ke mana-mana. “Gas.” Michelle refleks menjawat Bagas yang akan menyisakannya seorang diri. “Lo mau ke tempat Chindai?” Bagas mengangguk. Tak menunggu balasan Michelle lagi, ia berlari ke deretan kursi belakang, tempat favorit Chindai dan kawan-kawan. *** “Kak,” tegur Marsha takut-takut. Bersyukurnya yang dipanggil sempat melirik pertanda sapaan direspons baik. Tangan Bagas terulur menyentuh ubun-ubun Chindai. Ia mendadak cemas, agak trauma mengingat gadis itu pernah sakit serta pingsan di hadapannya langsung. Bagas memanggil-manggil nama Chindai, berharap tidak akan terjadi apa-apa yang mengkhawatirkan dirinya. “Ndai ... Inai,” gumam Bagas lembut, tidak lupa merapikan helai rambut yang menghalangi wajah cantik tersebut. “Kak Bagas!” Bagas menahan kepala Chindai yang nekat bangkit. “Entar lo pusing, coba diam.” “Kak.” “Hem.” “Enggak,” kata Chindai buncah. “Lo kenapa?” “Ha?” Rio gila! Bagas mengumpat pelan, bahkan gerakan mulutnya tidak diketahui Chindai. “Lupakan.” “Iya, Kak,” gumam Chindai gugup. Bagas tahu perbuatannya kelewat kurang ajar, menghempaskan Chindai yang kebingungan akibat ditinggalkan begitu saja. Ia takut tidak kebal menghindari Chindai, padahal keadaan yang memaksanya perlahan menjauh. Bagas habis berpikir panjang kali lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD