34. | Cokiber vs Cekiber

1543 Words
“Gimana kabarnya sama Kak Michelle? Langgeng?” Mendengar pertanyaan pertama Chindai sesaat dirinya sampai di hadapan gadis itu, Bagas mendengkus—tidak terima tuduhan tak mendasar yang dilayangkan padanya. Gosip murahan benar-benar momok menakutkan, membuat Bagas geram. Namun, saat ini justru menggelikan karena reaksi Chindai. “Apa perlu sekarang gue buat pengumuman resmi kalau enggak ada hubungan apa pun sama Michelle?” “Memang berani?” “Lo tantang gue? Memang gue takut?” Netra Chindai menjadi segaris, curiga jika Bagas benar-benar melakukannya. Ia tidak mau senekat itu. “Ya …, jangan juga, Kak.” “Barusan sok-sok nantang. Mau lo apa, sih, Ndai?” “Bercanda, Kak Bagas.” Bagas merangkum kedua pipi bulat Chindai. dengan kesadaran penuh, ia mencubit apa yang digenggamnya tersebut, menyebabkan ringisan dan rona merah memanjakan netra. “Lo kebanyakan bercanda, Inai. Gue bingung kapan seriusnya.” “Seriusnya itu … gue enggak punya hubungan apa-apa sama Kak Rio.” Daripada bertambah malu, rupaya Chindai lebih mengambil inisiatif. Tak lama karena Bagas pun mendadak diam beberapa, ia jadi fokus ke depan. “Gue juga enggak punya hubungan apa-apa sama Michelle.” “Tapi dia anggapnya iya.” “Tapi gue sama sekali enggak, Ndai,” ujar Bagas lugas, lalu mengarahkan Chindai yang kembali akan berpaling. “Sok ganteng!” “Inai lo memang ganteng, Chindai.” Chindai mencibir, pada akhirnya memilih tidak lagi menjawab. Sebenarnya, tidak ayal ia penasaran maksud dari panggilan spesial yang diberikan Bagas, tetapi konstan tak menanyakan apa pun. Biarlah terjawab tepat pada waktunya. “Kak Bagas, boleh foto bareng?” Baik Bagas maupun Chindai bersamaan menengok ke sumber suara, di mana seorang gadis—yang sepertinya pengagum berat Bagas—panik meremas benda persegi di tangannya. Alis Chindai lantas terangkat sebelah, diam-diam mensyukuri takdir jika dirinya tidak dibikin sulit untuk sekadar beriringan dengan sosok dikagumi. Lagi pula, ia pikir tinggal ia dan Bagas yang ada di sekolah, ternyata masih ada beberapa orang. Mungkin juga anak cheerleader. Chindai pun sempat melongok serombongan kaum Hawa di kejauhan. “Apa boleh, Kak?” Lewat gerakan netra dan senggolan pelan yang diterima pergelangannya, Chindai berasumsi bahwa Bagas meminta izinnya. Jadi, ia mengangguk sekali sebelum merebut ponsel Salsa—nama tertera di name tag yang dilihatnya. Chindai yakin, gadis itu teman seangkatannya. “Gue tukang foto. Sini.” “Ndai—” “Buruan, Kak. Siap-siap.” Bagas menghela napas, cukup merasa sebal meneliti energiknya Chindai saat ini hanya karena sesuatu yang cukup memuakkan. Agaknya terpaksa, ia memutuskan untuk bergeser, sementara orang yang menginginkan foto sudah berada di sampingnya. Tidak banyak omong, Bagas dan Salsa berdiri berdampingan. “Kurang dekat, Kak!” “Iya, Inai! Bawel lo!” Terhitung tiga kali Chindai ikhlas mempraktikkan keahliannya. Sama sekali tidak buruk. Chindai mengikuti ekstrakurikuler photography di masa putih biru selain palang merah remaja. Hanya SMA ini ia terjun ke musik lebih dalam, ditambah rezeki bertemu Bagas dan berada di titik seperti sekarang. Kemudian, sekehendak jidat Chindai menilai kecocokan Bagas dan Salsa. Sedikit pun tidak cocok. Begitulah. “Terima kasih, yan, Kak.” Salma tersenyum, begitu bahagia ketika Bagas terlihat mengangguk tenang. “Follow back ** saya, Kak.” Lain dengan respons ogah-ogahan Bagas, ide kecil justru berputar-putar di otak Chindai. Ia dengan iseng berujar, “Tenang, Sal. Gue bakal marahi Kak Bagas kalau enggak follow back lo. Tunggu aja, ya.” “Terima kasih. Permisi, Kak Bagas dan Chindai.” Seusai mengamati kepergian dengan raut ceria yang tidak luput dari Salsa, Bagas malah beroh ria sambil bersedekap menghadap Chindai. Dibalas berani dengan gertakan yang serupa, ia mengelus lembut puncak kepala gadis itu dan mengangkat sebelah alis tebalnya. “Lo kasih kode pengen pegang akun gue?” “Enggak kepikiran sampai situ, Kak.” Chindai tertawa, rupanya mulai merasakan setitik kenyamanan bercanda gurau seperti ini. “Iseng doang. “Dipegang juga enggak apa-apa. paling lo un-follow semua cewek.” “Gue enggak sesadis itu. Paling gue block.” Bagas terperangah, tak berkedip melongok Chindai. Setengah ragu, Inai-nya tidak selugu perkiraan. “Ini benaran Gloria Pandanayu Chindai atau makhluk gaib di sekolah, sih? Seram amat!” “Manusia.” Gelak puas yang ditampilkan Chindai lagi-lagi membuat Bagas menyentil hidung mancung tersebut. “Lo sadar enggak, sih, Ndai, kita belum foto bareng?” “Hem?” “Ya, seingat gue sahabat-sahabat lo aja sudah pernah foto bareng gue.” Di masa orientasi siswa tempo hari, kebetulan Bagas memegang gugus Salma dan kawan-kawan, lalu ketiganya mengajak swafoto. Bodohnya lagi, Bagas baru mengingat pagi tadi. Definisi dunia memang sempit. “Gue tahu, Kak,” gumam Chindai seakan-akan mengerti fragmen yang dimaksud oleh Bagas barusan. “Lo enggak cemburu?” “Cemburu ke orang yang enggak tepat?” Chindai menengok Bagas yang sesaat melihatnya dengan bibir berdenyut menahan senyum. Ia juga merasa berbohong bila mengelak. Di hari yang sama, ia mengamuki Chelsea, Marsha, dan Salma karena berani mencuri start. Chindai saja menahan diri untuk tidak tampak suka Bagas. “Alasan diterima,” gumam Bagas apatis. Selanjutnya, ia mengubah mimik muka serius. “Apa yang mau lo jelaskan sekarang? Kenapa lo bisa diajak Rio ke acara ulang tahun Rakey semalam?” “Gue cuma bantu Kak Rio.” “Jangan coba-coba bohong.” “Gue serius. Lo aja yang terus salah paham selama ini.” Chindai akhirnya mulai memberanikan diri jujur meskipun tidak terus terang. “Gue bilang jangan dekat Rio, lo enggak percaya.” Sesampainya di parkiran, Chindai langsung menerima uluran helm Bagas sembari genggaman keduanya yang akhirnya terlepas. “Kalau kita bahas itu lagi, Kak, bisa-bisa berantem entar. Capek tahu, enggak?” “Lo enggak nurut omongan gue.” Sesaat menaiki motor besarnya, Bagas menatap Chindai dalam selagi gadis itu bertahan tegak menghalanya. “Chindai …, Chindai. Gue, tuh, sadar diri aja kalau lo banyak yang dekati.” “Dih. Kayak Kakak enggak aja.” “Marah? Cemburu?” “Enggak,” jawab Chindai cepat, tetapi pipinya yang memerah menjadi bukti jika kebohongan cepat maupun lambat akan terdeteksi. Entah kenapa jiwa merajuk Chindai muncul. Siapa suruh memusuhinya hanya karena salah paham—tidak, memang ia yang salah. Akan tetapi, respons Bagas kemarin-kemarin sangat mengganggu. “Chindai.” “Aaa—Kak Bagas!” Detik berikutnya, gelak Bagas menyembur bersamaan menghindari pukulan maut Chindai di pundaknya. Ia baru saja mengambil foto gadis itu spontan. Hasilnya tidak sempurna, tetapi Bagas memiliki ide cemerlang. “Hapus, Kak!” “Enggak mau, Inai. Naik dulu, yuk, biar bisa pulang. Masih banyak yang harus kita bahas. Lanjut di motor” *** Bagas mengunggah foto tersebut di media sosialnya! Chindai hampir saja menangis karena gebrakan yang dilakukan Bagas amat sangat tidak disangka-sangka. Dipastikan kini nyaris seluruh warga SMA Rajawali mengetahui unggahan Bagas di media sosial. Berbagai komentar pun masuk, pro dan kontra tentang keributan sosok di balik foto tersebut. Hingga muncullah salah satu username yang menyebut Michelle, lantas Bagas tak pikir panjang menandai akun Chindai, bahkan memberikan emotikon paling meresahkan yang tentu saja mengagetkan semua hati. Tanda hati yang penuh makna. “Kak Bagas, hapus, ih!” Chindai bersikap rewel, dipukulnya belikat Bagas yang justru tertawa sambil menunggangi kendaraan roda duanya. Entah kenapa, laki-laki itu menjadi menyebalkan luar biasa. “Kak Bagas, ya ampun!” “Apa, Inai?” Bagas berdeham, menetralisasi tawanya yang konstan tersisa meski susah payah dihilangkannya. “Enggak apa-apa, dong, ya. Itu foto pertama di feeds gue. Sudah lama enggak post, habis dihapus semua kemaren.” “Malu, Kak.” “Bagus, kok, fotonya. Kelihatan ... cantik.” Jujur, kini Bagas sedikit tenang. Di pikirannya, Rio saja semena-mena mendekati beberapa gadis selain Chindai, sehingga kenapa Bagas yang hanya menyukai satu dari sekian banyak kaum Hawa, dipaksa menyerah? “Kak, lo dengar gue enggak, sih?” Chindai makin mengerucut, mulai tidak peduli ekspresinya yang memalukan nafsi. Di balik spion, ia dan Bagas sejenak bersinggungan tatap. “Entar cewek lo marah gara-gara unggahan itu.” “Yang ada hari ini gue berhasil bikin cowok se-SMA Rajawali sakit hati karena cekiber mereka gue bawa pulang.” Masih dengan saling memandang meskipun tak secara langsung, Chindai berujar lagi, “Tolong, ya, Kak Bagas. Tuh, kaca jangan buat lihat gue doang, tapi ngaca sendiri. Lo juga dianggap cewek-cewek SMA Rajawali sebagai cokiber. Cowok kita bersama.” “Gue, tuh, condaise. Cowok Chindai seorang.” Bagas terbahak-bahak, beruntung tidak sampai oleng menyetir. Di pihak belakang, Chindai melirik horor pundak laki-laki yang memboncengnya itu. Bukannya baper, yang ada malah bergidik ngeri. “Cringe abis!” “Lagi pula, Ndai, orang kayak lo enggak berbakat jadi playgirl, Ndai.” “Dan lo juga berbakat banget jadi playboy, Kak. Dua hari lalu unggah instastory bareng siapa itu ... Bella, ya?” Chindai berkata angkuh, berbanding terbalik dengan tawa pelan yang diluncurkan Bagas. “Kemaren bikin heboh sejagat pakai baju couple di acara orang. Hari ini lo mengikutsertakan gue?” “Memang lo enggak senang?” ”Tertekan iya.” “Maaf.” Selanjutnya, Bagas memelankan laju motor agar bisa menikmati obrolan bersama Chindai. “Maaf untuk semuanya, yang gue lakuin beberapa hari ini.” “Gu-gue juga minta maaf, Kak.” Hening. Sejenak hanya semilir angin di musim hujan yang terasa sejuk membelai kulit. Bagas maupun Chindai sama-sama meresapi keintiman yang setelah sekian lama untuk pertama kali tidak berbalut amarah. Tanpa sadar sudut bibir keduanya sama-sama melengkung samar, senang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD