36. | Akhirnya Tahu Kebenaran

1443 Words
“Mau makan dulu, Ndai?” “Kakak lapar? Kalau begitu, kita mampir.” Bagas berdengkus pelan akibat pertanyaannya justru dibalikkan oleh gadis manis nan lugu di belakangnya. Ia melirik spion, di mana Chindai juga mengamatinya dengan pipi yang terlihat merah merona. Bagas tidak dapat menahan bibirnya hingga tertarik ke atas. “Enggak, Inai. Gue tanya lo.” “Gue kenyang, Kak. Pas kumpul tadi, gue makan banyak gorengan. Lumayan, jatah Chelsea dan Salma jatuh ke gue.” “Dasar, tukang makan.” Chindai lanjut menyeringai. Pandainya Bagas kini membuka pembicaraan cukup membantunya yang konstan berdebar-debar. Meskipun tak hanya sekali dua kali pulang bersama, tetap saja rasa sungkan mendominasi. “Yang penting gue kenyang. Wlek!” “Mama …, hem, maksud gue Tante tahu lo pulang agak malam begini?” Bagas pengap, serta-merta merutuki ocehan sendiri di dalam hati. Ia nyaris mengumpat sebab Chindai lagi menyengir jenaka. “Kita langsung pulang?” “Sans. Kak Rio sudah kasih tahu Mama.” “Inai, gue mau tanya. Lo dan Rio … ada hubungan apa?” Sunyi yang tercipta dan juga jawaban tak kunjung didapat, menyebabkan Bagas menggeram penuh penyesalan. Ia benar-benar menjadi jengkel. “Lupakan.” Chindai masih di mode diam di menit-menit yang berlalu. Setelah sekian lama, akhirnya Bagas mempertanyakan ikatan antaranya dan Rio. Tiba-tiba Chindai bingung, tidak tahu apa yang mesti dijawabnya, menjelaskannya pun entah dari mana. Mungkin Bagas akan menyerapnya ketika mereka sampai di tujuan. “Arah rumah lo mana, Ndai?” Bagas rupanya mengalihkan topik. “Antar ke butik Mama aja, ya, Kak.” Chindai sedikit menaikkan suaranya, takut tak terdengar. “Di rumah enggak ada orang.” “Entar gue dimarah Rio, Ndai,” tutur Bagas tiba-tiba. Tak pula dihadiahi jawaban, cepat-cepat ia meralat, “Hem, tunjukkin jalannya, ya.” “Sekitar satu kilometer dari sini, ada pengkolan ke kiri. Butiknya Mama kelihatan langsung kelihatan, kok.” Melihat Bagas mengangguk, Chindai balik termenung. Ia ingin bertanya satu atau dua hal, tetapi memilih mengurungkannya tanpa sebab. Lagi pula, Bagas langsung yang memerintahkan untuk tidak mencari tahu sampai nanti diungkap—entah kapan. Biarlah, untuk beberapa saat menikmati lebih baik daripada mengetahui kenyataannya. “Tentang Forum sekolah. Maaf, Ndai, bikin lo enggak nyaman.” “Jatuhnya gue jahat banget, ya, Kak.” Chindai tak kesal, murni tergelak geli sesaat tidak sengaja bersinggungan tatap dengan Bagas di spion. “Perusak hubungan orang.” “Penulisnya g****k. Gue ajak berantem, nanti malah jadi masalah.” “Jangan macam-macam, Kak Bagas. Lo sudah buat surat perjanjian enggak bakal berantem lagi di sekolah, Kak. Kemaren cukup pertama dan terakhir. Malu-maluin aja kalau sampai ngulang.” Bagas berdecak terima, bahkan tidak sengaja mempercepat laju kendaraan yang—sesuai arahan Chindai—berbelok ke sebelah kiri. “Gue enggak meradang kalau mereka enggak aneh-aneh, Ndai. ” “Gue enggak masalah, kok. Masih ada hal utama lainnya daripada buang waktu sia-sia untuk kelihatan bodoh.” “Michelle sedikit pun enggak coba hapus beritanya. Gue suruh dia, tapi katanya enggak bisa dihilangkan. Gue kesal banget” “Lupa kali.” Chindai memeluk erat tas Bagas yang dititipkannya hingga aroma maskulin menyeruak di hidung, apalagi menjadi pemisah antaranya dan laki-laki yang tengah fokus menyetir itu. “Minggu depan juga hilang. Tinggal tunggu waktu, Kak. Jangan emosi melulu.” “Gue enggak nyaman, Chindai.” “Gue juga, tapi sudah telanjur. No biggie. Jurnalis akan iya-iya doang, entar pasti diulang. Menyanggah sama dengan memutarbalikkan fakta, Kak,” ujar Chindai kelewat bijak. “Kita enggak merasa bersalah, kenapa mesti marah? Kalau kita lawan dan rumor dihapus, siswa-siswi makin heboh menggosip.” “Lo tahu satu-satunya gosip yang gue accept?” Bagas berkata pelan-pelan hingga diyakininya Chindai pun akan memasang telinga baik-baik demi mendengarkannya. “G-gue dan lo, bukan gosip belaka.” Chindai mendadak kehilangan kemampuan bicaranya. *** “Mama!” Ayu menyambut hangat kedatangan anak gadisnya selepas menanggalkan kain-kain yang dipegangnya ke atas meja jahit. Mata wanita paruh bayah itu berbinar-binar melongok laki-laki tampan seumuran Chindai ikut serta menyalaminya dengan khidmat. “Kenapa enggak langsung ke rumah?” “Maaf, ya, Tante, Chindai kemalaman karena Bagas,” tutur Bagas sopan sebelum Chindai menjawab. Tak lupa ia menampilkan senyum manis andalannya. Sebenarnya, Chindai sudah menyuruh pulang dan tak perlu sampai menemui Ayu, tetapi Bagas bersikukuh mengomelinya hal yang berhubungan dengan tanggung jawab selaku laki-laki. Lucunya, Bagas menjelek-jelekkan Rio. Astaga. “Lo pulang malam sama gue. Jadi, gue berkewajiban ngomong sama orang tua lo. Pria sejati begitu, Ndai. Bukan Rio yang enggak tahu aturan.” Tentu saja Ayu tidak mungkin marah. Chindai mengabari setiap saat, begitu pun perihal kepulangan terlambatnya. Lagi pula, Rio juga telah terlebih dulu menyampaikan pada Ayu. Dasar saja Bagas kelewat lebay. “Kamu temannya Chindai?” “Saya Bagas, kakak kelasnya Chindai, Tante. Seniornya di ekstrakurikuler musik. Salam kenal, Tante.” Chindai gemetaran sebab perkenalan Bagas yang terlampau lengkap. Ia berharap laki-laki itu bergegas pergi saja. Bagaimanapun, Ayu pasti semangat empat puluh lima merecokinya sepanjang hari. Hanya saja, tampaknya Chindai harus menelan asa karena pemandangan keakraban yang ditunjukkan Ayu dan Bagas. “Ini, toh, yang namanya Bagas,” kata Ayu tersenyum ramah. “Ganteng banget, ya, kamu. Duh, Tante jadi senang.” “Iya, Tante, terima kasih.” “Pertama kalinya, lho, Chindai pulang bawa cowok ganteng. Bosan juga ternyata tiap hari lihat Rio. Terima kasih, ya, sudah antar anak Tante.” “Sama-sama. Bagas juga senang bertemu Tante.” Bagas mengangguk, sedangkan dalam hati menyimpan interogasi besar perihal kedekatan Rio dan Chindai. Lagi-lagi, kedua insan itu seperti memiliki benang tak kasat mata. Sayang, sampai sekarang Bagas tidak diizinkan untuk mengetahuinya. “Ndai, Rio ke mana, ya?” Ayu bersulih menatap Chindai yang masih diam saja dengan wajah pucat pasi. “Dari pagi belum ketemu Mama. Dia semalam ngomongnya sakit, tapi tetap sekolah. Mama khawatir.” “Lagi cari perhatian cewek, Ma. Yang kata Mama cantik waktu kita jalan tempo hari. Tuh, lagi pendekatan.” “Si Ify? Serius kamu, Ndai?” Chindai mengangguk singkat, setengah gugup pula. Ia takut akan respons Bagas jika sebentar lagi akhirnya mengerti sesuatu yang cukup besar. “Dua rius, Ma. Cita-cita Mama, kan, punya menantu kayak Ify. Dikabulkan Kak Rio, tuh.” “Suruh Rio tidur di rumah kita aja, papanya lagi keluar kota selama seminggu. Kalau bisa, hari Minggu Rio harus bawa Ify,” kata Ayu mendadak histeris. “Astaga, Rio enggak cerita lagi sama Mama.” “Nikahin langsung, Ma.” “Kalau Ify siap, Mama bakal suruh Rio.” Chindai menepuk keningnya, tiba-tiba kesal. “Chindai nginap di tempat Chelsea, deh. Bosan ketemu Kak Rio terus.” “Mulutnya, Chindai.” “Bercanda, Ma.” Adapun Bagas terhenyak di posisi. Dialog ibu dan anak tersebut menggambarkan kebetulan yang baru disadari, yakni fakta Rio merupakan tetangga Chindai. Bagas syok berkesinambungan. Beberapa kali ia mengantar gadis itu pulang, tetapi bukan ke rumah, melainkan kediaman Chelsea. Malu mendorong Bagas ke dasar jurang, meratapi kebodohan berminggu-minggu atas tuduhan yang ditelaah ternyata meleset amat jauh. Rasanya, Bagas tak mempunyai muka lagi untuk minta maaf pada Rio. Chindai pula tak memberitahu apa pun—seperti memang sengaja membuatnya kebingungan. Inai-nya tak berniat sama sekali menerangkan kesalahpahaman di antara mereka. Itu fakta yang lebih menyebalkan. “Bagas jarang main tempat Rio, ya?” tanya Ayu memecahkan lamunan Bagas. “Tante enggak pernah lihat kamu soalnya.” “Wong Mama kerjaannya di butik setiap hari,” singgung Chindai tepat sasaran dan lantas mendapat delikan Ayu. “Memangnya kamu pernah lihat?” “Seringnya Rio yang main ke rumah Bagas, atau kita cari tempat kumpul, Tante.” Bagas mesem lebar, berusaha keras menahan diri agar tidak menjalankan keinginan di hatinya. Jika tak ada Ayu, niscaya menghakimi Chindai lahir batin. “Rio sudah mengabari Tante kalau Chindai diantar calon pacarnya.” Kemudian, Ucapan Ayu membuat Bagas dan Chindai tukar pandangan kekagetan beberapa saat. Dasar, Rio! “Ma, jangan percaya omongan Kak Rio!” Chindai bertenggang gelisah luar biasa, pun segala macam kutukan dikumandangkan spesial untuk kakak angkatnya. Pasti Rio sedang ngakak habis-habisan di kamarnya yang berantakan itu. Tak mau makin merunyamkan suasana, Bagas berdeham kecil sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, lalu bergerak menyalami wanita paruh baya di depannya. “Tante, Bagas pamit pulang dulu, ya. Lain kali, Bagas main ke rumah, deh. Terima kasih waktunya.” “Wajib, Nak Bagas. Hati-hati, ya, kamu.” Bagas tersenyum miring saat Bagas diperintahkan mengantarnya hingga naik ke atas motor. Sebelum berlalu, ia pun memerintahkan gadis itu mendekat ke arahnya dan syukurlah dituruti. Selanjutnya, Bagas mencondongkan wajahnya, berniat membisikkan sesuatu yang memicu gadis itu menegang lama. “Bagus, lo buat gue salah paham selama ini. Begini mainannya atau bagian dari cara lo mencoba memikat gue untuk cemburu, Inai?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD