Pertemuan

1829 Words
Saat ini Auger sedang berada bersama Edgo di tempat latihan di luar desa. Padahal sebelum mereka pergi, Auger menitip pesan kepada Sin dan San untuk memberitahunya jika pasukan yang pergi ke wilayah klan Troll sudah kembali, tapi mereka sudah kembali sore itu di tengah-tengah saat Auger sedang latihan. Ogre kecil itu ingin bertanya banyak kepada mereka tentang perjalanan jauhnya, bagaimana rasanya berada di wilayah klan lain. Ia penasaran ingin sekali mengetahui itu. “Tunggu, Kek!” ucap Auger yang terengah-engah. “Aku ingin istirahat dulu, aku sangat lelah.” “Ayolah, kita baru beberapa menit melakukan latihannya. Ke mana perginya semangatmu tadi yang membara-bara,” ledek Edgo. “Kau tak usah meledekku, kakek tua! Aku hanya perlu beristirahat sebentar, setelah itu aku akan bisa mengalahkanmu.” Auger duduk di bawah pohon yang rindang di sana. Memang suasana tempat latihan mereka sangat menyejukkan karena dikelilingi banyak pepohonan. Tapi cukup berbahaya juga karena berada di luar desa. “Oh iya, Kek,” kata Auger tiba-tiba. “Mengapa tempat latihan kita berada di luar desa? Bukankah cukup berisiko jauh dari desa?” “Mengenai itu, ya ....” Edgo sejenak berpikir dan menengadahkan kepalanya ke langit. “Dahulu desa klan Ogre tak seperti sekarang ini. Ketika itu kami tak memiliki batas wilayah dan juga tembok untuk melindungi desa. Lalu semua ini termasuk ke dalam wilayah klan Ogre, walaupun sampai sekarang masih. Tapi memang dari dulu di sinilah tempat biasa untuk latihan karena tempat yang strategis. Akhirnya lambat laun Orgrim menjadi menjadi kepala suku, ia membuat sebuah pembatas, yaitu tembok kayu seperti yang kau lihat sekarang ini untuk melindungi desa. Namun karena tempat latihan ini jaraknya cukup jauh dengan desa, jadinya tempat ini tak termasuk ke dalam tembok yang melindungi desa itu,” terang Edgo. “Jadi hanya karena itu.” “Tentu ada yang lain, alasan itu pun menjadi alasan ini.” “Maksudmu?” “Tadi aku sudah mengatakannya kalau tempat ini sangat strategis untuk latihan.” Edgo berhenti. Auger mengernyitkan dahinya karena bingung. “Itu benar sekali! Karena para pendahulu kita sampai yang seangkatan dengan ayahmu, mereka berlatih di sini dengan sangat luar biasa. Seketika tempat latihan ini bisa menjadi seperti medan pertempuran. Kekuatan mereka yang sangat luar biasa itu dapat dengan mudah menghancurkan sekitarnya. Terlebih lagi ayahku, pelatih terdahulu di sini sangat keras dalam mengajarkan muridnya. Oleh karena itu mereka tak segan-segan berlatih walau harus menghancurkan tempat di sekitarnya. Tapi setelah Orgrim menjadi kepala suku, ia memintaku untuk tak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan ayahku, aku diharuskan mengajar murid dengan cara yang wajar saja.” “Apanya yang wajar, jelas-jelas yang kau ajari itu sungguh tak wajar. Kau terlihat seperti menyiksa daripada mengajar,” batin Auger. “Tapi sepertinya itu keturunan dari ayahnya. Pantas saja tak dizinkan latihan di dalam desa, bisa-bisa seperti malam itu ketika kami menggabungkan Kin bersamaan.” Auger membayangkan ketika malam itu dilatih Edgo untuk menggabungkan Kin api dan angin. Saat itu semua warga keluar karena ada ledakan dahsyat yang menghancurkan banyak pepohonan. “Kenapa kau melamun?” tanya Edgo yang membangunkan Auger dari lamunannya. “Ah, tidak. Aku hanya membayangkan kekuatan dari para pendahuluku,” jawab Auger yang tersadar dari lamunannya. “Baiklah kalau begitu, cukup ceritanya. Sekarang kita lanjutkan lagi latihannya,” pinta Edgo. Kali ini Edgo ingin melatih Auger menggunakan senjatanya. Bukan hanya menguasai Kin saja, tapi harus pandai dalam menggunakan s*****a juga. Karena menggunakan Kin secara terus menerus dapat menguras tenaga yang sangat banyak, jika dalam pertarungan hanya mengandalkan Kin saja, sudah pasti akan kalah. Bisa dibilang kedua kekuatan itu memang saling berkaitan untuk menjadi kuat. “Ayolah! Kalau kau seperti itu terus, mana bisa kau mengalahkanku!” “Dasar kakek tua sombong!” ucap Auger pelan, “Hiaaa ....” Auger menyerang Edgo dengan mengayunkan pedangnya. Edgo dengan mudahnya menghindari serangan itu. Tapi tak cukup sampai di situ, Auger terus menyerangnya dengan sekuat tenaga dan kemampuan mengayunkan pedangnya yang cukup terampil itu. Walau Edgo adalah guru yang mengajar seni bertarung, tapi kali ini ia cukup kerepotan dengan ayunan pedang Auger yang dilapisi semangatnya itu. Mereka berlatih cukup lama, tapi Auger masih belum bisa mengalahkan atau bahkan menjatuhkan Edgo. Tapi Auger adalah Ogre yang pantang menyerah, ia terus saja menyerang Edgo sampai akhirnya gurunya itu harus mengeluarkan senjatanya dan mulai menangkis serangan Auger satu persatu. “Bagus, Auger! Kau berkembang cukup pesat. Kali ini aku cukup kerepotan karena harus mengeluarkan pedangku untuk menangkis seranganmu.” Auger tersenyum lebar, “Ini baru permulaan, Kek. Akhirnya adalah aku akan mengalahkanmu! Hiaaa ....” Auger menyerang Edgo lagi. Mereka bertarung lagi, tapi kali ini atmosfer berbeda dari yang tadi. Sepertinya Auger sudah mulai serius mengerahkan semua kekuatannya untuk mengalahkan Edgo. Tapi Edgo pun tak akan meremehkan Auger, ia juga sudah pasti akan mengeluarkan kekuatannya agar tak kalah dari muridnya itu. “Baiklah. Sudah cukup aku menangkis terus, sekarang aku juga akan menyerang. Bersiaplah, Auger!” kata Edgo. “Haha. Itulah yang dari tadi aku inginkan, Kek!” “Kau boleh sombong dalam pertarungan, tapi ada satu hal yang tidak boleh.” Edgo berhenti sejenak. “Jangan pernah lengah, Auger!” Kakek tua itu menyerang dengan cepat sampai-sampai Auger tak bisa melihat pergerakkannya.” “Apa!? Rasanya ia seperti menghilang saja,” batin Auger. Edgo melompat ke sana-kemari dengan sangat cepat, seperti hilang dari pijakan satu ke pijakan lainnya. “Jangan lengah, Auger. Aku bisa menyerangmu dari mana saja,” kata Edgo yang wujudnya hampir tak terlihat, hanya suaranya saja yang terdengar seperti hantu. “s**l! Aku tak bisa melihat dari mana ia akan menyerang.” Edgo terus saja mengitari Auger dengan kecepatan yang luar biasa itu. “Bersiap, Auger!” teriak Edgo. Ia menyerang dari arah belakang Auger yang tak bisa di lihat oleh Ogre kecil itu. “Ah, di sana!” Auger mencoba menangkis serangan Edgo yang tak terlihat itu, tapi ia kurang cepat sampai akhirnya pedang Edgo berhasil melukai lengan kanannya. “Coba kulihat lukamu,” kata Edgo yang memegang tangan Auger. “Apa itu tadi, Kek?” tanya Auger sambil menahan sakit tangannya diobati oleh obat herbal. “Aku menyebutnya Power Flash. Kecepatan dari hasil latihanku, kugabungkan dengan Kin angin yang menambah kecepatannya sampai seperti itu.” “Apakah aku bisa seperti itu? Aku ingin cepat sepertimu.” “Kunci kemenangan dalam pertarungan tak harus selalu dengan kecepatan, Auger. Jika kecepatan bukan ahlimu, kau bisa menggunakan kekuatan dan kecerdasan.” “Kalau bukan karena Kin angin milikku ini, aku yakin kecepatanku tak akan bisa sampai seperti tadi. Dan yang memiliki Kin angin pun tak semuanya bisa sepertiku tadi,” sambung Edgo. “Lalu bagaimana kau bisa mendapatkan kecepatan seperti itu?” “Entahlah, mungkin ini anugerah yang diberikan kepadaku. Waktu itu aku hanya berusaha untuk menebas dengan cepat saja. Lalu saat aku menebas dengan kecepatan dari hasil latihanku, Kin-ku ikut keluar dan tak sengaja menambah kecepatan seranganku. Akhirnya aku mulai melatihnya dan membiasakan menggunakan jurus itu.” Edgo berhenti sejenak. “Dan hasilnya adalah seperti yang tadi kau lihat ... dan rasakan.” Kakek tua itu tersenyum meledek. “Bagaimana? Agak baikkan?” tanya Edgo yang telah selesai mengobati luka hasil tebasan tadi. “Lumayan, rasa sakitnya sudah berkurang. Obat apa itu, Kek?” “Ini adalah daun Iodine. Kau harus menghaluskannya agar ekstrak di dalamnya bisa meresap ke dalam luka dan perlahan menyembuhkannya.” “Tapi sepertinya aku tak pernah melihat di sekitaran desa.” “Memang. Mereka tak tumbuh di sekitaran sini, tapi jauh di dalam Hutan Kematian.” “Berarti kau mengambilnya dari sana?” “Tentu saja. Aku sering keluar desa untuk mencari tanaman obat. Tapi sejauh aku pergi, aku belum pernah meninggalkan wilayah timur, aku yakin di luar sana pasti masih banyak tanaman obat yang lebih mujarab.” “Apakah terlalu berisiko jika meninggalkan wilayah timur?” “Tentu saja. Aku pun tidak mengenal seperti apa wilayah di luar sana, jadi terlalu berisiko jika pergi hanya sendirian.” Auger memandangi langit biru cerah dengan berbalut awan putih tebal yang melaju tertiup angin cukup kencang. “Aku jadi penasaran, Kek. Aku ingin melihat seperti apa dunia di luar wilayah timur ini. Walapun sebenarnya aku juga belum melihat semua sisi di wilayah ini, si.” Auger tertawa kecil. “Pelan-pelan saja, kau pasti akan mengetahui semuanya. Sekarang kita mau mengobrol atau lanjut latihan?” “Hehe. Baiklah, ayo lanjutkan latihan!” jawab Auger dengan semangat. “Perhatikan! Jadi dalam pertarungan bukan hanya mata saja yang harus difokuskan, tapi segala indra juga harus bisa berfungsi dengan baik. Kau harus bisa menggunakan telinga, hidung, kulit, bahkan rasa. Seperti tadi kau sudah menggunakan telingamu cukup bagus, aku sengaja bersuara agar kau dapat mengetahuiku. Tapi kali ini kau harus menggunakan rasamu, kau harus bisa merasakan hawa keberadaan musuhmu walau ia tak terlihat, terdengar, bahkan tercium sekalipun kau harus bisa merasakannya.” “Lalu bagaimana aku bisa merasakan hawa keberadaan musuhku?” “Baiklah. Aku akan menggunakan jurus yang tadi, saat aku mengitarimu, kau harus fokus untuk merasakan setiap pergerakanku.” “Baik!” Edgo menggunakan Power Flash-nya lagi untuk melatih indra perasa Auger. Ia mengitari Ogre kecil dengan kecepatan yang lebih cepat daripada tadi, tapi kali ini ia tak mengeluarkan suara pun sehingga Auger tak dapat mendengarnya. Auger memejamkan matanya, mencoba untuk fokus agar bisa merasakan setiap pergerakkan dari Edgo. Setelah cukup lama ia terdiam, akhirnya mulai timbul sebuah bayang-bayang samar yang dirasakan dari pergerakkan Edgo. Kini Ogre kecil itu harus mengerahkan semua tenaganya agar bisa lebih fokus lagi dan dapat dengan jelas merasakan keberadaan Edgo. “Ayolah! Sedikit lagi!” batin Auger. Ia terus memfokuskan dirinya sampai akhirnya bayang-bayang itu terasa cukup jelas, tapi tetap Auger tak bisa mengimbangi kecepatan Edgo yang luar biasa. Setelah cukup lama Edgo memberikan kesempatan Auger untuk merasakan keberadaannya, ia menyerang Auger dari sisi kanannya. “Di sana!” kata Auger cepat. Ia berhasil menangkis serangan Edgo. Tapi Edgo tak berhenti sampai di situ, setelah menyerang ia kembali menghilang lagi seperti tadi. Lalu datang serangan mengejutkan yang membuat Auger cukup kesulitan, tapi Ogre kecil itu mampu menangkisnya lagi. Edgo terus melancarkan serangannya itu terus-menerus tiada henti. Sampai akhirnya pada serangan yang kelima, Auger sudah tak sanggup lagi untuk fokus dan menangkis serangan Kakek tua yang lincah itu, tenaganya pun sudah terkuras banyak. Serangan kelima Edgo itu melukai Auger lagi, tapi kali ini yang terkena tebasan adalah tangan kirinya. “Ternyata kau berkembang dengan pesat, Auger,” ucap Edgo yang mendekatinya. “Aku masih tak bisa menangkis seranganmu yang hebat itu, Kek.” Edgo mengobati lukanya lagi dengan daun Iodine, “Tapi kau sudah menunjukan perkembangan yang sangat bagus, dan kamu juga sudah bisa merasakan hawa keberadaan musuh walau itu belum sempurna. Kita hanya perlu melatihnya lagi, tapi saat ini kurasa cukup sampai di sini saja latihannya.” Edgo berhenti dan melihat sekeliling lalu menatap langit yang sudah mulai jingga itu. “Sekarang kita harus kembali ke desa, sebentar lagi langit akan gelap.” “Baiklah.” Sore itu mereka kembali ke desa dengan pakaian yang lusuh dan wajah sedikit babak belur sehabis latihan keras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD