Bagaimana kita bermula.

1609 Words
Jangan memulai jika tak ingin mengakhiri. Io yang kehadirannya dirindukan, tak ada saat Ayi dengan lirih menyebut namanya saat ini. Bagaimana tidak, dengan Yandra yang sudah menjadi suaminya, Ayi kini memang sedang menuju tempat sang sahabat, tapi mereka tidak akan bertemu. Io sudah bukan milik dunia di mana mereka saat ini berada. Ayi tidak menangis. Sebuah kenangan kemudian membawa ingatan Ayi melayang ke tahun-tahun terakhir kebersamaannya dengan Io. Ketika sang sahabat lebih sering menghabiskan waktu dengannya dan juga yang lainnya tepat di hari ulang tahunnya. Dibanding dengan waktu saat ini, Ayi saat itu belum menyadarinya. Perbedaan itulah yang membuat perasaannya berubah, karena saat itu …. “Kita mau ke mana, sih?” tanya Ayi pada Io yang memimpin jalan. Yandra juga ikut bersama mereka. Adegan inilah yang menjadi asal dari ingatan paling menyakitkan yang ia miliki. Sebuah kenangan yang memulai kisah bagaimana Ayi kehilangan seseorang dalam hidupnya. Hari itu, Io menawarkan agar bolos bersama. Ayi tidak ragu menolaknya dan juga tidak ragu untuk mengikutsertakan Yandra. Io mengajak mereka hampir ke semua tempat yang mereka sukai. Itu adalah tempat-tempat yang pernah Ayi, Io, serta Yandra datangi selama ini. Ayi tidak sadar bahwa itulah penyesalannya. Ia menyesal karena tidak memikirkannya sedikitpun saat itu. Yandra awalnya berat hati menolak permintaan Ayi yang mengajaknya karena pertengkaran kecilnya dengan Io di hari sebelumnya. Namun, saat Io sendiri yang mengatakan padanya, barulah laki-laki yang menyukai Ayi itu ikut. “Ke tempat yang gue rinduin masa kecil dulu. Gue lagi mau nostalgia, Yi,” tutur Io yang sudah duduk di salah satu ayunan. Mereka mengunjungi tempat bermain saat kecil dulu. “Gue lagi kangen waktu dulu, pas kita pulang main, biasanya mama masakin sup. Terus malamnya mama bacain dongeng dari salah satu buku kesukaan gue.” Io menjelaskan sambil menghirup udara pagi. Ayi mendengarkan tanpa menyela. Ia tahu buku yang Io maksud, dan juga tahu bahwa sahabatnya itu sedang merindukan mamanya saat ini. Ayi tahu bahwa Io sedang bersedih. Akan tetapi, yang tidak ia sadari saat itu adalah perihal lain. Dalam ingatannya, Io dulu kehilangan barang kesayangan yang merupakan peninggalan dari mendiang ibunya, dan kemudian bertengkar dengan ayahnya. Benda itu, sudah Ayi berikan sebagai kadonya tadi pagi. Ia sendiri yang datang ke rumah Io dan membangunkan laki-laki itu. Pagi-pagi sekali Ayi ke sana. Ia sampai memasang tiga alarm pagi ini. Alarm yang pernah Io berikan dulu masih berfungsi dengan baik, yang juga selalu ia matikan saat alarm itu berbunyi, tapi dirinya sendiri justru tak kunjung bangun. Io resmi berusia delapan belas tahun hari itu. Hari di mana sebelum kecelakaan itu terjadi. Hari di mana Ayi kehilangan setengah hidupnya dan masih merasakan pahitnya hingga saat ini. Io saat itu tidak terima saat Ayi melarangnya untuk membuka kado miliknya. Kado tersebut baru boleh dibuka saat ia akan tidur nanti malam. Itulah yang dikatakan oleh Ayi yang menjadi orang pertama yang memberikan hadiah di hari ulang tahun Io yang ke delapan belas hari itu. Wajah Io saat tertawa, terngiang jelas bagi Ayi yang saat ini masih menatap ke luar jendela mobil. Jalanan masih basah, udara terasa lembab karena bercampur dengan gerimis yang terlihat tanggung-tanggung. Seberapa pun besarnya rasa penyesalannya, tapi Ayi sangat bersyukur pada satu hal, yaitu saat dirinya yang bolos dan menghabiskan banyak waktu. Yang juga mengingatkannya bahwa, tidak semua kenangannya yang Io tinggalkan adalah kesedihan. Ayi merasa pipinya menghangat saat ia tahu bahwa dirinya di masa lalu pernah sangat bahagia. Bahkan itu dikarenakan dua orang sekaligus, Io dan Yandra. Io, Ayi, dan Yandra memilih bolos pada mata dua mata pelajaran terakhir. Io sengaja memilih waktunya agar mereka tidak perlu kembali lagi ke sekolah. Teman sekelasnya mungkin saat ini tengah menjawab tugas. Namun, berbeda dengan mereka bertiga saat ini, yang sedang menikmati masa-masa luang. Ayi ikut-ikut saja, ia tak bisa menolak permintaan sahabatnya itu. Sengaja mengajak Yandra, karena Ayi suka saat bersama lelaki yang sudah lama dikenalnya tersebut. Ayi menyukainya. “Loe tau nggak, Ndra. Di sini dulu, Io pernah kencing di celana karena dikejar angsa,” ujar Ayi, sambil menunjuk sebuah pot bunga besar yang ada di sudut taman kota, tempat di mana seorang Io kecil pernah bersembunyi. Apa yang Ayi maksud saat ini adalah kenangan mereka saat masih Sekolah Dasar. Itu adalah tempat kesekian kalinya yang pernah mereka datangi. Setahun terakhir, Ayi sudah tak selalu berdua lagi saat pergi ke mana pun. Selalu ada Yandra saat ini yang selalu menemaninya. Namun, tidak sering bukan berarti tidak pernah. Io masih sering berkunjung ke rumahnya. Bahkan, Ayi dan Io pernah bermalam di rumah Yandra. “Benarkah?” Yandra terlihat antusias saat Ayi mengatakan kejelekan Io, kemudian tertawa pelan. Ia suka bagaimana Ayi meledek sahabatnya sendiri. Karena Yandra akan merasakan sedikit tidaknya suara Ayi yang bahagia. Begitupun dengan Io. Ia suka saat membalas ledekan dari Ayi. Sejak tadi, Yandra juga terus memerhatikan Io. Meskipun ia juga tahu bahwa laki-laki itu tidak marah padanya, tapi tetap saja Yandra merasa ada yang salah dengan tingkah Io sejak percakapan mereka kemarin. Ia seolah tidak bisa mendapati bahwa apa yang pernah Io katakan itu benar. Bagaimana respons Ayi dan Io tidak ada yang berlebihan atau janggal baginya. Namun, ia tahu bahwa seorang Helio jarang bertingkah seperti itu. Ayi mendekatkan wajahnya ke telinga Yandra. “Iya. Waktu kecil dulu Io suka ngompol di kasur gue.” Ayi membeberkan keburukan Io dengan berbisik pelan. Yandra terlihat menahan tawa, juga menahan degup jantungnya saat berdekatan dengan Ayi. Rona wajahnya mungkin tak bisa ia sembunyikan lagi. Ayi menyukainya. “Gue dengar, Ayla Ink!” Io yang sejak tadi memerhatikan, langsung berseru. Menyindir seorang yang terus mengatainya. Ayi tidak akan pernah menahan kata-katanya untuk meledek Io di depan Yandra. Hubungannya dengan laki-laki yang dikenalnya hampir dua tahun itu semakin terasa lebih manis. Ayi terlihat sangat bahagia saat itu. Seperti kesedihan tidak akan berani mendekatinya jika sedang bersama dengan Yandra. Semua orang mungkin akan tahu bahwa apa yang keduanya rasakan itu sama. Sebuah senyum yang tulus saat mereka bersama akan selalu terlihat. “Hehe.” Ayi nyengir. Mengusak rambut bagian atasnya dan berjalan ke arah Io yang kini sedang bermain ayunan. Sebuah tatapan jail muncul di wajahnya saat melihat apa yang Io lakukan. Io mulai menyadari sesuatu saat ayunannya mulai bergerak tidak wajar. “Mau ngapain loe?” tanya Io dengan ekspresi kalut. Ia memegang erat tali ayunan saat Ayi mulai mendorongnya dari arah belakang. Beberapa saat yang lalu, wajahnya terlihat muram saat menceritakan kenangan tentang ibunya. Namun, kini berubah karena Ayi. “Ayi, cukup!” teriak Io saat laju ayunan semakin menjadi. Ayi yang terbahak tak menghiraukannya, memilih untuk terus mengayun Io sekuat tenaga. Yandra memerhatikan dengan perasaan was-was. Pasti sakit saat jatuh nanti. Saat jahil, Ayi tidak akan memikirkan orang yang akan menjadi korbannya. Begitulah seorang Ayla Ink. Ayi memang menyukainya, tapi Io tidak. Ayi baru berhenti saat Io jatuh tersungkur. Untung saja tidak ada yang terluka. Gelak tawa Ayi justru membuatnya semakin kesal. Io yang jengkel melepas dasi dari baju seragam sekolahnya dan mengikat kedua tangan Ayi pada tiang lampu taman. Lalu, mengajak Yandra menjauh dari sana. Mereka membeli makanan dan memakannya tepat di depan Ayi yang terikat. Membuat Ayi tergiur. Io menyukainya. Meskipun kenangan itu masih bisa menyegarkan ingatan Ayi saat ini, tapi perasaannya akan hancur setiap kali ia mengingatnya. Dan akan semakin hancur lagi saat ia juga berusaha melupakannya. “Oke, oke. Gue nyerah,” pasrah Ayi yang sudah menyerah untuk melepaskan ikatan pada tangannya. Yandra yang lebih dulu bergegas melepaskannya. Io sangat keterlaluan baginya. Namun, dalam pertemanan mereka itu adalah hal yang biasa. Cuaca pagi yang menjelang siang itu cukup terik. Mereka menghabiskan pagi dengan berjalan-jalan dan bercengkrama. Cukup untuk membuat penuh beberapa halaman diary Io nanti. “Gue pulang dulu bentar. Hari ini sebenarnya ada acara makan siang keluarga, tapi nanti malam kalian harus datang!” ujar Io tepat setelah adiknya menelpon. Ketika masing-masing dari Ayi dan Yandra melihat jam, mereka baru sadar bahwa itu sudah cukup siang. Juga akan sia-sia jika balik ke sekolah. “Andai gue juga keluarga loe, pasti makan siang gratis hari ini,” celutuk Ayi, bertingkah seolah mengasihani diri sendiri. Dua laki-laki yang bersamanya itu tertawa mendengarnya karena tahu bahwa perkataan Ayi hanyalah candaan. Sifat Ayi yang riang itulah yang membuat Yandra menyukainya. “Yaudah, ntar kalau kita dewasa loe nikah sama gue aja,” ujar Io, membalas candaan sahabatnya. Ayi tahu jika itu bukanlah ucapan serius. Saat mengatakannya saja Io sambil terkekeh. “Jangan!” Yandra sontak berdiri. Ia dengan wajah tegangnya menatap Io tegas. Beberapa makanan yang ada di pangkuannya tumpah seketika saat ia berdiri. Yandra tak menyukainya. “Peka itu bukan soal bakat, Yi. Tapi soal kesadaran.” Io berujar pelan pada Ayi yang masih menatap Yandra. Ia tak mengerti dengan ucapan barusan. “Maksudnya?” tanya Ayi pada Yandra. Wajah Yandra terlihat bingung, ia merasa takut jika Io mengatakan apa yang selama ini ia pendam. Yandra memang sudah menyetujui untuk mengungkapkan perasaannya, tapi bukan itu kesepakan yang ia dan Io setujui. Terlebih lagi, waktunya bukan sekarang. Untuk pertama kalinya Io terabaikan. Walaupun sudah biasa baginya, tapi kali ini rasanya aneh saja. Ah, ia lupa. Ayi ‘kan juga menyukai Yandra. “Ka-kalau kamu nikah sama Io, aku nikah sama siapa dong biar dapat makan gratis?” Ucapan Yandra yang polos itu, sontak membuat Ayi dan Io terbahak. Entah sudah berapa kali mereka tertawa pagi ini. Mereka menyukainya. Lagi. Ayi lagi-lagi mencubit pipi Yandra. Kali ini kedua pipinya memerah bekas cubitan Ayi. Namun, Yandra menyukainya. Satu adegan itu kembali meninggalkan bekas. Senyum Yandra dan Io saat itu saling tumpang tindih dalam ingatannya yang kini semakin berkabut. Pandangannya kian buram saat Ayi berusaha mengembalikan air matanya. Ia tidak boleh menangis. Setidaknya tidak lagi. Tahun-tahun terakhir semenjak sahabatnya itu pergi, Ayi sudah sangat puas dengan menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD