“Shitt …!” umpat Ishan karena tangannya tergores oleh timah panas dari lawannya.
Di sebuah lorong yang sepi dan gelap, tampak sekumpulan orang dengan memakai pakaian serba hitam dengan menggunakan topi berlogo sebuah burung elang yang berwarna hitam. Mereka tampak sedang memegang senjata dan siaga di tempatnya masing-masing.
Dor … dor … dor!
Mereka saling membidik dan menembak melawan sekumpulan orang yang menggunakan kaos merah dengan tulisan Triad yang cukup besar. Siapa pun bisa melihat jika saat ini sedang terjadi baku tembak antara dua kelompok mafia.
“Bos … Anda baik-baik, aja?” tanya seseorang sambil menarik tangan Ishan ke belakang mobil yang ada di dekatnya.
Pria yang diketahui bernama Arkan itu mencoba menyelamatkan bosnya sambil membungkukkan badannya agar tidak terkena tembakan dari musuhnya. Mereka berdua saat ini sedang berlindung di belakang sebuah mobil mewah yang sudah menjadi sasaran tembak kelompok Triad.
“Hey … apa yang kamu lakukan, hah? Singkirkan tanganmu itu!” bentak Ishan sambil menepis tangan Arkan dengan kasar.
“Bos, kalau aku nggak menarik kamu ke sini, bisa jadi kepala kamu yang ditembus oleh timah panas mereka,” jawab Arkan menjelaskan sambil mengisi timah ke dalam pistolnya.
Setelah selesai mengisi amunisi untuk senjatanya, Arkan pun berdiri dan hendak menodongkan pistolnya ke arah lawan. Namun, tanpa dia sadari terdengar suara tembakan tepat dari sampingnya.
Dor … dor … dor!
Siapa lagi pelakunya jika bukan Ishan Kawindra, pemimpin mafia terbesar di dunia dan terkenal akan kekejamannya yang sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dia adalah pemimpin kelompok mafia terbesar dan terkuat yang bernama Black Eagle.
Setelah selesai dengan urusannya, Ishan berjalan dengan santainya ke arah mobilnya yang sedang terparkir tidak jauh dari tempatnya berada. Dia merasa malam ini sangat melelahkan karena harus menghadapi kelompok Triad yang memang sengaja mencari masalah dengan dirinya.
Dor … dor … dor!
Namun, tanpa dia duga ternyata terdengar suara tembakan lagi dan ketika dia berbalik ada timah panas yang mengenai perutnya. Ia pun langsung merunduk dan berlindung di di balik sebuah dinding yang ada di dekatnya.
“Sialann …!” umpatnya dengan kesal.
Tangan satunya dia gunakan untuk menembak ke arah lawan, sedangkan tangan yang satunya dia gunakan untuk menekan lukanya agar pendaharannya tidak semakin parah.
Di sisi lain, tampak seorang gadis sedang berjalan dalam gelapnya malam. Dia baru saja selesai membeli mie instan karena perutnya yang tiba-tiba keroncongan sedangkan di dapur tidak ada makanan sama sekali. Sahabat yang tinggal bersama dengan dirinya masih belum pulang karena ada acara kantor selama dua hari ke depan.
“Feeling good, like I should. Went and took a walk. Around the neighborhood …!”
Gadis cantik yang biasa dipanggil Iresh itu berjalan sambil bersenandung mengikuti lirik lagu yang dia dengarkan melalui headset yang tersambung ke ponselnya. Oleh karena itu, dia tidak mendengar ada suara tembakan yang tidak jauh dari tempatnya berjalan.
Ishan yang melihat ada seorang gadis dengan mengenakan jaket sambil berjalan dan sesekali menari, tampak terlihat panik. Dia kemudian melihat ke arah gadis itu dan lawannya secara bergantian. Di satu sisi dia tidak ingin gadis itu menjadi korban baku tembaknya. Namun, di sisi lain dia tidak ingin gadis itu melihat dirinya yang sedang terluka tembak.
Dia bukannya takut, tapi dia tidak ingin berurusan dengan hukum karena pasti orang yang menolongnya akan membawanya ke rumah sakit. Setelah itu pasti pihak rumah sakit akan menghubungi pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan.
“Jangan sampai dia tahu kalau aku sedang baku tembak,” batin Ishan yang kemudian memilih menyembunyikan pistolnya ke balik jasnya.
Pria itu kemudian tampak meringis dan mengerang menahan sakit sambil bersandar di dinding yang ada di dekatnya. Iresh yang tanpa sengaja melihat ada seorang pria sedang terluka, maka ia pun langsung berlari mendekatinya sambil melepaskan headset dari telinganya.
“Anda kenapa, Tuan?” tanya Iresh memastikan.
Dor … dor … dor!
“Aakkhhh …!” pekik Iresh syok sambil menutup kedua telinganya.
Terdengar tembakan untuk terakhir kalinya. Kemudian suasana hening. Namun, masih menyisakan rasa syok di dalam diri gadis cantik itu.
Ishan tahu jika yang menuntaskan baku tembak itu adalah Arkan, tangan kanan yang sekaligus juga sahabat baiknya. Namun, tubuhnya terasa lemas karena banyaknya darah yang keluar dari luka di perutnya.
Iresh seakan baru tersadar setelah matanya tanpa sengaja melihat pria yang sedang terduduk lemas di hadapannya meringis menahan sakit. Ia pun langsung mendekat dan membantu pria itu untuk menekan lukanya agar bisa menghentikan pendarahannya. Bahkan, dia sampai melepas jaket yang dia kenakan untuk menahan luka tersebut.
“Tuan, bertahanlah! Aku akan mencari bantuan,” ucap Iresh dengan tangan yang gemetar karena masih syok dengan keadaan yang dia hadapi saat ini.
Ketika gadis itu pergi meninggalkan Ishan untuk mencari bantuan, pria itu pun langsung berdiri. Meskipun dengan sedikit sempoyongan, tapi dia masih bisa berjalan untuk kembali menuju ke mobilnya.
Di sana Arkkan sudah kebingungan mencarinya karena sejak tadi dia tidak melihat bos yang sekaligus juga sahabat baiknya tersebut.
“Bos … Bos!” panggil Arkan sambil melihat ke segala penjuru.
Beberapa saat kemudian. Arkan melihat ada seorang pria yang sedang berjalan dari sebuah lorong kecil. Pria itu kemudian menajamkan pengelihatannya untuk mengenali siapa sosok tersebut sambil menodongkan pistolnya.
“Bos …!”
Setelah jarak mereka tinggal beberapa meter lagi dia melihat jika yang sedang berjalan itu adalah Ishan. Lantas ia pun langsung berlari menghampiri pria itu. Kemudian membopong dan membantu Ishan untuk memasuki mobil.
“Bertahanlah, Bos. Kita langsung pulang ke rumah,” ucap Arkan memberi tahu.
“Kamu kira aku udah mau mati, sampai kamu menyuruhku untuk bertahan, hah?” desis Ishan.
Arkan pun hanya diam tidak menjawab ucapan Ishan. Semua orang juga tahu bagaimana Ishan yang selalu berkata-kata pedas kepada siapa saja. Bahkan, karyawan perusahaannya juga mengenal pria itu sebagia CEO dingin dan arogan.
“Dasar si mulut cabe!” umpat Arkan dalam hati.
Pria itu berani mengumpat bosnya di dalam hatinya saja karena dia masih sayang dengan nyawanya. Ishan memang terkenal kejam karena dia tidak segan-segan untuk membunuh siapa saja yang sudah berani menyinggungnya.
***
Di sisi lain, tampak Iresh yang baru saja kembali sambil membawa dua orang penjaga toko tempat dia berbelanja tadi. Namun, ketika baru sampai dia tampak kebingungan karena pria asing yang tadi terluka sudah tidak ada di tempatnya semula.
“Ke mana pria itu?” tanya Iresh sambil melihat ke sekeliling untuk mencari keberadaan pria tersebut.
“Apa kamu yakin dia tadi ada di sini?” tanya Bisma, penjaga toko yang Iresh kenal.
Daniel, teman Bisma yang hendak ikut menolong tampak mencari ke sekitar, sedangkan Iresh dan Bisma tampak masih kebingungan. Mereka berdua tampak melihat ke sekeliling untuk mencari keberadaan pria asing tersebut.
“Sangat yakin! Ini belanjaanku juga masih di sini,” jawab Iresh sambil menunjuk kantong plastik miliknya tadi.
Karena sangking paniknya, Iresh tidak memikirkan lagi belanjaannya. Yang ada di dalam pikiran perempuan itu hanya bagaimana caranya dia bisa mencari pertolongan secepat mungkin.
Sebenarnya dia tidak tahu pasti apa yang sudah terjadi terhadap pria asing tadi karena yang dia lihat perut pria itu sudah berlumuran darah. Sampai sekarang dia masih mengira jika pria tersebut adalah korban penusukan dari para preman yang sering meminta uang secara paksa kepada para pejalan kaki yang tanpa sengaja sedang berpapasan dengan mereka.
“Ke mana perginya dia? Kasihan perutnya penuh darah dan aku pakaikan jaketku untuk menahan darahnya,” lanjut Iresh menjelaskan.
Bisma dan Daniel hanya diam mendengarkan penjelasan gadis cantik itu. Bukan mereka tidak percaya terhadap ucapan Iresh, tapi mereka juga bingung ke mana perginya pria yang sedang terluka itu?
“Mungkin udah ada orang lain yang menolongnya,” jawab Bisma pada akhirnya.
Akhirnya ketiga orang itu pun pergi meninggalkan tempat tersebut. Mereka berjalan bersama-sama untuk mengantarkan Iresh sampai ke rumah kontrakannya terlebih dahulu karena tidak ingin terjadi apa-apa terhadap gadis itu.
“Lain kali jangan keluar malam-malam, bahaya!” pungkas Bisma memperingatkan.
“Mana aku tahu kalau akan ada kejadian seperti ini. Eh … ngomong-ngomong, tadi kamu dengar suara tembakan?” tanya Iresh pada Bisma dan Daniel.
Kedua pemuda itu pun seketika saling berpandangan satu sama lain. Mereka tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Iresh.
“Tembakan? Petasan kali,” sahut Bisma dengan raut wajah kebingungan.