Chapter 2

1220 Words
Jagat hiburan Amerika kembali dihebohkan skandal terbaru yang menimpa model kontroversial, Sophie Boucher. Semua media sosial dari twitter hingga i********: pun beramai-ramai mengomentari aksi sang model yang selalu terlibat masalah itu, banyak yang menguatkan hati Sophie untuk sabar menghadapi hukuman, pun banyak juga yang menghujatinya dan menyebutnya sebuah karma. Ini kali kedua Sophie harus berurusan dengan pihak polisi setelah sebelumnya dia tertangkap karena menyetir mobil dengan keadaan mabuk berat. Tak sampai sebulan, gadis blonde yang eksentrik itu tertangkap basah pesta narkoba bersama beberapa teman di apartemennya. Sophie seakan tidak takut dengan hukum, justru merasa bahwa dia tidak bersalah dengan alasan pekerjaan yang menyita waktunya itu harus menuntut sang model memiliki stamina bagus. Namun, akibat pendapat egois itu, Sophie ditentang banyak pihak termasuk manajer dan agensinya. Bak jatuh tertimpa tangga, Sophie yang masih dalam proses menunggu keputusan hakim kota pun harus menerima kenyataan bahwa dia dipecat dari agensi yang telah membesarkan namanya. Di tempat rehabilitasi yang sudah beberapa hari dia tempati, Sophie tidak didampingi manajer atau pengacara. Semua barang gadis itu telah disita oleh pihak kepolisian sebagai barang bukti menambah daftar penderitaan. Kini dia termenung, menatap kosong tembok pemisah dirinya dengan dunia luar. Sophie sama sekali tak menyesal, dunia memang sudah kejam semenjak dia lahir, bahkan ketika dirinya berada di sini, dunia pun seolah tidak peduli. Iris mata biru itu berpaling, melihat seorang lelaki tegap yang beberapa hari lalu dia temui di kantor polisi. Lelaki berjas mewah yang sedang berbicara dengan gadis yang mungkin lebih muda darinya, bisa jadi itu kekasih atau adiknya, Sophie tidak tahu. Lelaki berambut tembaga itu nampak serius berbicara dengan gadis berkulit pucat bak pualam yang Sophie dengar bernama Cindy Clayton. "Dia masih beruntung," gumam Sophie yang kini beradu tatap dengan lelaki itu. Sophie menaikkan alis, menatap angkuh mata tajam yang kini sedang berusaha mengunci dirinya. Lalu Sophie mengalihkan pandangan, memilih tenggelam dalam lamunannya sendiri. ## Sebuah keberuntungan beruntun yang didapat Evan bisa bertemu dengan gadis yang mirip dengan mendiang istrinya. Dia baru ingat bahwa gadis gila yang menumpahkan cairan urin di baju polisi beberapa hari lalu adalah salah satu model pakaian dalam dari brand BSexy yang sering tersandung masalah. Salah satu alasan lain yang digunakan Evan untuk mengunjungi tempat rehabilitasi narkoba dan alkohol BrideBack to Life Center, meski hanya diperbolehkan mengunjungi seminggu sekali. Ditatapnya Cindy yang masih saja murung seolah dunia telah berakhir. Padahal Evan tidak henti-hentinya mengatakan bahwa Darrel bukanlah lelaki satu-satunya di dunia walau pun jaman telah mendekati hari akhir. Namun, Cindy tidak menggubris bahkan dia mengatakan bahwa Evan hanya memikirkan perasaannya saja. "Ibu akan menemuimu minggu depan, Cindy," ucap Evan, "dia khawatir padamu." Cindy mendecih lalu menertawakan dirinya sendiri, memandang wajah kakak satu-satunya seraya berkata, "Sejak kapan ibu memedulikanku? Kukira hanya kau yang diakui mereka sebagai anak, Evan." "Come on, harus berapa kali kukatakan bahwa mereka tetap menyayangimu walau kau—" "Aku berandalan? b******k? Pecandu?" potong Cindy. "Bahkan Ayah pun tidak mau melihatku, Brother." "Kau tetap adikku, Cindy, Ayah hanya sedang sibuk hingga tidak sempat datang," kata Evan berbohong. Cindy beranjak dari tempat duduknya merasa jenuh mendengar kebohongan yang dikatakan Evan. Dia tahu bahwa orang tuanya tidak akan menganggap Cindy sekali pun dia merampok bank. Hanya Evan yang dielu-elukan di keluarga Clayton, bukan dirinya yang sudah cacat di sisi psikologinya. Hubungan dengan Darrel seakan menambah suram hidup Cindy, kini dia tidak punya siapa-siapa lagi untuk bernaung dan menampung segala keluh kesahnya. "Pergilah Evan, bukankah tugasmu banyak? Aku tahu kau ke sini bukan untuk melihatku juga," sindir Cindy yang dibalas senyum miring Evan. "Your eyes can't lie to me. Ayolah, dia gadis nakal yang sama sekali beda dengan istrimu." "I know. Hanya saja aku seperti bertemu dengan istriku lagi." "You must be kidding me, Brother. It's been five years, you must move on, don't you?" Evan mengangguk, melirik si gadis blonde bermata biru yang kini sedang melamunkan sesuatu. Tatapan angkuh Sophie memang membuat Evan tertarik, seharusnya seorang model papan atas merasa menyesal atas apa yang dilakukannya terutama dengan barang haram seperti kokain. Namun, beda dengan Sophie yang sama sekali menganggap semua ini dengan santai. ### "Dady ... " teriak seorang anak laki-laki ketika melihat Evan masuk ke dalam mansion mewah. Anak lelaki yang berambut tembaga dengan mata biru berlari dari arah ruang tengah, memeluk sang ayah dengan begitu erat. Evan menangkap tubuh anaknya lalu berputar seolah ingin membawa anak kecil itu terbang menembus langit. Sejenak mereka berdua tertawa membuat para pengurus rumah besar itu terharu. Meski mereka tahu bahwa istri Evan telah meninggal, tapi mereka salut dengan kesetiaan sang pemilik rumah untuk tetap menjaga cinta kepada mendiang istrinya. Evan pun juga selalu meluangkan waktu untuk melihat tumbuh kembang Brave Clayton—anak satu-satunya yang sungguh mirip dengan Cecilia. Bahkan waktu pun tidak terasa berlalu begitu cepat, Brave kini menjadi anak lelaki yang periang dan menggemaskan. Meskipun tingkah lakunya tidak dapat diatasi oleh seorang baby sitter. Evan akhirnya menyerah, dia pun hanya menyuruh beberapa pengurus rumah untuk mengawasi anaknya, itu pun kadang mereka mengeluh dengan sikap Brave yang terlalu hiperaktif. "Hei, little man, bagaimana kabarmu?" tanya Evan seraya menggendong anak lelakinya menuju dapur. "Aku sangat senang, Dady, Bibi Martin membantuku menggambar robot." "Wow, kau sungguh pintar, Brave," puji Evan mencium puncak kepala Brave dengan sayang. "Dad ... kapan Mommy pulang?" Evan terdiam sejenak, pertanyaan yang selalu diajukan oleh Brave meski Evan telah menjelaskan bahwa Cecilia pergi ke negeri yang jauh. Evan masih tidak tega memberitahu Brave bahwa lelaki kecil itu sudah tidak memiliki ibu. Ditatapnya kedua mata bulat Brave yang menunggu jawaban dari sang ayah, Evan mendudukkan diri di atas kursi dan meraih sebuah apel dan memberikannya pada Brave. "Ibumu akan pulang, Brave. Kau harus sabar, oke." Mulut Brave yang kemerahan mengerucut, kedua tangan kecilnya membelai apel. Evan pun mencium puncak kepala Brave dengan sayang, dalam hati dia sungguh jahat telah membohongi anaknya selama lima tahun ini. Tapi, sungguh dia tidak tega jika memberitahu bahwa anaknya tidak memiliki ibu seperti anak-anak lain. "Aku merindukan Mommy, Dad," keluh Brave dengan air mata yang menetes dari kedua matanya. "Hei ... little man ... " Evan mendudukkan Brave di atas kursi di sisi kirinya lalu mengusap kedua pipi anaknya yang basah dengan kedua jempol. "Bukankah kita sudah sepakat untuk menunggu ibumu bersama-sama?" Kepala Brave mengangguk cepat namun bibir mungilnya masih saja mengerucut. "Berjanjilah kau akan kuat menahan rasa rindu pada ibumu, Brave," ucap Evan mengacungkan jari kelingkingnya. "Aku janji, Dad," balas Brave sambil mengusap ingusnya dan melingkarkan jari kelingkingnya kepada Evan. "Apakah ... saat ulang tahunku nanti, Mommy akan datang?" Evan terdiam, entah harus merangkai kebohongan lagi atau tidak mendengar pertanyaan Brave. Dia baru ingat bahwa hari ulang tahun anaknya dua bulan lagi, tidak mungkin pula dia beralasan bahwa Cecilia tidak bisa datang karena sibuk bekerja atau delay pesawat. Brave akan semakin tumbuh, otomatis dia akan semakin menanyakan tentang keberadaan ibunya yang sebenarnya. Tangan kanan Evan mengacak rambut Brave dengan gemas meski pikirannya kalut bagaimana cara untuk mengalihkan perhatian Brave tentang sosok Cecilia. Tiba-tiba, terlintas wajah Sophie Boucher, Evan berpikir mengapa tidak gadis itu saja yang menjadi ibu pura-pura untuk Brave selagi menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan bahwa Cecilia telah meninggal. Evan hanya perlu menunggu waktu hingga masa rehabilitasi Sophie berakhir dan dia akan meminta gadis seksi itu untuk menuruti kemauannya meski dengan paksaan. Karena kebahagiaan Brave tak kan ternilai oleh apa pun, Evan rela mengeluarkan jutaan dolar untuk membayar Sophie supaya mau berpura-pura menjadi Cecilia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD