Part 6. Mengambil Kembali Milikku

1046 Words
Darah di tubuh Rumi seolah berhenti mengalir mendengar bisikan itu. Calon istri. Dua kata yang seharusnya terdengar manis, nyatanya terdengar seperti vonis hukuman mati untuknya. Namun, Rumi yang sekarang bukan lagi Rumi yang dulu akan menangis ketakutan. Tiga tahun menempa dirinya menjadi baja. Dia telah belajar bahwa air mata di depan pria nir-empati seperti Jagad Syailendra tidak ubahnya bagai darah di hadapan hiu ganas, hanya akan memancing serangan yang lebih brutal dan mematikan. Alih-alih gemetar atau pingsan, Rumi menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan keberanian yang dipaksakan. Jemarinya di samping tubuh terkepal erat hingga kuku menancap ke daging, rasa sakit fisik itu digunakannya menjaga agar kewarasannya tetap terjaga. Perlahan, sudut bibir Rumi terangkat, membentuk sebuah senyum tipis yang dingin dan meremehkan Jagad. Rumi mundur selangkah, menciptakan jarak, melepaskan diri dari kungkungan aroma tubuh Jagad yang memabukkan sekaligus mencekiknya. “Maaf Tuan, mungkinkah Tuan salah orang? Saya hanya karyawan rendahan di sini, tidak punya kapabilitas menjadi calon istri seorang Tuan Jagad Syailendra.” Kata Rumi, pelan namun menantang. Sutanto mendongak ke arah Rumi karena gadis itu sepertinya sudah kenal dengan calon menantu tidak jadinya, “Lituhayu, apakah kamu mengenal Jagad? Di mana kalian kok bisa saling kenal?” tanyanya penasaran. “Sa…” “Tidak hanya kenal Pak Sutanto, gadis ini memang calon istriku dari dulu. Dan yeaah, waktu itu kami ada sedikit ‘masalah’ tapi dia malah kabur.” Bukan Rumi yang menjawab, melainkan Jagad yang menyela dan memberi tanda kutip saat berkata 'masalah'. “Jadi, aku hanya mengambil lagi apa yang seharusnya menjadi milikku! Itu saja.” Lanjut Jagad lagi, tenang namun tajam. "Milikmu? Apakah Anda menganggap saya sebagai benda tidak bernyawa, Tuan Jagad? " Rumi terkekeh pelan, matanya menatap lurus ke manik mata kelam Jagad. "Pasti ada perjanjian kotor antara Tuan dengan Pak Sutanto bukan? Saya lebih suka menyebutnya sebagai tumbal untuk menyelamatkan bisnis Bapak Sutanto ini." Di balik meja kerjanya, Sutanto ternganga. Dia hendak membentak Rumi karena kelancangannya, tapi satu isyarat tangan dari Jagad membungkam mulutnya. Jagad tidak marah. Sebaliknya, matanya berbinar tertarik. Dia melipat tangan di d**a, bersandar pada tepi meja Sutanto dengan santai. "Heuum… tidak kusangka nyalimu jadi bertambah tiga tahun ini. Sayangnya, Rumi, perjanjian di antara kami sudah disetujui. Mulai besok, kamu tidak lagi bekerja untuk Sutanto Corporation karena selain menjadi pengantinku, kamu juga akan bekerja padaku!” “Dasar gila!” Desis Rumi, membuat Sutanto melongo karena heran dengan kenekatan gadis ini. Jagad terkekeh menakutkan, dia berjalan mendekati Rumi, bermaksud merapikan anak rambut Rumi tapi tangannya menggantung kosong di udara karena Rumi menolak, miringkan kepalanya, “yaa aku memang gila. Kegilaanku itu semua karena kamu, Rumi! Sekarang, segera kembali ke kubikel kecilmu itu. Dikta akan membantumu membereskan barang-barangmu.” Rumi pejamkan mata dan hembuskan napas kasar, coba tidak menampar wajah tampan di depannya ini. “Jika aku menolak?” tantang Rumi membuat Sutanto semakin melongo dan jadi yakin dua orang di depannya ini memang punya hubungan di masa lalu. Sepertinya hubungan yang tidak baik, karena hanya wanita bodoh yang menolak menjadi nyonya Jagad Syailendra! Jagad menyeringai, “kamu tidak ada hak untuk menolak. Yang harus kamu lakukan hanyalah patuh padaku. As simple as that, Rumi.” Rumi terdiam. Bukan karena ia kehabisan kata-kata, melainkan karena ia menyadari tembok setinggi langit yang sedang dihadapinya. Di mata Jagad, penolakan hanyalah sebuah tantangan yang sangat menarik untuk ditaklukan, bukan sebuah hak asasi. Pria itu tidak tahu kata"tidak"; dia hanya tahu kata "belum". Suasana di ruangan itu berubah menjadi hening yang menakutkan. Sutanto, yang sedari tadi merasa seperti penonton tak dianggap di kandangnya sendiri, akhirnya berdehem canggung, mencoba mencairkan ketegangan yang tercipta. "Ehm, Rumi... atau Lituhayu," panggil Sutanto ragu-rag, "mungkin... sebaiknya kamu turuti saja apa kata Tuan Jagad. S-saya tidak bisa memertahankanmu jika Tuan Jagad sudah berkehendak. Kamu tahu posisi perusahaan kita sedang sulit." Rumi menoleh perlahan pada bosnya. Tatapan yang tadinya tajam pada Jagad, kini melembut menjadi tatapan iba yang menyedihkan saat melihat Sutanto. Pria tua itu baru saja menjual harga dirinya dan menjual dirinya, tentu saja, hanya demi suntikan dana. "Bahkan Bapak pun tidak punya tulang punggung untuk bisa berdiri tegak dengan bangga. Betapa menyedihkan," gumam Rumi lirih, cukup untuk membuat wajah Sutanto memerah padam karena malu. Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Dikta, asisten setia Jagad yang berwajah datar, melangkah masuk tanpa mengetuk. Di tangannya sudah ada sebuah kotak kardus kosong. "Tuan, mobil sudah siap," lapor Dikta, lalu meletakkan kardus itu di atas meja di depan Rumi, "Nona Rumi, silakan. Waktu Anda sepuluh menit." Jagad tersenyum puas melihat itu. Dia menegakkan tubuhnya, merapikan jas mahalnya lalu menatap Rumi seolah sedang melihat burung langka yang akhirnya berhasil ia jerat kembali ke dalam sangkar emas yang disiapkannya sejak dulu. "Dengar itu kan, Sayang? Sepuluh menit saja," ujar Jagad lembut, namun nadanya sarat akan perintah mutlak, "jangan membuatku menunggu. Kamu tahu aku benci menunggu. Lewat dari itu, aku akan menggendongmu keluar dari gedung ini." Rumi menatap kardus kosong itu, lalu beralih menatap wajah Jagad yang tampan bak dewa namun berhati iblis. Dadanya sesak. Tiga tahun pelariannya, tiga tahun ia menyusun kepingan dirinya yang hancur, kini disapu bersih hanya dalam hitungan menit oleh keegoisan pria ini. Dengan gerakan kaku, Rumi mengambil kardus itu. Untuk saat ini, dia tidak punya pilihan. Melawan secara fisik saat ini sama saja dengan bunuh diri dan dia tidak akan membiarkan Jagad menang dengan melihatnya hancur. Dia harus bermain pintar, harus mampu bertahan hidup sekali lagi. Rumi melangkah mendekati pintu, melewati Jagad. Namun, tepat di samping pria itu, langkahnya terhenti. Dia sengaja tidak menoleh, pandangannya lurus ke depan menatap pintu keluar yang kini terasa seperti gerbang penjara yang menyambut kedatangannya. "Tunggu," ucap Rumi. Suaranya tidak lagi bergetar, namun terdengar hampa. Jagad menaikkan alis, senyum kemenangan masih terpatri di bibirnya. "Ada apa, Sayang? Mau minta ciuman selamat datang?" Rumi menoleh perlahan. Matanya berkaca-kaca, bukan karena takut, tapi karena rasa sakit melihat betapa butanya pria di hadapannya ini akan arti manusia. "Kamu pasti merasa hebat, bukan?" bisik Rumi, suaranya serak menahan isakan namun menusuk tepat ke jantung Jagad, "kamu merasa telah memenangkan trofi yang hilang. Sayangnya Tuan Jagad," Rumi tersenyum getir, bulir air mata lolos satu tetes di pipinya, kontras dengan senyum sinis di bibirnya, "sayangnya..., hati saya mati tepat saat Tuan memaksa saya kembali." Tanpa menunggu jawaban, Rumi melangkah keluar, meninggalkan Jagad yang untuk pertama kalinya, senyumnya perlahan luntur dari wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD