Bab 8 - Bertemu Bidadari Lagi

2120 Words
Bab 8 - Bertemu Bidadari Lagi. Hari Minggu ini Hafidz masih menunggu Habibah di masjid itu. Tiap hari Minggu Hafidz menunggu kedatangan Habibah. Minggu ini adalah Minggu ke dua di bulan Maret Hafidz berharap kali ini Habibah yang mengisi tausiahnya. "Itu mas orangnya, namanya Afifah. Sahabatnya Ustadzah Habibah. Coba mas tanyakan padanya. Mungkin saja beliau lebih tahu tentang ustadzah Habibah," ibu itu menunjukan perempuan yang bernama Afifah. "Baik, terimakasih atas infonya," ucap Hafidz tulus. Setelah itu, itu itupun pergi kembali ke tempat shalat untuk akhwat. Sepertinya juga ibu itu sedang menunggu tausiah hari ini. Afifah terlihat keluar dari masjid. Hafidz langsung menghampirinya. "Assalamualaikum , ukhti. Perkenalkan nama saya Hafidz. Saya mau tanya, apa kamu temanya Habibah?" Tanya Hafidz. Kali ini Hafidz harus lebih berhati-hati. Jangan sampai terlihat genit atau lancang seperti kemarin. "I.. iya, tapi anda siapa ya?" Tanya Afifah. Karena dia juga baru melihat Hafidz sekarang ini. "Saya mau tanya, kenapa akhir-akhir ini Habibah tidak datang ke masjid ya? Kemarin juga saat giliran mengisi tausiah. Dia tidak ada," tanya Hafidz dengan hati-hati. "Maaf, kamu siapanya Habibah ya? Kok saya belum pernah lihat." Afifah balik nanya. "Saya temannya Habibah. Apakah Habibah baik-baik saja? Ada yang perlu saya bicarakan dengannya." Hafidz berusaha terus. Menggali informasi tentang Habibah. Kerinduannya pada bidadari masjid sungguh tidak bisa di tahan lagi. "Maaf ya, saya lagi sibuk. Permisi," tanpa menjawab pertanyaan dari Hafidz, Afifah pergi meninggalkan Hafidz. "Susah sekali sih ingin bertemu dengan kamu lagi, Habibah," gumam Hafidz. *********** Afifah masuk ke dalam masijd. Tenyata di dalam masjid ada Habibah, loh bukannya dia lagi sakit? "Habibah, kok kamu ke sini? Bukannya kamu lagi sakit? Ini juga kan bukan jadwal tausiah kamu," tanya Afifah. "Sudah sembuh kok, aku bosan di rumah. Jadi ke sini, mumpung ada waktu. Memangnya kalau bukan jadwal aku tausiah. Aku enggak boleh ke sini?" Tanya Habibah. Afifah menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, oh iya kamu kenal lelaki tampan bernama Hafidz?" Lelaki tanpan katanya? Tadi Afifah menghindari Hafidz karena Habibah apa karena Hafidz tampan? Hehe "Hafidz? Siapa ya?" Habibah tampak berpikir kira-kira ia pernah ketemu di mana orang yang bernama Hafidz itu. "Ah iya, aku sebulan yang lalu kenalan sama dia di depan masjid. Apa dia mengganggu kamu?" "Tidak, dia malah menanyakan kamu. Kayaknya ada yang mau dia bicarakan sama kamu," ujar Afifah. Tidak lama percakapan mereka terpotong karena tausiah hari ini segara di mulai. Hari ini yang membawakan tausiah adalah ustadzah Halimah, beliau adalah guru agama di sekolah SMAnya Habibah dan Afifah dulu. Ustadzah Halimah ibu dari tujuh orang anak. Meskipun anaknya sangat banyak. Namun, sepertinya ia tidak pernah kelelahan dalam mengurus ketujuh anaknya. Padahal ustadzah mengurus ke tujuh anaknya sendirian, tanpa bantuan baby siter. Ibu yang sangat hebat. Ustadzah Halimah memulai tausiahnya. Temanya tentang 'Karunia Seorang Anak' pas sekali. Ustadzah Halimah pasti akan membagikan pengalamannya selama mengurus anak-anaknya. "Anak adalah anugerah dan amanah dari Allah swt, untuk mensyukurinya, wajib menjaga pertumbuhan dan perkembangannya dengan penuh kasih sayang serta kesabaran. Anak adalah amanah Allah swt paling berharga yang patut disyukuri dan wajib diasuh dan dididik yang pada akhirnya dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya," jelas Ustadzah Halimah Anak adalah anugerah dan amanah dari Allah swt yang harus dipertanggungjawabkan oleh setiap orang tua dalam merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Orangtua seharusnya mensyukuri nikmat yang tak terhingga, karena dipercaya untuk membesarkan anak-anaknya. Untuk mensyukurinya wajib menjaga pertumbuhan dan perkembangannya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Dengan harapan anak bisa menikmati perjalanan hidupnya sebagai anak yang sholeh atau sholehah dan mencapai kemandirian, yang akhirnya menjadi kebanggaan orangtua, agama, bangsa dan ummat manusia. Orangtua diberi amanah oleh Allah swt dengan kehadiran anak, bukan hanya untuk kehidupan di dunia, melainkan juga untuk kehidupan di akhirat. Ingat bahwa tidak semua orangtua dianugerahi anak, kecuali yang dipercaya. Begitu sang isteri mengandung, di saat itulah isteri dan suami, sebagai calon orangtuawajib mempersiapkan diri untuk menjaga sejak dalam kandungan hingga dilahirkan berlanjut sampai anak siap membangun keluarga sendiri. Bahkan afdhalnya jika sudah berkeluarga pun sangat dimungkinkan masih bisa ikut mengawal kelanjutan hidupnya, sehingga tetap terjaga anaknya dalam kehidupan yang baik, terhindar dari ancaman neraka. Sebagaimana Allah swt ingatkan, dalam QS. At-Tahrim:6, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …” Dalam konteks inilah kita patut respek terhadap orangtua yang sejak awal sudah memiliki komitmen dan kepedulian akan penanaman agama kepada anak-anaknya sejak usia dini. Selain kita menjaga anak dengan mendidiknya dengan sebaik-baiknya, supaya bisa hidup bahagia di akhirat, kita juga bertanggungjawab untuk membekali anak dengan kecakapan hidup yang memadai sehingga anak-anak menjadi anak yang cakap, kompeten dan kuat. Bukan sebaliknya, membiarkan anak, sehingga menjadi sebaliknya, tak cakap, tak kompeten, dan lemah. Kondisi yang demikian mendapat peringatan keras dari Allah swt, dalam QS. an-Nisa`: 9, yang artinya “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Dengan begitu kita orangtua, wajib mendidik anak dengan sebaik-baiknya, dengan memperhatikan bakat dan minatnya, sehingga mereka bisa berkembang optimal. Orangtua, wajib mendidik anak dengan sebaik-baiknya, dengan memperhatikan bakat dan minatnya, sehingga mereka bisa berkembang optimal. Dalam menghadapi anak, memang tidak mudah. Membutuhkan perhatian yang serius sepanjang pertumbuhan dan perkembangan anak. Orangtua wajib menjaga psikologis anak. Rasulullah saw memperlakukan anak-anaknya begitu mulia, sehingga anak tidak merasa dilecehkan atau diabaikan. Diperlakukan secara adil. Beliau tidak segan-segannya, mengucapkan salam dan berjabat tangan dengan anak-anaknya. Hal ini bertujuan untuk memupuk rasa percaya diri dan menanamkan dalam jiwa mereka bahwa eksistensinya diakui oleh orangtua dan masyarakat. Perilaku-perilaku yang baik dan terpuji inilah yang patut diteladani. Begitu pentingnya anak di hadapan Allah swt, secara fitrah menempatkan anak di depan orangtua dalam berbagai posisi. Pertama, anak sebagai musuh. Dalam QS At-Taghabun Ayat 14, yang “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Di sini kita harus ekstra hati-hati bagaimana anak-anak itu bisa menjadi musuh orangtua, karena boleh jadi mereka bisa menjauhkan kita dari dzikir kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya dan bisa melemahkan tekad kita. Semoga kita bisa memaafkan mereka dan menyikapinya dengan penuh kasih sayang. Kedua, anak bisa menjadi cobaan atau ujian. Allah swt berfirman dalam QS At-Taghabun Ayat 15, yang artinya: Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. Hampir sama isinya dalam QS. Al Anfal : 28, yang artinya “Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” Dengan adanya dua ayat2 yang hampir sama, menunjukkan betapa pentingnya persoalan ini. Sesungguhnya harta dan anak-anak kita hanyalah cobaan dan ujian bagi kita. Kadang anak-anak kita yang menggoda kita untuk harta yang tidak halal. Tidak bisa ikut menjaga nama baik keluarga karena terlalu kuatnya pengaruh jelek dari lingkungan dan teman-teman sebayanya. Karena itu kita harus peduli dengan pergaulan anak. Ketiga, anak sebagai perhiasan. Allah swt berfirman dalam QS Al-Kahfi:46, yang artinya “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. Dalam hal ini anak diposisikan sebagai perhiasan dan kekayaan dunia bagi orang tuanya. Layaknya perhiasan dan kekayaan, anak diperlakukan, dijaga, bahkan disayang sebaik-baiknya oleh para orang tua. Karena sebagai perhiasan, orangtua hanya boleh menyenangi dalam ukuran standar, tidak boleh berlebihan, karena bisa melupakan Tuhan dan merusak kepribadian dan keislaman anak sendiri. Keempat, anak sebagai penyejuk hati. Allah swt berfirman dalam QS Al-Furqan:47, yang artinya “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”. Kita semua sangat mengharapkan hadirnya anak yang sholeh dan sholehah yang bisa menyejukkan hati dan mata, yang dalam kehidupannya taat beragama dan berakhlak mulia, serta taat dan loyal kepada orangtua. Juga menyenangkan hati dalam setiap tutur katanya. Selanjutnya anak-anak istiqamah dalam kebenaran. Kelima, anak adalah penerus keturunan. Allah swt berfirman dalam QS. Ali Imran: 38, yang artinya “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami dari sisi Engkau dzuriyah yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. Anak sebagai Dzuriyah (Penerus Keturunan), adalah anugerah Allah swt yang akan meneruskan garis keturunan dan cita-cita orangtua. Mari kita lihat kisah Nabi Zakaria a.s. yang saat melihat Allah swt memberikan karunia kepada Siti Maryam a.s. berupa buah-buahan musim panas pada musim dingin, beliau mengharap sekali agar memiliki anak sebagai penerus garis keturunannya. Padahal beliau telah berusia tua, tulang-tulangnya rapuh, rambutnya memutih dan istrinya pun seorang yang mandul. Sejarah ini memberikan pelajaran yang berharga, bahwa melanjutkan keturunan itu menberikan kebahagiaan dan manfaat yang tak terhingga. Keenam, anak itu membawa rizki. Allah swt berfirman dalam QS Al An’am:151 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” Kita harus yakin bahwa anak-anak yang lahir ke bumi sudah membawa rizki. Kita harus husnudzdzon terhadap takdir Allah. Karena itu sangat tidak beralasan jika ada orangtua yang membunuh anaknya karena takut kelaparan. Anak-anak yang lahir ke bumi sudah membawa rizki. Selanjutnya, jika anak-anak itu adalah anak-anak yang shaleh dan shalehah, yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, maka semakin bertambahlah karunia yang Allah berikan kepada kedua orang tuanya. Hidup menjadi kian berkah dengan kehadiran mereka. Bisa jadi, kerja keras orang tua mendidik anak-anaknya menjadi hamba-hamba Allah yang shaleh menjadi sebab semakin berkahnya rizki yang didapatkan. ******** Akhirnya tausiah Ustadzah Halimah berakhir. Penjelasannya sangat bagus sekali. Pas sekali untuk anak muda yang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ibu. Isinya sangat rinci, ya anak memang mendatangkan sumber rizki. Maka dari itu kita tidak boleh menolaknya. Karena tidak semua wanita dapat melahirkan seorang anaknya. Ustadzah Halimah sangat bangga mempunyai tujuh orang anak. Saat anak-anak masih kecil memang akan kerepotan mengurusnya. Namun, ustadzah Halimah yakin. Kelak anak-anaknya yang akan menjadi penolongnya. Baik di dunia maupun di akhirat. Kalau memang di beri rezeki anak yang banyak. Habibah juga mau, karena rezeki tidak selalu soal materi saja. Rezeki itu, ada rezeki sehat. Rezeki di karuniai banyak anak. Rezeki mempunyai banyak teman. Rezeki mendapatkan ilmu. Dan masih banyak lagi. Kalau nanti Habibah menikah, ia juga tidak akan menunda kehamilannya. Habibah mau langsung punya anak. Loh mikirnya sudah kesana? Padahal calon imamnya juga belum ada. Berkali-kali seorang pria datang mengkhitbah Habibah. Belum ada yang cocok. Apalagi yang terkahir, pak Suryo. Jauh di katakan sebagai cocok. Seperti yang Abi Arifin katakan, pak Suryo lebih cocok jadi ayahnya. Dari pada jadi suami Habibah. Afifah buru-buru pergi duluan. Katanya ada hal penting di kantornya yang harus di selesaikan. Padahal ini hari Minggu, masih saja ke kantor. Habibah juga sebetulnya buru-buru. Karena umi Abdiah sedang tidak enak badan. Kemarin Habibah yang sakit. Sekarang umi Abidah. Semoga saja umi Abidah tidak kena tipes seperti Habibah. Namun, ia menunggu hujan yang turun sangat lebat. Mana ponselnya tertinggal di rumah. Di sisi lain, Haifdz melihat Habibah keluar dari masijd. Hatinya sangat bahagia. Ia tidak boleh melewatkan kesempatan ini. Kali ini Hafidz harus sangat menjaga sikapnya. Jangan sampai membuat Habibah menjadi risih padanya. Buru-buru Hafidz menghampiri Habibah. "Assalamualaikum, Habibah," sapa Hafidz saat Habibah menunggu hujan di depan masjid. Akhirnya ia bisa bertemu bidadari masjid lagi. "Wa'alaikumussalam," sahut Habibah singkat. "Hujannya lebat sekali. Sepertinya hujan seperti ini akan lama," ucap Hafidz mencoba lebih akrab. Dari dekat Habibah terlihat sangat bercahaya. Benar-benar mencerminkan wanita soleha. Dapatkah Hafidz memilikinya? "Iya, padahal aku lagi buru-buru. Umi di rumah sendirian, kasihan umi lagi sakit. Ponsel aku juga tertinggal," ujar Habibah. "Aku ada payung di mobil. Mau aku antar ke rumah? Katanya rumah kamu dekat dari sini," tawar Hafidz. "Enggak, usah. Aku ada yang jemput kok sebentar lagi," bohong Habibah. Siapa yang mau jemput? Abi Arifin sedang ada di luar kota. Di rumah juga hanya ada Umi Abidah dan dua pembantunya. Ya ampun, kenapa juga Habibah harus berbohong. Ini semua Habibah lakukan untuk menghindari Hafidz. "Tunggu sebentar ya." Hafidz pergi menerobos hujan. Kemana dia akan pergi sebetulnya? Habibah kembali menunggu hujan, semoga saja cepat reda. Tahu akan hujan, ia pasti akan membawa payung. "Ayo! Aku antar sampai rumah. Kalau kamu menunggu seperti ini terus. Hujannya mungkin akan berhenti malam hari," ajaknya lagi. Sebetulnya Habibah tidak mau, tapi mau bagaimana lagi. Habibah sangat mencemaskan umi Abidah. Dengan terpaksa Habibah akhirnya menerima tawaran Hafidz untuk mengantarnya. Benar yang di katakan Hafidz, kalau menunggu di masjid terus. Hujan tidak akan berhenti, bisa-bisa sampai malam di masjid. Atau mungkin sampai pagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD