Part 13. Di Kamarku, Rumi!

1916 Words
Waktu seolah berhenti pada mereka. Mata mereka bersirobok. Rumi dengan tatapan bingung dan waspada, sedangkan Jagad dengan tatapan kaget pada tindakannya sendiri yang impulsif. Sadar dengan apa yang dilakukannya, usai menyentuh singkat bibir Rumi, Jagad menarik tubuhnya secepat kilat, seolah baru saja menyentuh bara api. Wajahnya seketika mengeras, kembali menjadi topeng dingin yang angkuh. "Kita sudah sampai," ucap Jagad ketus, menyembunyikan kecanggungannya. "Jangan tidur seperti bayi, aku tidak mau menggendongmu. Kau berat." Tanpa menunggu jawaban, Jagad membuka pintu mobil dan keluar, melangkah lebar masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi, meninggalkan Rumi yang masih terpaku kebingungan, berusaha mengumpulkan nyawanya. Dia memegang pipinya sendiri, merasakan sisa kehangatan tangan Jagad yang tertinggal. Sedangkan Dikta tersenyum tipis, di balik kemudi melihat pemandangan itu. Rumi sudah meletakkan tangannya di gagang pintu mobil, siap untuk keluar dan menghadapi dinginnya mansion yang kini menjadi penjaranya. Namun, suara berat dari kursi kemudi menghentikan gerakannya. "Mbak Rumi." Dikta selalu memanggilnya mbak jika tidak ada Jagad. Rumi menoleh. Dia lihat Dikta tidak memandangnya lewat spion lagi. Pria kepercayaan Jagad itu memutar tubuhnya sedikit ke belakang agar bisa menatap Rumi langsung. Wajah kakunya yang biasa tanpa ekspresi, mengikuti tuannya, kini menyiratkan keprihatinan yang dalam. "Tunggu sebentar," ucap Dikta pelan. "Ada apa, Dikta?" tanya Rumi lelah. Dia hanya ingin tidur. Dikta menarik napas panjang, seolah sedang menimbang risiko dari kalimat yang akan diucapkannya. "Tuan Jagad..." Dikta melirik ke arah pintu besar rumah yang sudah tertutup, “eeum sepanjang perjalanan tadi, beliau tidak melihat ke jalan. Matanya tidak pernah lepas dari wajah Mbak Rumi yang tertidur." Rumi tertegun. Jantungnya berdesir aneh tapi segera dia tepis. "Saya sudah mengabdi padanya sepuluh tahun, Mbak. Saya melihatnya jatuh, bangkit, dan menjadi raksasa seperti sekarang. Dan percayalah..." Dikta menatap Rumi lekat-lekat. "...saya belum pernah mendengar tuan Jagad menghela napas seberat dan selelah tadi, tidak hanya sekali tapi beberapa kali. Itu bukan desahan kemarahan. Itu lebih ke desahan orang yang sedang berperang dengan hatinya sendiri." “Maksudmu apa, Dikta?” "Sesungguhnya, tuan Jagad masih sangat mencintai Mbak Rumi,," ucap Dikta lugas, tanpa keraguan. "Cinta itu masih ada, sangat besar malahan,, tapi tertutup tebal oleh kabut dendam dan ego yang terluka." Dikta mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya mendesak namun penuh harap, "andai Mbak Rumi mau berterus terang. Andai Mbak Rumi mau meruntuhkan tembok itu dan menjelaskan siapa Rully sebenarnya, menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi enam tahun lalu..." Mata Dikta berkaca-kaca, teringat betapa hancurnya Jagad dulu dan betapa hancurnya Jagad sekarang meski terlihat kuat di luar, "...saya yakin, tuan akan luluh. Masalah ini akan selesai, MBak. Dendam itu akan hilang. Kalian bisa hidup bahagia. Tolong pertimbangkanlah. Satu kejujuran bisa menyelamatkan dua hati yang sekarat." Keheningan menyelimuti kabin mobil mewah itu. Rumi menatap Dikta. Dia tahu Dikta benar. Dia tahu kunci dari semua penderitaan ini ada di ujung lidahnya. Cukup katakan : Jagad, aku tidak pernah mengkhianatimu! Dan bercerita yang sesungguhnya terjadi. Tapi kemudian, bayangan wajah Jagad yang menatapnya dengan jijik, kata-katanya yang menyebutnya 'barang bekas' dan 'p*****r', terutama yang baru saja dia lakukan, kembali menghujam ingatan Rumi. Luka itu bukan hanya milik Jagad. Luka Rumi juga menganga lebar. Kepercayaan Jagad padanya begitu tipis menghancurkan segalanya. Jika Rumi bicara sekarang, apakah Jagad akan percaya? Atau dia akan menganggapnya sebagai bualan untuk mencari simpati saja? Rumi menghela napas panjang dan keluarkannya perlahan. Bahunya turun, beban di punggungnya terasa semakin berat. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil. Senyum yang getir, sadar tapi menyakitkan. "Terima kasih, Dikta," bisik Rumi, suaranya nyaris tak terdengar. Dia tidak membenarkan, tidak juga membantah Dikta. Rumi hanya tersenyum tipis dengan mata yang menyiratkan, semua tidak sesederhana itu, Dikta. Luka di antara kami sudah terlalu dalam untuk dijahit hanya dengan kata-kata. Tanpa bicara lagi, Rumi menarik tuas pintu. "Selamat malam, Dikta." Rumi melangkah keluar dari mobil, meninggalkan Dikta yang hanya bisa menatap punggung rapuh wanita itu dengan pandangan nanar. Sang asisten setia itu memukul setir pelan, merasa frustrasi menyadari bahwa dia hanya bisa menonton dua orang yang saling mencintai itu perlahan-lahan saling membunuh tanpa mereka sadari. Rumi berjalan menaiki tangga teras yang megah. Pintu besar mansion terbuka dan di sana, bayangan gelap Jagad sudah menunggu, siap melanjutkan permainan neraka mereka. Setengah jam kemudian, Jagad turun ke ruang makan. Pria itu sudah menanggalkan zirah perangnya. Jas mahal dan kemeja kaku itu berganti dengan kaos oblong putih polos dan celana training abu-abu. Rambutnya masih sedikit basah, jatuh berantakan di dahi, menyembunyikan tatapan tajamnya. Mungkin saja dia mandi besar. Aroma sabun mint segar menguar, menggantikan bau rokok dan alkohol yang seharian melekat padanya. Untuk sesaat, Rumi, yang juga sudah mandi janaba, yang sedang menata piring di meja makan terpaku. Sosok di depannya ini bukan CEO Syailendra Group yang kejam. Ini adalah Jagad-nya yang dulu. Rumi cepat-cepat membuang ingatan itu. Dia menunjuk meja makan yang sudah penuh dengan masakan simbok. "Simbok sudah masak rawon dan perkedel. Masih hangat," ucap Rumi datar, tanpa basa-basi, bersiap mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Jagad menarik kursi, duduk dengan santai. Dia melirik hidangan mewah yang dimasak simbok dengan tatapan bosan. Dia bahkan tidak mau menyentuh sendok yang tersedia. "Aku tidak mau rawon," ucap Jagad. Rumi menghela napas, berusaha sabar, “tuan Jagad, ini sudah pukul delapan malam. Simbok sudah masak banyak. Sayang kalau dibuang. Tolong hargai…" "Buatkan aku nasi goreng," potong Jagad. Matanya menatap lurus ke arah Rumi. Rumi meletakkan sendok sayurnya dengan sedikit kasar, "Anda bukan anak kecil yang bisa pilih-pilih makanan, Tuan. Makan saja yang ada!" suarana sedikit membentak. "Aku tidak minta pendapatmu, Rumi. Aku minta nasi goreng," Jagad menyandarkan punggungnya dan melipat tangan di d**a. Tumben, kali ini suaranya tidak membentak, tapi menuntut dengan kemanjaan yang otoriter. "Nasi goreng kampung tanpa kecap. Cabainya tujuh. Bawang merahnya diiris kasar. Dan..." Jagad memberi jeda, matanya menatap Rumi intens, "...pakai dua telur ceplok. Jangan kematangan telurnya. Kuningnya jangan sampai pecah." Jantung Rumi mencelos. Itu menu wajib Jagad dulu saat mereka masih bersama. Comfort food-nya setiap kali dia sedang stres atau sakit. Jagad bahkan masih ingat detail sekecil itu? "Simbok sudah tidur," elak Rumi, mencari alasan. Dia menunduk, mulai menyendok nasi rawonnya. "Siapa yang menyuruh Simbok?" Jagad menaikkan alis, “aku memintamu. Kau istriku, kan? Atau kau mau aku ingatkan lagi soal kewajiban 'melayani suami', heuum?” Lagi-lagi alasan melayani suami digunakan Jagad. Wajah Rumi memerah padam mendengar ancaman terselubung itu. Tanpa mau menjawab lagi, dia bangkit, menghentakkan kaki menuju dapur. Di dapur, tangan Rumi bergerak lincah meski hatinya dongkol. Memori ototnya bekerja otomatis. Mengulek bawang putih, mengiris bawang merah, memecahkan telur di wajan panas. Srengg... Aroma bawang goreng dan terasi yang ditumis seketika menguar, memenuhi lantai satu mansion mewah itu. Aroma yang sederhana, ndeso, tapi sangat menggugah selera. Dari ruang makan, Jagad menghirup aroma itu dalam-dalam. Matanya terpejam sejenak. Bau ini... bau yang sama yang selalu menyambutnya di kosan Rumi dulu. Bau 'pulang'. Perutnya yang seharian terasa kaku karena emosi, tiba-tiba berbunyi nyaring minta diisi. Lima belas menit kemudian, Rumi kembali. Dia meletakkan piring berisi nasi goreng pucat karena tanpa kecap dengan dua telur mata sapi yang bergoyang sempurna di atasnya. Asap mengepul membawa aroma nostalgia. "Nih," ketus Rumi, lalu dia duduk di seberang Jagad, mengambil rawon untuk dirinya sendiri. Jagad tidak berkomentar. Dia mengambil sendok, membelah kuning telur lalu menyuapkannya ke mulut. Suapan pertama. Gerakan mengunyah Jagad melambat. Rasanya masih sama. Gurih, pedas yang cukup dan aroma "hangus" khas wajan yang selalu bisa Rumi ciptakan. Rasanya seperti mesin waktu yang melemparnya kembali ke masa-masa di mana dia belum punya uang, tapi dia punya Rumi. Masa-masa paling bahagia dalam hidupnya. Jagad makan dalam diam tapi lahap, kepalanya menggeleng, mengusir bayangan masa lalu. Tidak ada pujian "Enak" atau "Terima kasih". Hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring keramik dan kriuk kerupuk menambah keramaian. Rumi yang sedang makan rawon diam-diam melirik. Dia melihat bagaimana Jagad makan dengan rakus, seolah dia tidak makan berhari-hari. Pria itu menunduk, fokus sepenuhnya pada piringnya, mengabaikan dunia sekitar. Dalam waktu kurang dari lima menit, piring itu bersih. Bahkan remah kerupuknya habis. Jagad meletakkan sendoknya, lalu meminum air putihnya sampai tandas. Dia menyeka bibirnya dengan tisu, lalu menyodorkan piring kosong itu ke tengah meja. Rumi mengira Jagad sudah selesai dan akan pergi tidur. "Lagi," ucap Jagad. Rumi mendongak, alisnya berkerut, “hah, apa?" "Kurang, nasinya tadi dikit banget." Jagad mengeluh, mengetuk pinggiran piringnya dengan sendok. Wajahnya datar, berusaha keras menutupi fakta bahwa dia bukan hanya perutnya lapar, tapi lapar akan rasa rindu yang terkandung dalam masakan itu. "Buatin lagi satu piring. Porsi penuh, sama seperti tadi.” Rumi melongo, “tapi…, itu tadi porsinya sudah banyak. Nanti malah kekenyangan." "Jangan banyak tanya, Rumi. Lidahku kang..." Jagad menghentikan kalimatnya mendadak. Hampir saja dia keceplosan bilang 'kangen masakanmu'. Dia berdeham keras, memerbaiki posisi duduknya menjadi angkuh lagi, "...maksudku, lidahku sudah lama tidak makan makanan kampung begini. Restoran bintang lima rasanya membosankan. Cepat buatkan lagi sebelum nafsu makanku hilang melihat wajah cemberutmu." Rumi mendengkus kesal, menyambar piring kotor itu. "Dasar perut karet," gerutu Rumi pelan, tapi dia tetap berjalan ke dapur. Tanpa Rumi sadari, saat punggungnya menghilang di balik pintu dapur, sudut bibir Jagad terangkat sedikit. Itu adalah senyum tulus pertamanya dalam tiga tahun terakhir. Senyum yang muncul bukan karena kemenangan bisnis sebuah proyek besar atau keberhasilan balas dendam, tapi karena sepiring nasi goreng buatan wanita yang setengah mati ingin dia benci, tapi juga setengah mati dia cintai. Suara sendawa yang keras dan tidak sopan memecah keheningan ruang makan yang mewah itu usai Jagad menghabiskan nasi goreng piring keduanya. Ehrrrkk… Jagad menyandarkan punggungnya ke kursi, tangannya mengusap perut ratanya yang kini terasa kencang. Matanya setengah terpejam, bibirnya berminyak dan ekspresi wajahnya terlihat seperti kucing besar yang baru saja menghabiskan dua ekor ikan tuna gemuk. Kekenyangan, malas, dan puas. Rumi, yang sedang mengelap meja, menahan senyum geli melihat pemandangan itu. Hilang sudah aura CEO dingin yang menakutkan. Yang ada di depannya hanyalah Jagad, lelaki rakus yang tidak tahu malu. "Ckckck... Tuan Jagad yang terhormat, sendawa di meja makan? Manner-nya mana?" sindir Rumi pelan sambil menggelengkan kepala. Jagad membuka setengah mata, menatap Rumi malas, “protes saja terus. Yang penting perutku diam." Dia kembali bersendawa kecil, lalu meminum air putihnya. Rumi membawa tumpukan piring kotor ke wastafel. Suara air keran dan denting piring menjadi musik latar selama sepuluh menit berikutnya. Jagad tidak beranjak. Dia tetap duduk di sana, mengamati punggung Rumi yang bergerak ke sana ke mari. Mengamati bagaimana pinggang ramping wanita itu bergerak saat menggosok piring. Dulu, ini yang selalu dia impikan. Rumi sibuk di dapur dan dia sibuk momong anak mereka, menunggu dengan sabar hingga Rumi selesai. Tapi itu dulu… Selesai dengan urusan dapur, Rumi mengeringkan tangannya dengan lap. Dia mematikan lampu dapur. "Aku mau istirahat, aku lelah lahir batin, “ sindir Rumi halus, “Anda juga sebaiknya tidur,” pamit Rumi, lalu berbalik melangkah menuju pintu yang menghubungkan ruang makan dengan lorong menuju kamar tamu, kamar yang dia tempati sejak dia tiba di rumah mewah ini. "Siapa yang menyuruhmu ke sana?" suara Jagad hentikan langkah Rumi. Tangannya sudah memegang gagang pintu. Dia menoleh perlahan, kewaspadaannya kembali muncul, ketakutan menyergapnya. Pikiran buruk menyergap Rumi. Jagad masih duduk di posisinya, tapi kini dia menatap Rumi dengan sorot mata yang berbeda. Tidak ada kilatan nafsu yang menakutkan, tidak ada juga kemarahan yang membara seperti biasanya. Entah kenapa kali ini, matanya terlihat redup dan lelah. Jagad berdiri. Dia berjalan pelan mendekati Rumi, membuat Rumi semakin waspada, dia mundur hingga punggungnya menabrak pintu kamarnya. Postur tubuh Jagad tidak mengancam. Dia memasukkan kedua tangan ke saku celana training-nya, berdiri dua langkah di depan Rumi. "Malam ini..." Jagad berdeham, suaranya terdengar serak dan anehnya, sedikit ragu. "Tidurlah di kamar utama. Bersamaku!” “T-tapi…,”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD