Part 8. Membuka Sel*ngkangan Lebih Lebar

2032 Words
"Dikta, bawa surat kontrak Rumi ke sini. Sekarang!" Pintu terbuka. Dikta masuk membawa map hitam, meletakkannya di meja, lalu keluar tanpa suara, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. Dia menatap Rumi sekilas, sedikit menunduk sebagai hormat. Jagad menepuk map hitam itu. "Tanda tangani." Katanya, singkat. Rumi mendekat, membaca judul dokumen itu. Matanya membeliak kesal karena masih saja Jagad memintanya jadi asisten pribadi sekaligus sekretaris. Surat Perjanjian Kerja Asisten Pribadi Khusus - CEO Syailendra Group "Asisten pribadi?" Rumi mendongak, menatap Jagad tak percaya, “kamu tahu aku punya skill, Tuan Jagad. Aku tidak akan jadi sekretaris yang hanya membuatkan kopi!" desisnya kesal. "Siapa bilang tugasmu hanya membuat kopi, heuum?" Jagad berjalan memutari meja, berusaha mengintimidasi Rumi. "Well Rumi, di Sutanto Corp., gajimu hanya cukup untuk makan dan bayar kosan sempit. Tapi di sini, aku membayarmu puluhan kali lipat." "Aku tidak butuh duitmu!" tolak Rumi, kesal. "Oh, ya? Jangan egois hanya memikirkan dirimu sendiri, memangnya kamu mau selamanya tidak pegang uang? Pikirkan Rully juga.” Kata Jagad, menembak langsung kelemahan Rumi. Rumi terdiam, rahangnya mengeras. Seketika dia tahu jika Jagad juga sudah mendapatkan info keberadaan Rully sekarang yang bersama dengan kakek nenek dari pihak ayahnya. Dia tidak mau Rully celaka. "Lagipula," desis Jagad menjadi bisikan berbahaya, “menjadi istri siri artinya tidak ada kewajibanku menafkahi secara hukum. Jadi, anggap saja ini caraku menafkahimu secara... profesional." Seringai Jagad, tentu saja itu versi dirinya. Jagad mengambil pena, memainkannya di jari-jarinya yang panjang. "Tugas utamamu bukan mengetik laporan, Rumi. Tugasmu adalah melayaniku, menyiapkan jadwalku, menemaniku meeting ke luar kota, memastikan keperluanku terpenuhi..." Jagad berhenti sejenak, matanya menggelap penuh arti ganda, "...dan memastikan aku tidak perlu mencari pelampiasan di tempat lain. Kau paham maksudku, kan?!" Wajah Rumi memerah padam, campuran antara marah dan malu. Jagad baru saja mendefinisikan pekerjaannya sebagai istri yang disamarkan sebagai asisten versi Jagad. Dia ingin mengontrol Rumi 24 jam sehari. Di kantor sebagai bos, di rumah sebagai suami siri. "Jadi, Nona Lituhayu..." Jagad menyodorkan pena itu ke arah Rumi. Senyum kemenangan terukir jelas di wajah tampannya yang arogan, “selamat bergabung di Syailendra Group dan nikmati hari-harimu bersamaku, Sayangku!” tentu saja saat berucap sayang tidak ada nada penuh cinta. Rumi menatap pena emas itu, lalu menatap meja kosong di sudut ruangan yang akan menjadi sel penjaranya. Dia sadar, dia baru saja masuk ke dalam mulut singa. Dengan tangan gemetar menahan amarah, Rumi menyambar pena itu. Srret Tanda tangannya tergores kasar di atas kertas, menekan pena, tanda dia sangat emosi. "Bagus," gumam Jagad puas. Dia mengambil map itu, menyimpannya di laci terkunci. * Keesokan Hari di Rumah Mewah Jagad Rumi duduk bersimpuh di atas karpet tebal, kepalanya tertunduk lemah, sesekali mengusap bulir air mata yang meluruh di pipinya. Bukan air mata haru, melainkan air mata kesedihan. Dia mengenakan gamis putih sederhana, bukan sebuah gaun pengantin mewah, yang disiapkan Dikta satu jam lalu. Kerudung putih tipis menutupi sebagian wajahnya, menyembunyikan mata yang bengkak. Simbok duduk di sebelahnya, menggenggam erat tangan Rumi. Di ruangan itu, keheningan terasa mencekik leher Rumi. Di sudut kanan, Sutanto duduk gelisah, terus-menerus menyeka keringat di pelipisnya dengan sapu tangan, tak berani menatap Rumi. Di sebelahnya, seorang staf kepercayaan Jagad berdiri kaku seperti patung. Di sebelahnya lagi, Dikta berdiri tegak dengan wajah datar, sementara pengacara dan notaris sibuk membereskan berkas di meja sudut, seolah ini hanyalah transaksi jual-beli tanah. "Saudara wali hakim, saksi-saksi, apakah sudah siap? Jadi kita bisa segera mulai ya?” Suara pak Penghulu yang sedikit bergetar memecah keheningan. Pria tua itu kentara sekali tidak nyaman, sesekali melirik takut ke arah Jagad yang duduk bersila di hadapannya. Jagad mengangguk singkat. Wajah tampannya datar, rahangnya tegas. Dia tidak terlihat gugup layaknya calon mempelai pria pada umumnya. Dia terlihat seperti singa yang siaga menunggu gerbang kandang mangsanya dibuka. Rumi meremas jemarinya sendiri yang terasa dingin hingga ujung-ujung jarinya memutih. "Kalau begitu, mari kita mulai," ucap Penghulu. Tangan kekar Jagad terulur, menjabat tangan wali hakim, seorang pria paruh baya dari KUA yang menggantikan posisi ayah Rumi yang sudah meninggal. Saat nama bapaknya disebut, pertahanan Rumi seketika runtuh. "Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Ananda Jagad Syailendra bin Syailendra Utomo almarhum, dengan Lituhayu Nirbita Rumi binti Suryajaya Almarhum..." Kata 'Almarhum' setelah nama ayahnya, menggema di telinga Rumi, dadanya terasa nyeri. Ayahnya sudah tidak ada. Dia meninggal dalam kekecewaan dan kemarahan. Kini, putrinya menikah secara sembunyi-sembunyi. Bulir air mata Rumi menetes jatuh ke punggung tangannya, satu per satu, dalam diam. Mendadak, dia merasa sebatang kara di dunia yang kejam ini. "...dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai dua ratus juta rupiah dibayar tunai." Genggaman tangan Jagad mengerat. Dia menarik napas, matanya menatap tajam ke arah pak Penghulu, seolah menantang wakil Tuhan sendiri. "Saya terima nikah dan kawinnya Lituhayu Nirbita Rumi binti Suryajaya Almarhum dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Hanya dengan satu tarikan napas saja, suara lantang juga tegas. Penuh kepemilikan mutlak. "Bagaimana saksi? Sah? Sah?" "Sah." Suara Sutanto terdengar lemah. "Sah." Suara Dikta terdengar mantap. "Alhamdulillah..." Doa penutup yang dilantunkan dari bibir pak Penghulu terasa berdengung di telinga Rumi. Dia tidak bisa mengaminkan, bahkan dalam hati pun tidak. Bibirnya terkunci rapat. Dunia Rumi resmi runtuh dan dibangun ulang menjadi penjara bernama 'Pernikahan'. Statusnya berubah detik ini juga. Dari wanita merdeka menjadi istri siri Jagad Syailendra. "Tanda tangan di sini dan di sini." Pengacara menyodorkan lembaran kertas. Itu bukan buku nikah resmi bersampul hijau atau cokelat. Itu hanyalah lembaran kertas bermaterai, sebuah surat nikah di bawah tangan. Bukti rapuhnya ikatan mereka di mata negara. Rumi menandatanganinya dengan tangan gemetar. Tinta hitam itu menorehkan nasibnya, memasrahkan hidupnya pada genggaman Jagad. Setelah prosesi singkat itu selesai, Jagad berdiri. Dia tidak menjabat tangan para saksi dengan hangat. Dia justru menatap mereka satu per satu dengan tatapan membunuh. "Kalian semua dengar baik-baik," suara Jagad terdengar rendah dan mengintimidasi membuat Sutanto dan staf lainnya menunduk, bahu mereka menegang seolah menunggu eksekusi selanjutnya. "Apa yang terjadi di ruangan ini, berhenti di ruangan ini! Jika ada satu, satu saja desas-desus di luar sana bahwa aku sudah menikah, atau ada yang tahu siapa istriku..." Jagad berjalan mendekati Sutanto, menepuk pelan bahu pria tua itu namun menekan, "...aku pasti akan tahu siapa yang membocorkannya. Dan aku pastikan, lidah orang itu akan jadi hal terakhir yang dia miliki." "M-mengerti, Nak Jagad... eh, Pak Jagad. Kami mengerti," gagap Sutanto diikuti anggukan staf lainnya. "Dikta, antar mereka keluar. Beri 'uang tutup mulut' yang pantas." Titah Jagad. Dalam hitungan menit, ruangan itu kosong. Penghulu, saksi, notaris, sudah pergi. Meninggalkan Rumi yang masih duduk menunduk, bersimpuh di karpet dan Jagad yang kini berdiri menjulang di hadapannya. Suara kunci pintu otomatis yang berbunyi klik terdengar sangat nyaring. Rumi perlahan mengangkat wajahnya. Dia menghapus sisa air matanya dengan kasar. Dia tidak mau terlihat lemah di depan 'suami'-nya ini. Jagad menatapnya dari atas. Tidak ada senyum bahagia, tidak ada kecupan di kening seperti yang biasanya ada di sebuah pernikahan. Pria itu melonggarkan dasinya, lalu melepaskan jas mahalnya dan melemparnya sembarangan ke sofa. Dia mulai menggulung lengan kemeja putihnya, memerlihatkan urat-urat tangan yang menonjol. "Berdiri," perintah Jagad. Rumi menarik napas, lalu memaksakan kakinya yang kesemutan untuk berdiri. Dia menatap Jagad, mencoba memasang tembok pertahanan. "Sudah selesai, kan? Aku…” "Siapa yang memberimu izin bicara?" potong Jagad dingin. Dia melangkah maju, memangkas jarak. Rumi mundur selangkah, tapi punggungnya membentur dinding. Dia terperangkap. Jagad mengurungnya dengan kedua tangan di sisi kepala Rumi. Aroma tubuhnya menguar kuat, mendominasi indra penciuman Rumi. "Kau dengar ijab kabul tadi, Rumi? Ah ralat, istriku?" bisik Jagad, hidungnya nyaris bersentuhan dengan hidung Rumi. "Dibayar tunai. Itu artinya kau sudah lunas. Kau milikku. Tubuhmu, napasmu, ketaatanmu, semuanya milikku." "Itu hanya formalitas agama," bantah Rumi, suaranya sedikit bergetar namun matanya nyalang. "Di kontrakmu tertulis kalau aku asisten sekaligus sekretarismu, bukan?" Rumi mencoba untuk menghindar. Jagad tertawa kecil, seringai iblis muncul di wajahnya. "Kontrak kerja itu berlaku untuk di kantor, Sayang. Tapi di sini..." Jagad menyentuh kerudung tipis Rumi, lalu menariknya lepas dengan satu gerakan kasar yang cepat. Kain putih itu jatuh meluruh ke lantai. Rambut hitam panjang Rumi yang indah tergerai jatuh. Mata Jagad menggelap melihat pemandangan itu. Obsesi yang dia tahan selama bertahun-tahun lalu kini tumpah ruah, tidak terbendung lagi. "Di sini, kamu adalah istriku, Rumi, dan aku menuntut hakku. Sekarang!" Jantung Rumi serasa berhenti berdetak, "J-Jagad... ini siang hari. B-bukankah kita harus bekerja. Di perjanjiannya tidak ada…” Rumi sampai tergagap. "Perjanjiannya adalah 'tidak ada perselingkuhan'," koreksi Jagad tajam. Tangannya turun, mencengkeram pinggang Rumi, menarik tubuh wanita itu menempel padanya hingga Rumi bisa merasakan betapa kerasnya tubuh pria itu, dan betapa bahayanya keinginan Jagad saat ini. "Aku suamimu, Rumi. Memintamu melayaniku bukanlah sebuah paksaan. Itu kewajiban." Jagad menunduk, bibirnya menyapu leher jenjang Rumi yang terbuka, memberikan kecupan panas yang basah dan menuntut sekaligus menandakan kepemilikan atas Rumi. "Dan aku sudah menunggu lebih dari tiga tahun, lebih dari seribu sembilan puluh lima hari, untuk hal ini." Tangan Jagad bergerak cepat, merobek kancing teratas gamis Rumi. Breet… Bunyi kain yang sobek memicu alarm bahaya di kepala Rumi. Tapi sebelum dia sempat berteriak atau mendorong, Jagad sudah membungkam mulutnya dengan ciuman yang buas, kasar, dan penuh rasa lapar yang menakutkan, menyeret mereka berdua jatuh ke dalam jurang pernikahan yang diawali dengan kegelapan dan pemaksaan. Ciuman itu kasar, menuntut dan penuh amarah. Rumi memejamkan mata rapat-rapat, tubuhnya kaku seperti papan kayu. Di kepalanya, dia sudah bersiap. Dia bersiap untuk rasa sakit, bersiap untuk harga dirinya yang akan diinjak-injak sampai rata dengan tanah. Dia pasrah jika ini adalah harga yang harus dibayar untuk keselamatan Rully dari kekejaman Jagad. Tangan Jagad sudah menyusup ke balik kain gamis yang robek, jemarinya yang panas, lincah menari menyentuh kulit pinggang Rumi, menjamahinya. Napas pria itu memburu di lehernya, erangannya terdengar lapar sekaligus b*******h. Jagad merobek paksa gamis Rumi agar dia bisa menciumi kulit tubuh mulusnya, menyentuhnya, memberi tanda kepemilikan di tubuh Rumi. Namun, tepat di puncak ketegangan itu... Jagad berhenti. Dia tidak melanjutkan sentuhannya. Dia tidak melucuti pakaian dalam Rumi, satu-satunya yang tersisa menempel di tubuh Rumi. Justru, Jagad mendorong tubuh Rumi dengan kasar hingga punggung wanita itu menghantam dinding kaca lagi. BRUK... Rumi tersentak, matanya terbuka lebar, napasnya tersengal. Dia menatap Jagad dengan bingung. d**a pria itu naik turun, jakunnya bergerak gelisah, jelas dia sangat terangsang karena menyentuhnya tadi. Sesungguhnya, Rumi juga sudah b*******h tapi tidak mau mendesah. Tapi wajahnya? Wajahnya menyiratkan kejijikan yang mendalam. Jagad mundur dua langkah. Dia menyeka bibirnya dengan punggung tangan, seolah baru saja mencicipi racun. Lalu, dia tertawa. Tawa yang kering, dingin, dan sangat merendahkan. "Kenapa wajahmu begitu, Rumi?" ejek Jagad, suaranya penuh bisa, "kamu kecewa aku berhenti? Nampaknya kamu jadi b*******h ya?" jemari Jagad dengan lancang menyentuh segitiga pengaman Rumi, "ciih, sudah basah ternyata." Rumi mengeratkan cengkeramannya pada kain gamisnya yang robek di bagian d**a, berusaha menutupi diri. "A-apa...?" Jagad berdecak, menggelengkan kepala. Dia merapikan kemejanya sendiri yang sedikit berantakan dengan santai, kembali memasang topeng CEO yang angkuh. "Kau pikir aku benar-benar akan menidurimu sekarang? Di sini? Di siang bolong?" Jagad menatap Rumi dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan menilai, seperti menatap barang dagangan yang cacat. "Jangan terlalu percaya diri, Nyonya Syailendra," desisnya. "Aku memang menginginkan hakku. Tapi aku punya standar yang sangat tinggi. Dan aku tidak memakan makanan sisa orang lain." "Kau..." Rumi tercekat, suaranya hilang ditelan rasa perih di dadanya. "Kenapa? Kaget?" Jagad melangkah mendekat lagi, tapi kali ini dia tidak menyentuh. Dia hanya mencondongkan wajahnya, menikmati ketakutan dan kebingungan di mata Rumi. "Aku hanya ingin mengetesmu. Melihat seberapa murahannya dirimu. Lihat, terbukti kan?" Jagad menunjuk Rumi yang gemetaran, "kau bahkan tidak menolak. Kau pasrah saja dan ternyata menikmati, kan? Sudah terbiasa membuka lebar pahamu untuk pria yang memberimu uang?" Rumi mengangkat dagunya, menatap Jagad dengan mata berkaca-kaca namun penuh tantangan. "Kalau Anda merasa jijik, Tuan Jagad," ucap Rumi dengan suara bergetar marah, "seharusnya Anda tidak menikahiku." Rahang Jagad mengeras. Jawaban itu tidak sesuai harapannya. Dia ingin melihat Rumi menangis, memohon, atau merasa malu. Tapi wanita ini justru berdiri tegak. "Dengar Rumi, aku menikahimu bukan karena cinta, apalagi nafsu," balas Jagad dingin, berusaha menutupi fakta bahwa tubuhnya sendiri berteriak memberontak, menginginkan Rumi, “aku menikahimu untuk menyiksamu. Siksaan terbaik untuk p*****r sepertimu..." Jagad menyeringai kejam, "...adalah membiarkanmu menginginkanku, tapi tidak akan pernah mendapatkanku. Aku akan membuatmu kering kerontang, Rumi. Aku akan membuatmu mengemis sentuhanku suatu hari nanti, dan saat itu terjadi, aku akan tertawa di atas penderitaanmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD