Pandangan mata itu terfokus, menatap layar TV yang menampilkan sebuah visual dari video game Resident Evil 6, jari-jari tangan dari pemuda itu menekan-menekan dengan cepat keypad controller PS 3 dalam genggamannya.
Seluruh perhatiannya tercurahkan pada karakter game yang tengah dipakainya dalam menembak para zombie.
Bagi Rendy, bermain playstation seperti ini merupakan kegiatan yang dapat sedikit mengusir rasa jenuhnya, ada sebuah sensasi tersendiri saat memainkan salah satu karakter dalam game, memasuki dunia permainan itu dan menyelesaikan misi dalam game sampai tuntas.
Namun, hal itu tak lantas membuat rasa penatnya di dunia nyata benar-benar hilang tanpa sisa.
Suara video game yang telah disetel dengan volume kencang rupanya masih belum mampu menghalau suara-suara sumbang yang berasal dari luar kamar.
Kebisingan yang sesungguhnya tak ingin Rendy dengar sama sekali karena ia sudah capek mendengarnya.
Perdebatan kedua orangtuanya yang terjadi di ruang tamu itu tak kunjung selesai, nada tinggi yang dipakai saling bersahutan disertai gebrakan meja membuat Rendy selalu merasa tak nyaman berada di rumahnya sendiri.
Tangan Rendy segera meraih remote TV, memencet tombol suara dan menaikkan level volume, berharap apa yang dilakukannya dapat meredam semua itu. Kemudian, melanjutkan bermain PS dan berpura-pura sedang tak terjadi apa-apa.
Bukannya Rendy tak peduli atau tak pernah berusaha menengahi, tak terhitung sudah berapa kali Rendy berusaha melerai, berbicara dengan ayah dan ibunya secara terpisah, mengutarakan pendapat mengenai pertengkaran yang selalu dilakoni kedua orangtuanya.
Lalu apa hasilnya? Perkataannya tak pernah digubris, sia-sia, pertengkaran antara suami-istri itu selalu terjadi tanpa memandang kondisi.
Dan hal itu yang membuat Rendy kesal.
Sebuah tombol pada controller Rendy tekan dengan gemas, membuat karakter yang dimainkannya dalam PS berhasil menembak jitu kepala salah satu zombie hingga pecah.
Tak lama, terdengar sebuah suara seseorang menggedor pintu kamarnya.
Rendy menoleh dengan cepat, selama beberapa detik hanya menatap pintu itu hingga akhirnya berseru, "Siapa?"
"Ini Anggi, Mas. Bukain pintunya." Suara seorang gadis kecil menjawab dari balik pintu.
Rendy menghela napas sejenak. "Buka aja pintunya, Dek. Enggak dikunci," timpalnya balik.
Pintu itu kemudian terbuka dengan perlahan, dan seorang gadis berusia tiga belas tahun berjalan memasuki kamar.
"Pantes aja dari tadi Anggi ketuk pintunya enggak denger, Mas Rendy setel volume game-nya kenceng banget," keluh gadis itu seraya menghampiri saudara lelakinya, lalu ia duduk tepat di sampingnya.
Rendy mendengar keluhan adik perempuannya itu, tapi ia memilih untuk tersenyum saja dan melanjutkan permainan.
"Mau ikut main, Dek?" tanya Rendy iseng, menunjuk salah satu controller PS yang berada di lantai dengan dagunya.
Anggia menggeleng, respon yang sudah ditebak Rendy saat menawari adiknya bermain video game.
"Anggi gak suka main PS," katanya perlahan, samblil memperhatikan layar TV, di mana dia melihat para mayat hidup tengah dihabisi dengan sadisnya. Itu tak menarik sama sekali bagi dirinya.
Keheningan terjadi antara kedua saudara itu, dan Rendy menunggu adiknya untuk mengatakan sesuatu, karena tahu bahwa Anggia pasti punya alasan tersendiri hingga mendatangi kamarnya.
"Papah sama Mamah bertengkar lagi, Mas," tutur Anggi bersuara, maksud dari kunjungan ke kamar kakaknya akhirnya diutarakan.
Rendy menutup mata sejenak, sudah menduga Anggi akan mengatakan hal ini. "Iya, Mas udah tahu."
"Terus kenapa Mas Rendy cuma diem aja di kamar? Anggi enggak tahan denger mereka berantem," kata-kata yang diucapkan Anggi pecah di akhir kalimat.
Hal itu mengejutkan Rendy, ia segera menoleh pada adiknya dan mendapati bahwa air mata sudah membasahi kedua pipinya. Menangis.
Refleks, Rendy mengusap-usap lembut punggung adiknya itu dengan sayang. Kembali ia pikirkan bagaimana tingkah laku orangtuanya yang sangat egois, mengenyampingkan dampak psikologis yang mungkin saja terjadi pada Anggi karena selalu melihat kedua orangtuanya tak akur.
"Mas Rendy udah pernah nyoba, Dek. Tapi gagal, tau sendiri Papah sama Mamah sikapnya kayak gimana," jelas Rendy yang sebenarnya juga tak paham alasan dibalik pertengkaran mereka.
Yang Rendy tahu, nama Torro saudara lelakinya sering disebut-sebut dalam perdebatan. Apa semua karena ulahnya lagi? Ah, Rendy takkan terkejut jika ternyata jawabannya adalah 'Ya.' Bukan pertamakalinya Torro menjadi biang masalah dalam keluarga, meskipun, pergaulan liar yang dijalaninya sangat ditentang orangtua, tetapi Torro bukanlah anak penurut.
"Mas Rendy, kita hubungi Mas Torro aja, suruh dia pulang," usul anggi tiba-tiba, setelah tangisnya mereda dan kedua punggung tangannya menyeka pipi yang basah oleh air mata.
Bibir Rendy mengkerut. "Percuma, Mas Torro kayaknya gak akan pulang lagi malam ini," jawab Rendy pesimis.
"Seenggaknya dicoba dulu, mungkin Papah sama Mamah gak akan berantem lagi kalau Mas Torro sudah pulang," ujar Anggi masih belum menyerah.
Rendy menghela napas, adiknya ini memang keras kepala. Lalu ia mengambil ponsel yang diletakkan di atas nakas samping tempat tidur, mengaktifkan layar handphone, menghubungi sebuah nomor dengan keterangan nama Torro sebagai pemiliknya.
Di luar sana, Jakarta belum tidur.
Meski sudah pukul sepuluh malam, jalan raya masih ramai oleh kendaraan yang hilir mudik, angin dingin dan gelapnya langit tak menghentikan semua orang dalam beraktifitas.
Gemerlap malam ibu kota juga turut dirasakan Torro.
Motor yang dikendarainya melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan, angin malam yang menampar-nampar wajahnya tak ia pedulikan, Torro sangat menikmati perasaan ini, kebebasan dan rasa lega tatkala kuda besi miliknya melesat maju mendobrak malam.
Tak lama kemudian, ponsel yang berada dalam saku celananya berbunyi.
Torro mengerutkan dahi, berpikir bahwa yang menelpon itu adalah Ruslan, ia menepikan motornya ke pinggir jalan, mengeluarkan ponselnya dan sedikit terkejut saat tahu bahwa Rendy adiknya yang menghubungi.
"Ada apa lo telpon gue?" tanya Torro segera setelah melepaskan helm-nya terlebih dulu dan menjawab panggilan itu.
Suara berdeham singkat terdengar, kemudian suara adiknya dalam telpon itu bertanya, "Lo lagi di mana sekarang?"
Torro memutar bola matanya. "Lagi di jalan."
"Pulang?"
"Enggak, mau ke trek. Ruslan ngajak gue barusan—"
"Lo mau balapan lagi?" tanya Rendy tak percaya, memotong kalimat Torro yang belum selesai terucapkan.
Torro menggertakan giginya. "Iya. Dan ini urusan gue, jangan ikut campur."
Di seberang telpon, Rendy berusaha mengatur napasnya, mencoba untuk sabar. Tak ingin terpancing emosi yang kerap terjadi ketika ia menghubungi kakaknya itu.
"Gue pengen lo balik ke rumah sekarang." Nada yang Rendy pakai terkesan memerintahkan alih-alih membujuk.
Hal itu yang membuat Torro semakin kesal. "Udah gue bilang, jangan paksa gue buat balik—"
"Papah sama Mamah berantem lagi." Kembali, Rendy memotong ucapan Torro.
"Apa itu urusan gue?" Torro bertanya tak acuh, baginya hanya kemenangan saat balapan nanti yang menjadi prioritas utamanya malam ini.
"Lo tanya apa itu urusan lo?" Nada tinggi yang Rendy pakai menandakan bahwa emosinya telah terpancing, perasaan marah yang sedang dirasakannya membuat suaranya bergetar. "Lo yang jadi biang masalah di keluarga, lo juga sering yang jadi alasan utama kenapa ortu kita berantem, apa lo gak nyadar? Dan lo masih berani buat bilang itu bukan urusan lo?"
Torro tak menyukai perkataan Rendy yang terkesan memojokkan dirinya, apa yang salah darinya? "Gue cuma bersenang-senang, ngelakuin apa yang gue suka, apa itu salah?"
"Ya, salah. Soalnya ulah lo juga berimbas sama keluarga."
"Berimbas apanya?"
Dengan suara bergetar karena emosi, Rendy pun menjawab jujur. "Orang tua kita bakalan cerai."
Dan mulut Torro pun terngaga lebar.
"Gue tau lo pasti kaget sekarang," ucap Rendy kemudian, "tapi itu beneran. Pertengkaran mereka sudah lebih parah dari pada pas terakhir lo lihat. Gue bahkan udah lihat surat gugatan cerainya dari pengadilan kemaren."
Torro yang masih menepi di pinggir jalan hanya bisa terdiam. Perkataannya Rendy barusan sungguh di luar dugaan. Bercerai?
"Dan asal lo tahu," ucap Rendy melanjutkan dengan tegas, "gue gak akan pernah mau telepon lo seandainya Anggi gak maksa gue, dia nangis tadi. Sekarang terserah lo mau ngapain, gue gak peduli. Silakan lo cari kesenangan lo sendiri di luar sana."
Torro masih tak memberi reaksi, tak tahu harus menanggapi seperti apa.
Kemudian, ucapan Rendy selanjutnya membuat Torro bungkam.
"Gue kecewa dan malu punya saudara kayak lo."
Berakhirlah sambungan seluler itu, segera setelah Rendy mempertegas kata-katanya.
***