Bab 1

1935 Words
Michael - Kejutan Patah hati itu ketika melihat wanita yang kalian cintai menerima lamaran pria lain tepat di depan mata sendiri, menyedihkan dan juga menyesakkan. Tapi itu yang kini aku alami, patah hati melihat Hana menerima lamaran mantan suaminya dulu, Raja di depan mataku langsunh. Mereka kembali rujuk setelah bertahun-tahun cerai, aku heran kenapa bercerai jika akhirnya mereka kembali bersama. Sejak awal aku sudah pesimis mendapatkan hati Hana ketika mengetahui dia mantan istri Raja Nainggolan, tapi angin segar membuatku tetap terus berjuang meski harapan semakin tipis karena Ratu anak semata wayang Hana menolak kehadiran lelaki lain di hidup Mama-nya dan aku tau bagaimana rasa itu. Orangtuaku bercerai sewaktu aku seusia Ratu dan ketika Papi berencana nikah lagi, aku juga menolak dan berharap orang tuaku rujuk jadi aku tidak sedikitpun menyalahkan Ratu karena menolakku. "Mike, Papi pergi dulu... semua urusan perusahaan kamu yang atur" lamunanku tentang Hana menguap mendengar suara renta Papi dari arah belakang. Aku menghela nafas, karena kasihan melihat Papi kesepian di usia senjanya, seharusnya aku dulu tidak melarangnya menikah lagi, toh sampai sekarang Mami dan Papi tidak sedikitpun berniat untuk rujuk. "Papi kemana pagi-pagi gini" tanyaku heran setelah melihat Papi dengan gaya santai sambil membawa koper 2 buah di tangannya. "Mencari Berlian yang 25 tahun ini Papi sia-siakan" aku nggak salah dengarkan? Papi mau cari Berlian? Bukannya Berlian nama Mami ya. Astaga jangan bilang mereka mau memupuk cinta yang 25 tahun tidur karena tertutup keegoisan?. "Papi nggak mimpikan" tanyaku masih tak percaya. Papi menggeleng yakin. "Papi ingin ketika kamu menikah, keluarga ini utuh seperti keluarga lainnya dan foto kita berdua itu bisa diganti menjadi foto berempat" aku melihat pigura yang terpajang di dinding. Foto berdua aku dan Papi tanpa ada sosok wanita. "Papi pergi dulu, doakan Mami-mu masih mau nikah sama bandot tua seperti Papi" sumpah aku masih speechless melihat kesungguhan Papi dengan kata-katamya, kenapa nggak dari dulu sih Pi. Tapi aku bahagia akhirnya Papi bergerak mengejar cintanya, sedangkan aku meratapi patah hati setelah melihat surat undangan pernikahan Hana tadi pagi. "Semangat Pi, jangan pulang sebelum Mami resmi jadi isteri Papi lagi" ancamku, sudah 1 tahun aku tidak bertemu Mami yang memutuskan pindah ke Malang. Kampung halamannya, dan aku merindukan Mami dan berharap Papi tidak butuh waktu lama untuk menundukkan hati Mami. Bayangkan Papi yang sudah berumur 55 tahun saja bisa berjuang demi cintanya sedangkan aku? aku pesimis bisa jatuh cinta lagi setelah patah hati melihat Hana bersama pria lain. Bagiku cinta itu cukup sekali aku juga ingin seperti Papi dan Hana yang mencintai 1 orang selama mereka hidup tapi nyatanya aku salah menancapkan panah hatiku. Aku bukan tipe pria Mokondo (Modal Kon*** Doang) yang gampang menebar benih ke sembarang wanita, aku beranggapan hanya wanita yang menjadi istri yang aku cintai berhak aku hamili dan setubuhi. Makanya sampai saat ini aku belum pernah bercinta sekalipun catat ya SEKALIPUN. Kalian boleh menertawakanku masih perjaka di usia 30 tahun tapi memang begitu kenyataannya. **** Tidur siangku terganggu dengan bunyi bell berulang kali, siapa sih yang iseng menekan bell selebay itu. Dengan malas aku mengambil kaos yang aku lempar sembarangan tadi sebelum tidur. Ting tong ting tong "Berisik banget... iya tunggu sebentar, rese banget" gerutuku kesal, aku jalan malas-malasan menuju pintu depan. Cklekkk Aku melihat seorang gadis muda memakai dress kuning dan rambut di ikat kuncir tapi berantakan berdiri di depanku dengan membawa sebuah koper dan yang menjadi perhatianku kini perut gadis itu, memang belum terlalu kelihatan sih tapi aku yakin dia sedang hamil, ya kira-kira 3 bulanan deh. Mungkin. "Cari siapa mbak" tanyaku malas-malasan. "Cari ayah anak saya" hah ayah anaknya? Maksudnya Papi? Jangan bilang tadi itu sandiwara Papi, sebenarnya dia bukan mau mengejar Mami tapi lari karena telah menghamili gadis yang bahkan lebih muda dariku. "Mbak salah alamat kali" kataku masih tidak percaya. Dia menggeleng dan menunjukkan sebuah kartu nama. Ya, ini milikku dan kenapa ada di tangannya? Masalahnya aku tidak sembarangan memberi kartu nama kepada orang asing. Hanya klien dan partner kerja. "Ini memang rumah ayah anak saya, saya nggak mungkin salah" balasnya, oke Michael mungkin lebih baik bicara baik-baik, aku menyuruh wanita muda itu masuk dan aku menolong membawa kopernya kasihan pasti koper ini berat untuk wanita hamil. Ya meski aku belum yakin itu anak Papi, tapi kalo iya itu berarti baby itu adikku juga. Ishhh Papi sangat tidak bertanggung jawab. Aku memberikan segelas air putih dan dia langsung menghabiskan isi gelas itu. "Mbak kalo boleh saya tau namanya siapa dan berapa umurnya" tanyaku untuk memulai interogasi benarkah itu anak Papi. "Amalia, 20 tahun. Panggil saja Lia" jawabnya singkat. Oke lagi-lagi aku terkejut 20 tahun sangat muda untuk berhubungan dengan lelaki berusia Papi. "Jadi ceritakan apa hubungan kamu dengan keluarga ini" aku melanjutkan pertanyaanku, dia meremas roknya mungkin takut dengan pertanyaanku. "Oke maaf saya terlalu terburu-buru, kamu sudah makan?" Tanyaku, dia menggeleng dan aku mendengar perutnya berbunyi. Mungkin karena lapar bisa jadi dia ketakutan seperti ini. Untungnya tadi aku sempat masak untuk makan malam. "Ya sudah ayo makan dulu, nanti kita lanjutkan perbincangannya" kami berdua masuk ke ruang makan dan aku menyuruhnya untuk duduk di depanku, walau bagaimanapun dia sepertinya bukan orang jahat "Makan dulu, kasihan dedeknya jika Bundanya kelaparan" aku melihatnya mengambil sesendok nasi dan ayam goreng. Tangannya bergetar ketika mulai menyuap makanan itu ke mulutnya. Sesuap masuk dengan aman ke perutnya, dia kembali menyuap sedikit demi sedikit hingga nasi yang ada di piringnya habis dan licin. "Kamu susah makan ya?" Tanyaku penasaran, dia mengangguk dan meminum segelas air putih. "Biasanya sesuap aja langsung dimuntahin, mungkin baby-nya tau sekarang dia lagi ada di rumah ayahnya makanya dia tidak rewel" hmmm bisa jadi karena ini rumah Papi. Ishhh Papi bisa-bisanya merusak anak orang semuda ini. "Bagus deh, sekarang kamu mandi dan istirahat dulu nanti malam kita bicara sepertinya kamu lelah" entah magnet apa yang mendorongku membiarkan wanita asing tidur dan menginap di rumahku, tapi wanita ini sungguh menyedihkan. Seharusnya wanita hamil itu di manja bukan membawa koper seberat itu. "Ayo saya tunjukkan kamarnya" aku membantunya membawa koper ke dalam kamar tamu yang ada di sebelah kamarku, biar deh malam ini dia menginap di sini dan setelah aku menkonfirmasi sama Papi benarkah dia menghamili Amalia, aku harus memaksa Papi menikahi Amalia. "Terima kasih sudah baik dan menerima saya" balasnya, aku tersenyum tulus. Mungkin aku gila tapi aku bahagia bisa mempunyai adik lagi meski usia kami terpaut jauh. "Istirahat dulu" aku menutup pintunya, setelah dia masuk dan terdengar suara shower, aku langsung menghubungi Papi dan ingin memarahinya karena membohongiku dan memberiku harapan palsu. Sialll ponsel Papi malah nggak aktif, aku berniat mengirim sms tapi sebuah sms dari dirinya membuatku semakin kesal. From : Papi "Papi nggak mau kamu ganggu selama liburan, ponsel akan Papi matikan dan jangan pernah berniat untuk mencari Papi, hehehe tunggu saja kejutan dari Papi" Fiuh rasanya ingin membanting ponsel ini setelah membaca SMS dari Papi, ckckck ini kejutan yang menyenangkan Pi, bukannya kabar Papi balikan dengan Mami yang ada aku bakal dapat ibu tiri berusia 20 tahun. Aku mendengus kesal dan sesekali menghela nafas bagaimana menyelesaikan masalah yang Papi tinggalkan selama liburannya, kalo masalah pekerjaan aku pasti mampu untuk menyelesaikan tapi ini masalah nama baik seorang gadis muda dan baby yang ada di perutnya itu butuh Papi untuk nama keluarganya kelak. **** Kepalaku pusing mengingat masalah besar yang ditinggal Papi terutama bagaimana memberitahu Amalia jika Papi kabur dari tanggung jawab dan bagaimana kalo Amalia melapor ke polisi dan berita Papi menghamili gadis muda bakal mencoreng wibawa Papi dan perusahaan. Astaga Papi buat masalah kenapa ribet begini sih. Aku juga yang susah jadinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, seharusnya jam segini kami sudah makan malam, bukannya wanita hamil akan sering merasa lapar, aku mengambil jaketku dan berniat membawanya pergi makan di luar saja karena sudah tidak ada waktu untuk masak. Adikku butuh asupan gizi untuk sehat dan tumbuh. Ckckck seharusnya aku memebri Papi cucu bukan Papi memberiku adik baru. Awas saja kalo Papi pulang jangan harap bisa selamat, berulang kali aku mengingatkan jangan pernah menebar benih sembarangan. "Amalia" panggilku di depan pintu kamarnya, tapi tidak ada sahutan. Apa jangan-jangan Amalia pergi setelah tau Papi tidak ada, aku mencoba membuka pelan pintu kamar Amalia, suasana gelap karena lampu dimatikan, aku menghidupkan lampu di nakas. Terlihat Amalia tidur dengan pulas, aku memperhatikan dirinya yang kini hanya terbalut daster khas ibu hamil, kakinya sedikit bengkak mungkin karena kehamilannya. "Amalia, bangun... sudah mala mayo kita pergi makan malam dulu, kamu pasti lapar" aku menggoyangkan tubuhnya pelan agar dia tidak kaget, Amalia membuka matanya dan kaget melihatku berada di kamarnya. "Maaf saya masuk tanpa izin, tapi seharusnya ibu hamil nggak boleh telat makan nanti baby-nya kelaparan" kataku dengan tulus. "Makasih sudah perhatian, saya bahagia baby ini di terima dengan baik sama kamu" balasnya, ya meski kesal dan sebal sama Papi tetap saja kami sedarah. "Ya itu sudah tugas saya, ayo keburu malam" aku membantunya yang kesusahan berdiri dan memberinya cardigan agar nanti dia tidak masuk angin. Sepanjang jalan menuju restoran kami lebih banyak diam dan berkutat dengan pikiran masing-masing, aku jadi penasaran kapan mereka bertemu dan kapan 'proses' itu terjadi. "Amalia saya boleh bertanya?" tanyaku penasaran, dia melihatku dan mengangguk. "Silahkan, mau nanya apa" balasnya singkat. "Kapan kejadian itu terjadi, dan kapan kamu menyadari di perut kamu ada baby" tanyaku, dia menghela nafas berulang kali dan mencoba bercerita, awalnya aku mau menunggu kami tiba di restoran tapi rasa ingin tau membuatku kepo untuk bertanya lebih lanjut. "3 bulan yang lalu, di sebuah hotel tak jauh dari diskotik Millenium... saya merasa tidak enak badan ditambah halangan saya tidak kunjung datang, saya beranikan diri untuk memeriksa menggunakan test pack dan voillla saya hamil" ujarnya dengan nada sarkasme, ah Millenium ternyata Papi sering juga kesana, diskotik itu juga sering aku singgahi dan terakhir aku ke sana 3 bulan yang lalu karena ada acara perpisahan salah satu kolega di kantor. "Terus" tanyaku semakin kepo. "Ya gitu kita bercinta tanpa pengaman dan aku hamil atas perbuatannya, memang ya jika melakukan tanpa ikatan pernikahan selalu menghasilkan baby" ada kesinisan di balik suaranya. Aku mencengkram kemudi mobilku, dasar Papi mata keranjang. "Terus keluarga kamu tau?" tanyaku. Dia mengangguk "Mereka mengusir saya dan saya di ancam baru boleh kembali jika saya membawa ayah anak saya pulang" balasnya, ckckck Papi membuat gadis muda ini kehilangan keluarganya. "Sabar ya Amalia, saya janji akan membawa Papi meminta ampun dan melamar kamu saat Papi pulang" ujarku dengan nada sungkan. Amalia melihatku tajam mungkin dia kaget mendengar Papi tidak ada. "Kenapa harus menunggu Papi kamu pulang, kamu yang harus datang Mike dan bersimpuh meminta ampun di kaki kedua orang tua saya" balasnya, ya aku tau ini kesalahan Papi dan tidak bisa di tunda tapi kenapa aku yang harus meminta ampun atas perbuatan Papi. "Tapi saya bukan ayah anak itu" kataku pelan, Amalia semakin dalam menatapku, ada genangan airmata di ujung pupil matanya. "Kamu tidak mengakui baby ini Mike?, tapi anak ini anak kamu!!! It's your baby... you know it!!! Kamu lupa malam itu kita bercinta" Jederrrrrr rasanya ada petir yang menyambarku, aku langsung menekan rem dengan sekuat tenaga. Aku nggak salah dengarkan, Amalia ngarang ceritakan. Ini tidak mungkin, mana mungkin itu baby-ku sedangkan aku sama sekali belum pernah bercinta dengan siapapun, catat siapapun!!. "Hahaha kejutan yang sungguh sangat tidak menyenangkan Amalia, nggak lucu" balasku singkat penuh penekanan. "Saya tidak bercanda Mike, ini benar baby kamu... saya yakin ini baby kamu" katanya tak mau kalah. "Nggak mungkin, mana buktinya!! Kalo itu anak saya" teriakku saking marahnya merasa di permainkan setelah aku menolong dan memberinya tumpangan di rumah. "Kartu nama tadi kamu tinggalkan di ranjang ketika kita selesai bercinta, saya tidak menyangka kamu pergi begitu saja setelah merenggut keperawanan saya" aku terdiam mendengar perkataannya, sumpah aku tidak ingat kapan aku tidur di hotel bersamanya, memang tiap weekend aku suka menghabiskan waktu menginap di salah satu hotel untuk beristirahat dari kepenatan pekerjaan, tapi aku sangat yakin tidak pernah membawa wanita. "Kamu salah orang!!! Saya bukan ayah-nya" tolakku lagi. Amalia meneteskan airmata dan aku bingung mau berkata apa lagi tapi sumpah itu bukan anakku, aku yakin 100 %. *** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD